Friday, June 3, 2011

AYAH



Sore hari sepulang sekolah saya pergi ke KOPINMA (koperasi sekolah saya). Saat itu saya sedang berdiri di depan kasir mengobrol dengan si teteh penjaga kasir. Tiba-tiba seorang bapak separuh baya (salah satu staf jajaran tinggi TU di sekolah saya) – kira-kira beberapa tahun lebih tua daripada ayah saya – datang ke kasir dengan membawa 6 bungkus eskrim 1500an di tangannya kemudian meminta plastik. Saya berfikir untuk apa eskrim sebanyak itu. Saya tidak berniat untuk tahu, tapi saya menduga bahwa eskrim itu untuk anak-anak beliau. Saya tiba-tiba teringat pada ayah saya. Subhanallah. Betapa mulianya ayah. Ia masih ingat untuk membawa oleh-oleh buat anak-anaknya di rumah yang menunggu kepulangannya.

Dulu, ketika saya masih berusia 3-4 tahun, ketika saya masih tinggal di Palu, setiap minggu (saya lupa hari apa), malam hari ayah (saya memanggil beliau dengan sebutan abi) saya, rutin mendatangi pengajian. Apabila keberangkatannya pada saat saya masih terjaga, saya selalu meminta di bawakan terang bulan. Dan beliau selalu menepati janji. Bahkan ketika saya sudah terlelap tidur, ayah saya tetap membangunkan saya, sekalipun itu tengah malam untuk memberikan terang bulan pesanan saya. Betapa itu sangat saya ingat sampai sekarang setelah 12 tahun berlalu.

Saya juga ingat belakangan ini – ayah saya yang seorang pegawai KPPN bagian pengembangan pegawai – sering membawa pulang tas, baju, jaket, buku, pulpen, dll dari kantornya. Dan ayah saya selalu ingat anak-anaknya.

“Kakak mau baju ini nggak?” katanya sambil menunjukkan sebuah baju berkapuchon yang bertuliskan HRD dibelakangnya. Lagi-lagi dari kantor. Saya yang ditawari mau saja. Apalagi baju itu kelihatannya enak dipakai.

Sudah tidak terhitung lagi berapa barang-barang dari kantor ayah saya yang diberikan ke anak-anaknya. Terakhir saya melihat ayah saya mengenakan sepasang sandal bermerk X – ketika menjenguk saya di asrama – yang beberapa minggu lalu belum ada.

“Wah, sendalnya X. Mau dong.” Puji saya bercanda. Tapi sebenarnya saya dari dulu selalu menginginkan sandal bermodel laki-laki.

“Mau? Kamu lagi pakai sandal, kan?” Tanya ummi. Saya bingung maksudnya apa. Apa hubungannya saya mau sandal X dengan pakai sandal. Akhirnya saya tahu bahwa maksudnya adalah menawarkan untuk bertukar sandal.

Sebenarnya kalau saya mau, saya bisa saja benar-benar bertukar sandal karena saya benar-benar mau sandal itu. Tapi betapa maruknya saya kalau saya benar-benar mengambilnya. Apalagi saya tahu kalau beberapa minggu yang lalu ayah saya tidak punya sandal. Bahkan, ketika saya lagi pulang ke rumah, saya melihat ayah saya pergi ke masjid menggunakan sandal perempuan.

Kalau sedang marah, ayah saya berkata pada kami (saya dan adik-adik saya):

“Biar, abi pakai sandal jepit biasa. Biar, abi ke kantor pakai kaos aja. Biar, abi nggak punya celana untuk ganti-ganti (celananya beberapa sudah sobek). Biar abi nggak beli baju baru. Tapi yang penting kalian bisa hidup cukup. Bisa sekolah dengan nyaman. Bisa memenuhi kebutuhan kalian.”

Masya Allah, betapa banyak pengorbanan ayah selama ini. Yang jarang kita menyadarinya. Yang jarang diungkapkan ke ‘permukaan’ dimana ibu yang sering disebut-sebut. Betapa ayah tak kalah mulianya dengan ibu. Betapa ayah juga sangat berarti.

Saya jadi teringat sebuah quote yang ditulis oleh teman saya di madding sekolah:

“Ayah bekerja sampai sakit untuk menyenangkan kita. Tapi apakah kita sudah belajar sampai sakit untuk menenangkannya.”

-Anaasiyya Siti Luthfiah-

Quote itu terasa sangat menohok. Kita yang kebanyakan di usia sekolah menengah malah menghabiskan waktu dengan hura-hura. Menyia-nyiakan kesempatan belajar di sekolah hanya untuk bermain-main. Sementara pedidikan tak lagi murah. Siapa yang telah membayarkan waktu yang pada akhirnya kita sia-siakan itu? Ayah. Siapa yang membanting tulang demi masa depan kita? Ayah.

Ayah selalu ingat anak-anaknya ketika sepulang kerja. Ayah selalu ingat untuk membelikan baju baru untuk kita di malam-malam sebelum lebaran. Ayah selalu memikirkan apa yang terbaik untuk ayah kita.

Love papa.

Special post for my dad. Bambang Kismanto, or he calls him self by Ibadurrahman