Friday, June 9, 2017

Ternyata

Kamu tidak tahu seberapa sedang hancur leburnya hatinya ketika kamu berkata sedikit keras terhadapnya. Ternyata ia sedang berada di titik terentannya sehingga kata-katamu semakin menghancurkannya.

Kamu tidak tahu seberapa besar beban masalah yang sedang ditanggungnya ketika kamu menilainya sedikit tajam. Ternyata ia sudah menyalahkan dirinya sendiri sepanjang hari sehingga penilaianmu semakin membuatnya merasa gagal.

Kamu tidak tahu dia sudah bersabar sebelum akhirnya kamu pecahkan kesabarannya karena ketidaksabaranmu terhadapnya. Ternyata ia sudah banyak menahan diri sehingga tekanan darimu membuatnya meledak dan semakin terluka karena ia merasa gagal mengendalikan kesabarannya.

Ternyata dia tengah menyimpan sesuatu. Sesuatu yang tidak seorang pun dia beri tahu. Bahkan untuk bercerita pada dirinya sendiri pun ia takut ada yang mendengarkan.

Ternyata dia tengah meredam pilu sendunya luka jiwanya. Patah hatinya berkeping yang dengan gemetar ia rangkai kembali susah payah.

Ternyata dia tengah membangun tanggul-tanggul yang menopang kekuatannya. Membendung kesedihannya. Menekan amarahnya.

Ia bahagia tapi tidak bahagia. Langkah ringannya tak siratkan kalut pikirannya. Tawa renyahnya tidak suarakan lengking nestapanya. Binar cemerlang matanya memang meredup. Tapi mungkin kamu tidak sepeduli itu untuk menyadarinya. Ternyata, kamu tidak banyak tahu tentangnya.

Kamu tidak tahu, betapa sedang hancur leburnya hatinya saat kau tudingkan jari telunjukmu untuk menghakiminya. Kamu tidak akan mengerti bagaimana rasanya. 

Sampai kamu berada di posisinya. Sampai kamu merasakannya sendiri.

Home, a while after midnight

Friday, June 2, 2017

Ketakutan yang Memakanmu Perlahan



Sampai kapan? Sampai kapan mau berlari terus? Sampai kapan mau menunda terus?

Tidak ada satu pun di antara kita yang tahu apa yang ada di balik pintu itu. Bahkan mendekat saja kau enggan. Jangankan membukanya.

Kau bukannya punya waktu selamanya. Tapi kau terus menghindar seolah tidak ada batas waktu bagimu.

Aku tahu benar rasa takutmu. Tapi bahkan menunjukkan sedikit wajah cemas saja kau tak berani. Seolah kalau sedikit saja rasa cemas itu hadir di wajahmu, kecemasan itu akan membinasakanmu bulat-bulat.

Kau sehatkah?

Kau membayangkan sesal yang akan kamu tanggung. Kau membayangkan melihat dirimu menangis sesenggukan sampai gila, membayangkan semua beban yang akan kau tanggung dengan sesal. Kau membayangkan sampai kegilaan itu datang lebih cepat. Kau telah gila duluan sebelum waktumu benar-benar habis.

Sampai kapan? Sampai waktumu benar-benar habis? Sampai kapan kau akan menghabiskan waktu dengan hidup dalam pengalihan?

Di pojok sini aku mematung, memandangimu. Menangis tanpa suara, tanpa ekspresi. Memandangi siluetmu di seberang sana yang mematung, juga tanpa ekspresi.

Di ruang sendiri ini, hanya ada aku, kamu, dan ketakutan yang memenuhi ruangan. Menghimpit nafas kita. Mengunci ruang gerak kita. Mendesak dari dalam dada, memaksa membuncah keluar. Mencoba meledakkan kepala-kepala kita.

Sampai kapan? Kumohon jangan jawab pertanyaan retoris ini. Tapi lakukanlah sesuatu.

Rumah, 2 Juni 2017