Sunday, February 14, 2021

Butuh waktu lama untuk sampai ke sini. Duduk di sebelahmu lagi. Setelah momen terakhir adalah di sebuah rumah makan jauh di seberang laut. Aku memindahkan sebuah tas hitam kotak berisi perlengkapan perangmu. Ah, waktu itu aku belum move on dari orang lain.

Aku ingat setahun sebelum itu, aku sedang duduk di dalam mobil, menemani aktivitas seseorang yang kusegani. Kami mampir ke daerahmu waktu itu. Ada panggilan pertemuan katanya. Hey, aku melihatmu. Berkaos... ah, aku lupa warnanya. Bersandal jepit. Duduk di tepi jalan yang kulewati. Bersantai sepertinya.

Aku lega melihat wajahmu waktu itu sebagai wajah sebaya yang kukenali setelah begitu banyak pertemuan dengan orang-orang tua membicarakan hal-hal rumit. Menyapa? Ah, terlalu sok kenal. Karena sepertinya kamu tidak mengenalku saat itu. Di momen-momen berikutnya, aku menunggu pertemuan-pertemuan itu lagi, tapi tidak pernah terjadi.

Sampai tahun berikutnya ketika aku mendapati namamu berada dalam daftar perjalanan yang sama denganku. Berharap dapat mengenalmu lebih dekat, tapi itu tidak pernah terjadi. Lalu harapan itu tertinggal di pulau seberang. Aku terbang berharap kembali ke sana dan memungut serak-serak yang tertinggal.

Setahun kemudian, aku masih belum bisa kembali ke seberang untuk memurojaah harapan yang tidak sempat berkembang. Tapi kemudian aku di sini. Menatap langsung ke arah matamu untuk berbicara hanya yang perlu. Kemudian tertunduk malu saat orang-orang di sekeliling membicarakan kita.