Tuesday, February 21, 2017

Tamu Bapak (1)

"Dek, jangan pulang dulu. Lagi ada tamu." Pesan singkat dari Bapak muncul di ponsel pintarku beberapa saat setelah aku menjejak turun dari metromini. Tepat di depan gang rumah.

"Yah, Pak, udah di depan."
"Tunggu di pos kamling aja dulu. Kalo lama, kamu ke rumah Bi Upi aja. Bapak udah bilangin."

Tumben. Nggak biasanya Bapak bersikap aneh seperti ini. Ini sudah lepas Isya'. Biasanya Bapak malah sibuk nelponin anak gadisnya yang super sibuk ini kalau belum pulang juga. Tamu?  Sering juga kok aku pulang saat masih ada tamu Bapak di rumah. Biasanya sih Mang Ojak, rival catur Bapak.

Tapi aku menurut. Berjalan dari depan gang ke pos kamling harus melewati rumah. Tidak ada Mang Ojak di kursi depan. Tempat biasa dia main catur sama Bapak sampai larut malam. Tapi...

Ada sepeda motor yang terparkir di halaman. Motor yang selalu kau gunakan menemani semua aktivitas padatmu. Motor matic biasa keluaran dua tahun lalu. Pemberian kakek, katamu, sebelum beliau meninggal Muharrom lalu. Motor yang sering juga kupinjam untuk memenuhi beberapa tugas. Mana bisa aku tidak mengenalinya.

Tamu Bapak dan motor itu, motormu. Dua hal yang tidak bisa ketemukan relasinya. Atau lebih tepatnya, aku tidak berani menghubung-hubungkannya. Bapak dan pemilik motor itu, kamu. Dua orang yang aku yakin sekali tidak punya irisan sosial apapun sebelum ini.

Menunggu di pos kamling menjadi acara paling tidak terdefinisi seumur hidupku. Berkali kulihat jam tanganku yang kali ini rasanya seperti berputar sangat lambat.

Sore tadi, selepas rapat, kamu memang segera pamit. Kami maklum, orang sibuk sepertimu pasti tidak akan menyia-nyiakan waktu produktif. "Sholat maghrib di tempat tujuan," katamu.

Sementara aku dan beberapa teman perempuan melanjutkan aktivitas dengan makan malam di cafe dekat kampus. Setelah itu baru aku pulang. Tapi tumben. Kereta tidak sepenuh biasanya. Metromini pun begitu. Jalanan lancar. Seolah mengantarku mengejar sesuatu yang tidak boleh aku lewatkan. Sedikit pun tidak curiga, hanya tidak seperti biasanya saja.

Aku masih sibuk mencerna semua kejadian hari ini ketika aku melihat pintu rumah terbuka. Tidak sulit melihat situasi rumah dari sini. Lebih mudah lagi mengenali siapa yang keluar dari pintu depan. Kamu, lalu Bapak. Bapak melihat ke arahku. Tapi tidak terlihat raut wajahnya karena mata minusku. Yang selanjutnya kulihat adalah bagian belakang motor matic merahmu yang berjalan ke arah jalan raya.

"Assalamu'alaikum," ucapku saat masuk rumah, kemudian mencium tangan Bapak. Bapak menjawab sambil tetap memandangi televisi di depannya. Tapi ketika aku mulai menaiki tangga menuju kamar, Bapak berkata,

"Dek, habis bersih-bersih, Bapak mau bicara," Bapak masih terlihat tidak peduli dengan mata yang tertuju pada televisi. Wajah Ibu yang baru keluar dari kamar pun tidak memberi petunjuk apa-apa.

Aku tidak bertanya. Tidak pula menanggapi. Tapi lima belas menit dari sekarang, aku pasti sudah akan ikut duduk bersama mereka berdua. Aku hanya tidak berani berprasangka apapun.

Mampang Prapatan, Selasa, 21 Februari 2017, 23.49 WIB

 Baca juga :
Tamu Bapak (2)
Tamu Bapak (3)
Tamu Bapak (4) - ed. Rahmi dan Syayma
 

No comments:

Post a Comment