Sunday, January 24, 2010

Meet Again with Old Friend

Kala itu aku masih kecil. Sekitar umur lima tahun. Aku mempunyai seorang sahabat. Namanya Elina. Persis seperti nama peri di dongeng Fairy Thopya Mermaidia. Aku dan dia sangat dekat.. Yang masih kuingat ia adalah anak yang manja dan mempunyai banyak sekali boneka Barbie. Maklum pada saat itu dia masih anak tunggal.
Tapi kemudian aku dan orangtuaku pindah keluar kota dan berpisah dengan Elina. Satu bulan kepindahanku dari kota itu, masih ada kabar dari orangtua Elina. Dan ketika aku mulai masuk SD aku menerima surat dari Elina bahwa ia telah memiliki seorang adik perempuan. Aku pun ikut senang.
Tapi sekarang ketika aku dan dia sudah mulai memasuki kelas SMP, sudah tidak ada kabar lagi darinya. Aku sangat rindu dia. Mungkin dia sudah memiliki banyak teman sekarang. Dan sudah seperti apa dia sekarang.
Aku kini punya segudang prestasi yaitu hasil karangan ku yang sampai terdengar di negara tetangga. Kalau Elina masih ingat aku mungkin Elina sangat bangga padaku. Di dalam HP papa masih ada fotoku waktu masih kecil bersama Elina. Ia sangat manis.
Aku mulai mendapat tawaran tour ke kota-kota di provinsiku. Tapi pihak penerbit buku-bukuku belum memanggilku untuk tour ke Kota kelahiranku, Kota Male. Aku sangat ingin bertemu Elina.
Malam hari kuselesaikan cerpenku yang berdeadline lusa. Aku sangat capai. Sejak subuh tadi tak henti-hentinya handphone ku berdering. Maklum musim liburan. Aku pun terlelap. Keesokan paginya aku terbangun dan mendapat telepon dari penerbit bukuku dan mengatakan bahwa aku mendapat tour ke kota Male. Aku berpikir bahwa kalau kuberitahu Elina bahwa aku kesana, nanti bukan surprise lagi dong. Aku pun berencana merahasiakan keberangkatanku ke Male pada Elina.
”Eggy, bangun sayang sudah pagi nih, roti dan susunya sudah mama siapkan, nanti keburu digin lho, bangunsayang,” ujar mama. Oh ternyata tadi aku Cuma mimpi.
”Oya, gy tadi malam mama mendapat telepon dari penerbit buku kamu, katanya minngu depan kamu mendapat tawaran tour ke Male, tempat Elina,” sambung mama.
”Benarkah ma?” tanyaku meminta kepastian.
”Ya benar” jawab mama. ’Tuhan ternyata mimpiku jadi kenyataan’ batinku gembira.
”Bolehkah aku mengajak teman-temanku? Aku akan memperkenalkan mereka pada Elina, boleh ya ma, hanya teman dekat kok,” pintaku.
”Ya boleh tapi tiga orang saja, sudah sana bangun, lalu makan, kita mau jalan-jalan ke pantai,” kata mama.
###
Siang harinya...
”Hallo Silvy, selamat siang kamu mau denger berita nggak?” sapaku didalam telepon.
”Berita apa?” tanya Silvy penasaran.
”Aku mau tour ke Male, kamu mau ikut ngak?” tanyaku.
”Wah mau banget!!!” seru Silvy antusias. ”Melda dan Rara ikut juga nggak?”
”Iya mereka ikut juga, nanti aku telepon mereka. Oya disana aku mau kenalin kamu sama teman masa kecilku, itu lho yang sering aku ceritakan sama kamu, Elina,” jelas ku. ”Udah dulu ya aku masih ada tugas lagi nih, da..”
kalo gitu aku aja yang nelpon Melda dan Rara, da..”
Aku kembali menyelesaikan cerpenku yang belum selesai. Tiba-tiba ide ku mentok begitu saja. Aku nggak tahu apa yan hrus kutulis sekarang. Dan tiba-tiba saja aku teringat kembali pada Elina. Si manis yang sempat menjadi model balita di sebuah majalah.
’Eggy! Eggy!’ teringat kembali panggilan Elina ketika mengajakku bermain dengannya dulu. Tapi sekarang aku sudah berpisah dengannya. Dan sebentar lagi aku akan bertemu dengannya. Uh senangnya.
Selama seminggu aku tak sabar menunggu saatnya tiba aku bertemu dengan sahabat masa kecilku. Rasanya seminggu itu sangat lama.
Ketika malam sebelum keberangatan ku ke Male, handphoneku berdering. Tidak di tampakkan nomornya. Kuangkat saja.
”Hallo, apakah ini penulis yang bernama Eggy?” tanya seseorang dari seberang telepon sana. ’Heran malam-malam begini nelpon’ batinku dalam hati.
”Iya benar ini saya sendiri ada apa ya? Ini siapa mlam-malam begini nelpon?” kataku yang sudah mulai ngantuk.
”Gy, ini aku, Elina!” katanya.
”Benarkah ini Elina? Tuhan, jadi ini kamu Elina, mimpi apa aku semalam sampai ditelepon sama Elina, gimana kabar mama-papa kamu? Baik-baik aja kan” kataku.
”Mama sudah meninggal dua tahun yang lalu, beliau terkena serangan jantung, aku sekarang tinggal sama papa,” kata Elina sedikit lesu.
”Maaf Lin, bukan maksud aku menyinggung perasaan kamu,”
”Nggak apa-apa, aku ngerti kok, oya aku dengar kamu mau tour ke sini ya, wah senangnya, sudah lama nggak ketemu akhirnya aku ketemu kamu juga,” kata Elina.
”Kapan berangkatnya?”
”Besok, tunngu aja ya, dirumahmu,” kataku.
”Sekarang rumahku bukan dirumah yang dulu lagi, aku sudah pindah, rumahku sekrang masuk ke pelosok, soalnya di rumah yang dulu keadaan semakin kacau sejak mama meninggal, dan komunikasi sama tetangga jadi kurang sejak mama nggak ada, dan nggak ada lagi yang beresin rumah, dan papa juga nggak sempat cari pembantu. Kalau kamu mau kerumahku, kamu telepon aja dulu nanti aku yang jemput, udah gitu dulu, capek nih tadi ada pemotretan banyak banget tugasnya. Da Eggy, sampai ketemu besok!” kata Elina. O.. jadi Elina sekarang jadi model, suaranya juga berbeda. Dan sifat manjanya sudah nggak kelihatan lagi. Mungkin karena dia sudah punya adik.
###
”Hai Eggy! Sorry aku telat. Tadi aku belanja makanan dulu,” kata Melda.
”Kamu ini, makanan mulu yang dipikirin, lagian kita bukan mau kemping, ya kan Gy?” kata Rara.
”Jadi Eggy ajak teman-teman?” kata editor bukuku yang kali ini.
”Iya, aku mau kenalin mereka sama teman masa kecilku di Male,” kataku.
”Wah jadi kebetulan gini ya, si Eggy punya teman masa kecil di Male.” kata mas Ankara editorku.
”Semua sudah siap? Ada yang ketinggalan nggak?” kata mama.
”Siap!!!” seru semua.
Ada tiga mobil yang menuju bandara bersama kami. Dua mobil adaah mobil panitia dan tim beberapa penulis. Aku sudah tidak sabar ingin segera sampai di Male.
Saat di bandara ada satu kejadian yang menegangkan. Melda hilang!! Melda berpisah dengan kami saat kami sedang menunggu pesawat di ruang tunngu. Semua orang sibuk mencari Melda. Tiba-tiba dengan santainya Melda berjalan sambil membawa makanan.
“Ya ampun Melda!! Kita semua itu nyariin kau, kiraiin kamu ilang!” pekik Silvy gemas.
”Sorry aku nggak bilang dulu sama kalian soalnya aku udah laper banget nih,” kata Melda sambil cengengesan.
”Eh buruan pesawat kita sudah mau take off nih, jangan sampai ada yang ketinggalan!” kata mbak Vivi bagian pemasaran bukuku
”Silvy, pegangin Melda erat-erat, nanti dia pisah lagi,” kata Rara gemas.
Sebentar lagi aku akan tiba di Male. Kota yang sangat kurindukan. Bukan hanya kotanya tapi juga Elina.
”Perhatian kepada para penumpang dimohon untuk mengencangkan sabuk pengaman dan menegakkan dudukan anda karena pesawat sebentar lagi akan mendarat.” ujar seorang pramugari dari pengeras suara pesawat ketika pesawat itu sudah akan tiba di bandara Male.
Ketika kami sudah sampai di Male kami pun langsung memesan beberapa kamar di sebuah hotel berbintang lima. Yang tidak enaknya aku sekamar dengan teman-temanku. Ketika aku sudah sampai dikamarku, aku langsung menelpon Elina.
”Hallo Elina, aku sudah sampai di Male nih, oya besok kita ketemuan di cafe hotel Hyam Rook meja nomor 15 ya.. aku pakai baju warna merah bunga-bunga. Oya aku juga ajak teman-teman sekolahku lho. Mumpung aku belum jumpa fans, jadi besok aja ketemuannya. Kalau lain hari nanti nggak sempat. Ya udah ya aku mau mandi dulu nih baru sampai. Daa.. sampai ketemu besok!”
”Da..”
”Woi! Buruan! Mandinya lama banget sih Mel?” teriakku dari luar kamar mandi.
”Iya nih dikamar ini kan bukan cuma kamu yang mau mandi! Kita-kita juga mau mandi nih, udah bau!” sambung Silvy.
”Iya, buruan!” lanjut Rara.
”Iya sabar... udah mau selesai nih,” sahut Melda dari dalam kamar mandi.
”Gini teman-teman besok kita mau ketemuan sama Elina, jadi kalian besok nggak boleh jalan-jalan dulu.” kataku ketika semua sudah selesai mandi.
###
Keesokan harinya...
”Aduh temanmu itu kok lama benget sih?” keluh Melda.
”Maklumlah, rumah dia itu di pelosok, kamu sabar aja paling sebentar lagi dia datang.” kataku.
Tiba-tiba ada yang menepuk pundakku dari belakang.
”Kamu Eggy ya” tanyanya.
”Iya. Kamu Elina ya.”tanyaku.
”Ya Tuhan kamu cantik sekali sekarang..” kata Elina.
”Kamu jauh lebih cantik Elina,” balas ku. ”Sudah lama aku nggak ketemu kamu sekarang kamu suah jadi model,”
”Kamu juga sudah hebat, karangan cerpenmu sudah sampai ke negara tetangga. Gimana kabar mama-papa kamu Gy?” tanya Elina.
”mereka baik-baik aja kok.” jawabku. ”Oya kenalin ini namanya Silvy, yang gendut itu namanya Melda, dan yang pakai baju warna biru muda itu namanya Rara.”
”Senang bertemu kalian semua..” sapa Elina.
”senang bertemu denganmu juga..” jawab teman-temanku kompak.
Pertemuan itu sangat berkesan di hati aku. Kini aku sudah kembali ke tempat tinggalku. Dan kini aku sudah masuk ke kelas tiga SMP. Dan cerpen-cerpenku sudah banyak dipublikasikan. Elina pun sudah menjadi artis sinetron yang profesional. Dan aku berjanji komunikasi diantara kita tak akan pernah putus lagi.
Elina.. oh Elina my best friend forever...



=============Sekian=============
=======Jakarta, 13 April 2008=======

Sahabat yang Pergi


Hh.. aku membanting tubuhku ke atas springbedku yang empuk. Kubiarkan sepatuku masih menempel di kakiku. Kubiarkan pula tas sekolahku tergeletak tak berdaya di samping tempat sampah. Aku melepas jilbab putihku lalu menyalakan kipas angin dan membiarkan anginnya memainkan rambutku.

”Cukup, Ras! Hentikan semua permintaan maafu itu! Aku sudah muak dengan semua ini. Kalau kumaafkan kau akan mengulanginya lagi! Aku sudah hafal sifat-sifatmu itu.” masih terngiang kata-kataku sendiri pagi tadi saat Laras menghampiriku untuk meminta maaf. Begitu pula siangnya sepulang sekolah. Tak ada kata maaf baginya! Aku sudah terlampau kecewa. Pikiranku melayang ke masa lalu. Memutar memori tiga minggu lalu. Saat aku memutuskan persahabatan kami.

***

”Ras,” sapaku pagi itu. Saat itu sedang isirahat sekolah. Yang dipanggil tidak menjawab. Mungkin suaraku tidak terdengar.

”Ras!” aku mengulangi dengan suara lebih keras. Menurutku itu sudah cukup untuk terdengar Laras. Tapi dia malah berlari ke arah Bilqis sambil tertawa-tawa. Aku memanggil-manggil dengan suara yang lebih keras. Tapi ia tak menghiraukan.

Itu terus berlangsung di hari-hari berikutnya. Seminggu sebelum hari itu Bilqis sakit cacar air. Selama seminggu ia tak masuk sekolah. Dan selama itu pula aku dan Laras selalu bersama. Jajan bareng, main bareng, bahkan berangkat sekolah bareng. Setiap istirahat Laras mendatangi mejaku dan mengajak ke kantin. Kami selalu main bareng, ketawa bareng, dan saling curhat.

Tapi sejak Bilqis kembali sekolah, Laras seakan lupa sama aku. Walaupun kami masih berangkat sekolah bareng, di sekolah, Laras nggak pernah peduli sama aku. Aku tidak suka sifatnya yang satu itu. Itu yang mebuatku marah sama dia. Akhirnya aku menjauhinya.

Seminggu setelah Bilqis kembali sekolah, aku tidak pernah berangkat sekolah bareng Laras lagi. Sebisa mungkin aku menghindari Laras, Pagi hari, aku berusaha berangkat lebih pagi dari biasanya supaya tidak bareng Laras. Ketika di sekolah Laras menyapaku pun aku pura-pura tidak mendengarnya.

Siangnya Laras mencegatku, ”Lla, tadi kok nggak berangkat bareng?”

”Lagi pengen berangkat pagi.” jawabku sekenanya.

”Kamu marah ya, Lla?” tanyanya.

”Pikir aja sendiri!” semburku lalu langsung masuk ke dalam angkot yang baru berhenti. Diangkot itu tinggal ada satu tempat duduk. Yaitu di bagian depan. An sekarang sudah aku tempati sehingga Laras tidak bisa mengikutiku. Mau tidak mau dia harus menunggu angkot berikutnya. Emangnya enak ?!

Keesokan harinya Laras tidak menyapaku sama sekali. Biasanya kalau tahu aku marah, Laras buru-buru mengemis meminta maaf. Tapi sekarang dia justru nyuekin aku. Aku bertambah marah.

Akhirnya aku memutuskan untuk mendekati Bilqis. Aku akan mencoba untuk menjauhkan Bilqis dari Laras dan bermain dengannya. Supaya Laras tahu bagaimana sakitnya dicuekin. Tapi situasi tetap sama. Tidak ada sama sekali permintaan maaf dari Laras.

Seminggu setelah itu Bilqis pindah sekolah dan juga pindah rumah. Papi Bilqis yang diplomat itu dipindahtugaskan ke Australia. Mau tidak mau Bilqis dan maminya ikut pindah ke sana. Bukan masalah juga bagi Bilqis. Dari kecil Bilqis sudah dibiasakan oleh papi-maminya berbicara menggunakan bahasa Inggris di rumahnya.

Baru setelah itu Laras mendekati aku dan merengek-rengek minta maaf. Hebat banget ya dia?! Setelah tidak ada teman dia baru minta mau minta maaf. Dia kira nggak sakit apa diperlakukan seperti ini?! Aku sudah terlanjur kecewa dan sakit hati sama sikapnya. Aku bertekad untuk tidak memaafkan Laras.

***

Aku sadari sejak aku menjauh dari Laras, keceriaan juga seolah hilang dariku. Aku jadi jarang tertawa. Kalaupun ada yang lucu, paing aku hanya tersenyum. Aku lebih memilih untuk membaca buku daripada bergabung dengan teman-teman yang lain di kantin ketika istirahat. Aku juga tidak lagi memedulikan apa yang Laras kerjakan. Emang gua pikirin?!

”Sya, boleh mama masuk?” sahutan mama dari depan pintu kamarku menyadarkanku dari lamunanku. Aku ingin menolak, tapi aku nggak enak ngomongnya.

”Iya, masuk aja, ma. Nggak dikunci kok.” seruku.

”Aduh, anak mama ini kok belum ganti baju? Mana sepatunya belum dilepas, lagi. Ini tasnya kok ditaruh disini..” mulai deh cerwetnya.

”Lagi males, ma. Ntar aja Sya beresin.” kataku malas-malasan. Mama duduk di tepi tempat tidurku.

”Sya, mama perhatiin kok akhir-akhir ini setiap pulang sekolah kamu malas-malasan kayak gini sih? Biasanya main sama Laras,” tutur mama, ”lagi marahan ya? Kok kalau berangkat sekolah nggak bareng lagi?”

”Sya lagi banyak urusan di sekolah, ma. Berangkatnya harus pagi-pagi. Dan siangnya pasti capek berat, ma. Males main.” jawabku tak menatap mama. Takut kalau mama tahu kalau aku berbohong.

”Ya udah. Jangan lupa ganti baju dan beresin kamar, ya.” kata mama sebelum keluar dari kamarku. Huft... aku kebanyakan melihat kebelakang sehingga tidak peduli sama semua urusan yang ada di depan. Laras itu masa lalu. Aku nggak peduli lagi sama dia.

***

Pulang sekolah aku langsung melangkah pulang. Tapi di tengah perjalanan Laras mencegatku.

”Lla, maafin aku dong.” pintanya sambil menarik tanganku. Kutepiskan tangannya. Aku mendorong tubuhnya dan berlari saat dia lengah karena terkejut. Laras memanggil-manggilku dari belakang. Lalu terdengar jeritan. Itu suara Laras! Aku menengok ke belakang. Laras terjatuh dengan kepala bersimbah darah karena terbentur trotoar. Ia terserempet motor. Aku panik.

”Laras!” aku nggak peduli darahnya mengotori rok sekolahku. Kuhentikan sebuah taksi yang lewat. Dengan dibantu oleh orang-orang yang ada di sekitar tempat itu, aku mengangkat Laras ke dalam taksi lalu meluncur ke UGD terdekat. Kurogoh tasku untuk mencari HP. Aku menelepon rumah Laras dan menceritakan kalau Laras kecelakaan, kemudian menelepon mama.

Laras dilarikan ke UGD sebuah rumah sakit. Ia sedang ditangani oleh petugas-petugas UGD itu. Tak lama kemudian orang tua Laras dan mama datang. Mereka terlihat panik dan menanyakan penyebab kejadian.

Aku menunduk. Kalau dirunut dari awal, akulah penyebab semua ini. Laras terserempet motor karena mengejarku yang tidak mau memaafkannya tadi. Seandainya tadi aku langsung memaafkannya, tak mungkin ada kejadian seperti ini.

Aku menganti pakaian sekolahku yang bersimbah darah dengan baju yang dibawa mama. Kami menunggu Laras dengan geisah. Lalu dokter keluar dari UGD itu.

“Nona Laras mengalami gegar otak di sebelah kiri dan belakang. Lengan atas tangan kanannya patah. Ia harus menjalani perawatan intensif. Bisa diurus di bagian administrasi.” Tutur sang dokter kepada mama Laras yang khawatir akan keadaan anak semata wayangnya itu.

“Terima kasih, dok.” Ujar mama Laras.

”Ya, sama-sama. Saya permisi dulu.”

Hari itu juga Laras dipindahkan ke ruang perawatan VIP. Aku menungguinya sampai sore. Sorenya dengan berat hati aku pulang ke rumah. Laras koma. Entah sampai kapan. Aku jadi semakin merasa bersalah. Ya Allah, tolong selamatkan Laras.

***

Pagi harinya aku pergi ke rumah sakit. Untunglah hari ini hari Sabtu. Sekolah libur dan aku bisa menunggui Laras seharian. Ketika sampai di kamar perawatan Laras, mama Laras menyapaku.

”Pagi Syakilla.”

”Pagi, tante. Gimana kabar Laras? Apa dia udah sadar?” tanyaku.

“Tadi pagi Laras sudah sadar. Sekarang ia sedang tidur. Pengaruh obat. Lla, tolong jaga Laras, ya. Tante mau pulang dulu.” pesan tante Zira, mama Laras. Aku mengangguk.

Tak lama setelah tante Zira dan om Adri, papa Laras, pergi, Laras membuka matanya.

”Lla, kamu udah maafin aku?” itu kata-kata pertamanya pagi itu. Aku tersenyum dan mengangguk sambil berkata, ”ya.”

”Makasih ya, Lla.” katanya, ”aku emang salah, Lla. Nggak seharusnya aku lupain kamu begitu aja waktu ada Bilqis.”

”Ya udah, lah. Itu udah lewat. Sekarang aku yang minta maaf karena kamu jadi kayak gini gara-gara aku.”

”Sudahlah, Lla. Ini semua memang sudah takdir hidup aku.” jawabnya. Aku tersenyum dan memeluknya.

”Lla,” kata Laras ketika aku melepas pelukanku, ”tolong bilangin sama mama dan papaku, ya. Bilangin kalau aku minta maaf dan ngucapin terima kasih. Bilang juga terima kasih sama mama kamu yang udah baik banget sama aku dan menganggap aku anaknya. Makasih ya, Lla, udah mau jadi sahabatku. Maafin aku kalau aku sering bikin kamu marah dan BT. Aku ngantuk, Lla. Aku mau tidur. Kayaknya aku akan tidur nyenyak sekali. Jangan ganggu aku ya, Lla.” aku hanya mengangguk dan membantunya menarik selimut. Dan dengan cepat Laras terlelap.

Tiba-tiba perasaanku berubah jadi nggak enak. Seperti ada sesuatu yang akan terjadi. Ada apa ini? Maafin aku, Ras. Aku udah bikin kamu jadi kayak gini. Untung aja kamu nggak hilang ingatan. Kamu pasti sembuh, kok, Ras. Kita bisa ketawa dan curhat kayak dulu lagi. Bisikku dalam hati.

Aku memandangi monitor pendeteksi detak jantung. Dan tiba-tiba garis-garis yang ada di monitor berubah menjadi lurus. Secepat kilat aku memanggil dokter dan suster yang segera menuju kamar Laras. Aku diminta menunggu di luar. Sambil menunggu, aku menelepon tante Zira dan om Adri lalu menelepon mama. Tak lama mereka datang dan menanyakan keadaan Laras. Setelah aku jelaskan mereka terlihat sangat panik dan khawatir.

Beberapa menit kemudian dokter keluar dari kamar Laras dengan raut wajah yang sulit ditebak. Beginikah tampang semua dokter jenis ini?

”Maaf..” hanya sepenggal itu, aku sudah bisa menebak apa yang terjadi dan hendak dikatakan dokter itu, ”Laras tidak bisa diselamatkan. Kami sudah berusaha semampu kami, tapi tetap saja semua adalah kehendak Yang Di Atas.”

”Laras!” aku berlari menerobos masuk ke kamar perawatan Laras. Sebelumnya kulihat tante Zira pingsan. Ia pasti sangat sedih karena anak semata wayangnya itu harus pergi terlebih dahulu. Dengan air mata berlinang aku memanggil-manggil nama Laras. Walau kutahu itu pasti sia-sia. Laras tidak mungkin bangun kembali.

Jasad itu pucat. Selukis senyum tipis terbentuk di bibirnya yang juga pucat.

”Maafkan aku, Ras.” bisikku.

”Semoga semua kebaikan dan amalmu di terima Allah, Ras. Selamat jalan sahabatku.” doaku dalam hati.

***

Gundukan tanah itu masih berwarna merah. Bunga-bunga segar masih tertabur diatasnya. Dibawah situ ada jasad sahabatku. Orang yang paling kusayangi setelah mama. Selamat jalan, Laras. Maafkan aku. Selamat jalan sahabatku.

Aku melangkah pulang dengan mata membengkak. Aku harus mengubur semua mimpi untuk ketawa bareng Laras lagi, mengubur janji kita yang akan selalu bersama untuk meraih kesuksesan.


Jakarta, 19 Januari 2010