Friday, May 26, 2017

Jalan


Ternyata hari ini, tujuh tahun yang lalu, adalah pengumuman penerimaan siswa baru IC angkatan 16. Yang alhamdulillah, hasilnya diterima.

Saat itu, aku harus melepas sekolah lain padahal sudah daftar ulang. Saat itu, nggak pernah berharap banyak bisa keterima di IC. Saat itu juga sudah siap-siap masuk sekolah lain, sekolah yang sudah diinginkan sejak kelas 6 SD karena sebagian besar teman SD masuk ke MTs-nya.

Hikmahnya? Masih berusaha dirangkai. Bukankah hidup adalah serangkaian hikmah yang harus terus dicari, dirangkai, kemudian diresapi? Kalau kata wali asramaku dari kelas sepuluh sampai dua belas, kadang, kita baru akan mengerti maksud dari suatu simpul kehidupan kita bertahun-tahun setelahnya. Mungkin sekarang sudah sedikit terjawab. Tapi belum sempurna.

Kalau saja jadi di sekolah itu, sekarang mungkin masih semester 6 karena sekolahnya 4 tahun, atau bisa juga semester 8 kalau cukup pintar untuk bisa loncat kelas. Punya kelompok pertemanan yang pasti berbeda. Mungkin juga akan punya cara pandang yang berbeda. Kita tidak akan pernah tahu kan?

Kita tidak akan pernah tahu akan jadi seperti apa kita kalau menempuh jalan yang berbeda. Karena hidup adalah sekumpulan pilihan di atas konteks dan kondisi. Sekalipun kita menghadapi pilihan yang sama dua kali, mungkin kita akan menjatuhkan keputusan pada pilihan yang berbeda, tergantung konteks saat itu. Hasilnya pun belum tentu sama. Karena akan bergantung pada kondisi sekitar kita. Misteri? Allah Maha Tahu.

Di kampus, beberapa kali bertemu dengan orang yang berkata padaku, "Jadi kamu anak IC? Dulu aku pengen banget masuk situ. Tapi ga keterima..." Itu namanya takdir. Bukan soal siapa yang lebih pintar, tapi jalannya memang bukan di situ. Kadang jadi membayangkan juga seandainya dia juga diterima. Akankah kami berteman dekat di IC? Akankah kami bertemu kembali di kampus?

Lain waktu, aku yang berkata pada teman kampus yang sekolah di sekolah itu. Iya sekolah itu, yang aku nggak jadi masuk. "Dulu aku mau sekolah di situ. Udah daftar ulang, udah ukur seragam, bahkan katanya masih dipanggil namanya pas orientasi. Tapi nggak jadi. Soalnya orang tua memilih IC."

Ah, bukan juga soal menjadikan sekolah itu sebagai cadangan (seandainya tidak diterima IC). Tapi ya, lagi-lagi, bukan jalannya. Tapi ya, kadang tetap berandai-andai juga. Seandainya jadi sekolah di situ, akan kenal dia, dia, atau dia nggak ya? Akan ketemu lagi di kampus nggak ya?

Yang pasti, garis waktu itu jalannya ke depan. Kalo ke belakang, namanya flash back. Dan namanya juga flash back, ya sekilas-sekilas aja. Seringnya juga ga jelas-jelas amat gambarnya. Jadi ya kita emang nggak akan bisa memperkirakan akan jadi seperti apa kita kalau mengambil jalan yang berbeda. Variabel yang bisa mempengaruhi hidup ini tuh ada banyaaak. Ga akan bisa diperkirakan satu-satu.

Intinya apa? Syukur dan jalan ke depan. Hargai apa yang kita dapat karena memilih sesuatu, bukan meratapi apa yang tidak kita dapat karena tidak memilih sesuatu yang lainnya. Karena bahagia itu, kita juga yang memilih.

Lalu aku, memilih bahagia, dipertemukan denganmu di kurun waktu saat ini. Tidak lebih cepat, tidak lebih lambat. Karena kalau lebih cepat aku akan bosan, kalau lebih lambat, aku akan bertemu dengan yang lainnya. Haha
Kosan, 26 Mei 2017

Monday, May 22, 2017

Pujian

 Reminder Day 128 

Jangan biarkan hatimu bangga atas pujian orang lain, dan terpuruk karena hinaan mereka -anonim

5 hari menuju Ramadhan

Begitu teks reminder malam ini. Bikin banyak berpikir. Betapa hati ini begitu lemahnya. Jangankan ujian hati yang datangnya menyisip-nyisip kayak gini. Ujian yang terang-terangan macam benar-salah saja masih sering gagal.

Tentang pujian, sering kali ia datang dari orang yang mungkin tidak tahu terlalu dalam tentang kita. Tidak tahu respon yang bisa kita lakukan di saat kritis. Tidak tahu hal-hal lain yang dilakukan di balik jangkauan pantuan mereka.
Pernah nggak kamu merasa tidak pantas menerima suatu pujian, bahkan jadi merasa tersindir karenanya? Aku sering.

Oh, pasti pernah juga kita berbangga atas pujian. Kadang kala, kalau rasanya pujian itu benar adanya, akan timbul (walau mungkin sedikit) rasa senang karena diakui. Kalau pinter ngeles, akan mudah menutupinya. Kalau tidak, siap-siap awkward.

Tentang hinaan, beberapa orang bisa lebih bertahan menghadapi  hinaan daripada menghadapi ujian berupa pujian. Tapi ingin pengakuan itu khas manusia banget. Karena manusia itu ga bisa dilepasin dari ego dan pride.

Jadi intinya apa? Nggak ada. Balik lagi aja ke quote awal. Ah, urusan hati banyak banget ya ujiannya.

يا مقلب القلوب ثبت قلبي على دينك و على طاعتك
Rumah, Penghujung Ahad, 21 Mei 2017

Sunday, May 21, 2017

Overthinking vs Ignorant

"Kadang gue tuh suka sedih, kenapa gue overthinking banget jadi orang. Sama makanan overthinking, sama orang, sama segala sesuatu."

"Yaudah sih, overthinking overthinking aja. Semakin kamu mikirin kenapa kamu orang yang overthinking, semakin kamu sedang overthinking terhadap ke-overthinking-an kamu. Aku juga overthinking kok... (terputus)"

"Ah, nggak! Lo mah cuek orangnya. Cuek banget. Gue sebenernya suka (berteman-red) sama orang-orang yang cuek."

"Oke ralat, somehow, aku orang yang overthinking juga kok, dalam beberapa hal tertentu"

Salah satu potongan percakapan malam tadi di warung kopi. I let you guess, yang mana yang kata-kataku yang mana yang bukan...

Ya, akulah the "somehow" one. Kayak aku emang sedang dalam keadaan overthinking terhadap sesuatu yang akhirnya membuat aku mengeluarkan pernyataan bahwa aku adalah orang yang juga overthinking. Melihat capture-an peristiwa di sekitar saat itu saja membuatku tidak bisa menilai diriku sendiri secara utuh. Lalu disadarkan pada penilaian dari orang lain bahwa aku adalah orang yang super cuek.

Somehow aku ngerasa, dia ada benarnya juga. Tapi nyatanya nggak sepenuhnya benar juga. Atau lebih tepat disebutkan bahwa aku mencoba untuk (terlihat) cuek pada hal-hal yang sebenarnya sangat mengganjal dan mengganggu pikiran. Mencoba (dan sering berhasil) melupakan hal-hal yang apabila pikirannya terus dilanjutkan, akan menghasilkan sikap-sikap canggung yang terpaksa harus kulakukan. Karena pada tataran sikap, aku selalu gagal menutupi suasana hati. Lalu aku merasa, hal yang lebih mudah adalah mempengaruhi ingatan (dengan cara melupakan sesuatu), sehingga ingatan itu tidak mempengaruhi suasana hati, sehingga suasana hati itu tidak mempengaruhi sikap, sehingga aku tidak melakukan hal-hal canggung yang akan sangat kubenci jika terpaksa harus kulakukan.

Kadang, menjadi orang yang cuek (plus pelupa) adalah hal yang sangat kusyukuri. Aku nggak perlu repot-repot menutupi suasana hati karena takut canggung (dalam kasus apapun). Aku nggak perlu repot-repot menyembunyikan kekesalan lama-lama. Aku nggak perlu repot-repot menutupi rasa malu lama-lama. Karena aku sudah lupa.

Tapi kadang nyesel juga karena keterusan jadi orang yang over cuek. Jadi nggak peduli sekitar, padahal kalo kata tes MBTI, aku ini orang ESFJ (The Consul). Jadi sering teringat sama sekitar setelah semua terlambat. Jadi sering ngerasa bersalah karena nggak lebih banyak tahu tentang teman dekat daripada si teman itu mengerti aku.

Well, secuek-cueknya aku, benar kan ada overthinking-nya juga. Paling nggak overthinking tentang seberapa cuek aku.
Masih di kosan, Minggu, 21 Mei 2017

Saturday, May 20, 2017

Kaca

Kaca itu berganti rupa
Tidak lagi wajahku
Bukan lagi hidupku

Sejak dulu bukan rupaku
Sejak lama bukan ceritaku
Kupecah-hancurkan, menghancurkanmu
Kubiarkan, menghancurkanku
Aku memilihku
Aku saja
Yang hancur
Kosan, Sabtu, 20 Mei 2017

Ah Elah, Fah, Gitu Doang!

Malam ini aku pulang dalam keadaan seluruh tubuh masih gemeteran. Terutama suara. Bukan kelelahan. Iya sih lelah, tapi cuma sedikit. Kondisi ini lebih banyak hasil grogi berlebih yang justru muncul pasca suatu hal yang ketika aku melakukannya, rasa gugup akan menyerang seluruh tubuhku.

Biasanya, orang grogi kalau akan menghadapi sesuatu, terus setelah semua berlalu, ia akan lega dan kembali seperti sedia kala. Tapi aku selalu bertanya-tanya pada diri sendiri, kenapa aku nggak bisa membiarkan diriku duduk tenang, merasakan kelegaan, lalu melupakan rasa nervous yang baru saja berlalu. Efeknya, aku akan merasakan kelelahan yang luar biasa, sama lelahnya seperti setelah beraktivitas fisik seharian. Aku nggak yakin bagian mana yang salah.

Di kehidupan sehari-hariku, aku adalah orang yang talkative. Seperti bisa mengeluarkan semua kata yang terlintas dalam pikiranku, dengan begitu saja. Tapi semua akan berubah 180 derajat kalau aku harus berbicara di atas panggung. Panggung seperti apa pun. Berbicara tentang apa pun. Seringkali, kalau aku sedang rajin dan cukup siap, aku akan menuliskan poin-poin yang harus kukatakan. Kalau lebih rajin lagi, bahkan sampai narasinya aku tulis di kertas kecil. Tapi, bagaimanapun persiapannya, setelah naik panggung, semuanya pasti buyar. Termasuk ingatan untuk membuka teks yang sudah disiapkan. Sampai-sampai seringkali harus mengulang-ulang "رب اشرح لي صدري و يسر لي أمري و احلل عقدة من لساني يفقهوا قولي"  berulang kali supaya bisa sedikit tenang.

Aku kenal seseorang yang di kesehariannya tidak banyak bicara, tetapi kalau sudah berbicara di depan, bisa seolah akan mengeluarkan semua kata yang ada di kamus. Sering aku bertanya-tanya pada diri sendiri, kenapa aku nggak bisa seperti itu.

Aku kenal seseorang yang di kesehariannya memang cukup banyak bicara. Jadi ketika dia dengan lihai memainkan diksi di depan banyak orang, aku tidak lagi heran. Aku lebih lagi mempertanyakan. Kenapa aku...

Ya, gugup yang kubawa pulang malam ini, sedikit banyak dari sana. Setelah harus berbicara sedikiiiit sekali. Dan kalau kamu tahu apa yang tadi aku bicarakan di depan, kamu pasti akan bilang, "ahelah gitu doang". Tapi itu tidak pernah menjadi "gitu doang" bagiku.

Begitu ditutup dengan salam, tidak ada yang namanya "lega". Yang ada tangan gemetaran. Kaki nggak bisa diem. Dan jantung masih berdebar-debar. Sampai waktunya pulang pun suara masih terdengar gemetar. Pikiran masih berputar-putar di depan sana. Ada yang salahkah? Ada yang kurang kah? Ada yang terlalu cepat kah? Semakin banyak daftar pertanyaan yang terlintas di pikiran, semakin rasanya ingin menangis.

Oke, itu tadi. Kalau biasanya aku tidur untuk meredakan jantung yang masih berdebar-debar, kaki yang masih goyang-goyang nggak bisa diem, kali ini, inilah terapiku. Menuliskan semuanya. Besok, semua akan kembali seperti sedia kala. Besok, aku tidak akan mengingat kegugupan hari ini. Besok, aku akan baik-baik saja. Nantinya, kalau dirasa tulisan ini justru semakin meresahkan diriku sendiri, aku akan hapus.

Haha, curhatnya jadi panjang. Maaf harus membuatmu membaca ini (siapa tahu ada yang beneran baca). Salam hangat, cheers .
Kosan, Sabtu, 20 Mei 2017