Thursday, October 31, 2013

Ketika Aku Bertemu Denganmu


Aku bertemu denganmu di usia yang begitu muda. Seperti yang selalu kau ulang-ulang. Walaupun pada konteks yang berbeda. Aku masih muda.

Kau bertanya banyak hal. Aku merasa kau sedang mengetesku. Kau memberitahukan banyak hal. Aku merasa kau sedang menginternalisasikan sesuatu. Dan aku masih terlalu muda--mungkin--untuk memahami, menanggapi, apalagi menolak pendapatmu, argumentasimu, pikiran-pikiranmu. Atau pikiranku yang masih terlalu muda--juga mungkin.

Aku membagi banyak hal. Aku mengutarakan sesuatu, pikiranku, mencoba menangkap reaksimu, tanggapanmu. Aku menyuarakan isi pikiranku yang selama ini berkemelut. Menjelaskan bahwa aku menolak sesuatu. Menjelaskan pendapatku tentang sesuatu, dan banyak lagi.

Aku sering terdiam dan enggan menanggapi ketika kau mulai lagi berfilsafat. Karena aku tidak bisa berpikir sespontan itu. Tidak seperti kau yang sudah membaca jutaan baris dalam buku-buku tebal itu. Tidak seperti kau yang sudah mengarungi ribuan are lautan perenungan yang kau sebut 'bengong' itu. Karena kau bilang, saat bengonglah kau sempat berpikir. Karena Ibrahim menemukan Tuhannya saat bengong. Karena Muhammad juga temukan Tuhannya saat bengong.

Kau beri aku buku. Kau beri aku bacaan. Kau beri aku banyak hal baru di waktu yang masih kurasa singkat mengenalmu. Belum lama, sejak pertama kali kita bertemu. Saat itu gelap karena petang telah menjelang. Aku tidak bisa menangkap kesan pertama tentangmu waktu itu. Aku tidak bisa melihat dalamnya pandanganmu terhadap sesuatu. Aku tidak bisa melihat jauhnya penerawanganmu ketika kau sedang termenung.

Kau bilang aku terlalu serius. Ah, aku tidak pernah serius. Apalagi ketika mendalami sesuatu. Ketika memikirkan hakikat sesuatu. Tidak seperti kau yang loncatan pikirannya begitu wild. Tidak seperti kau yang kata-katanya selalu aku tanggapi dengan, "gue nggak ngerti". Karena aku memang tidak mengerti. Ah, aku terlalu malas untuk mengerti. Kau bilang aku malas berpikir. Aku juga bilang begitu. Padahal "aku berpikir, maka aku ada". Manusia ada karena berpikir. Lalu kau bilang aku bukan manusia. Di lain waktu kau bilang aku ini orang, bukan manusia. Walaupun kau berdalih itu hanya sesat pikir kau dan teman-temanmu, aku merasa penjelasanmu masuk akal. Karena manusia berbudi, orang tidak.

Suatu hari nanti, aku ingin. Aku ingin membaca jutaan baris buku yang berbeda. Supaya kita bisa saling berbagi. Atau bahkan menolak pikiran-pikiranmu itu. Suatu hari nanti, aku ingin. Aku ingin mendalami sesuatu. Sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang tak pernah terlintas dalam pikiranmu. Supaya aku bisa membagi sesuatu. Tidak hanya kau. Supaya kau tahu, bahwa aku juga bisa berpikir.

Suatu hari nanti, ketika aku bertemu denganmu kembali, apabila aku menjadi seseorang yang berbeda, yang bertolak belakang dari yang aku ucapkan padamu sekarang, aku tidak ingin dianggap munafik. Aku tidak ingin dianggap pembohong. Karena aku masih mencari. Aku masih belajar berpikir. Karena aku baru saja memulai.
Kau ingat, tentang pembicaraan kita tentang rasa menyesal karena mengenal sesorang, mungkin suatu hari nanti aku akan menemukan rasa itu. Seperti yang kau bilang bahwa ruang lingkup kehidupanku masih sempit. Tapi untuk saat ini, sungguh, aku tidak pernah menyesal telah mengenalmu. Tuhan banyak menyadarkanku lewat dirimu. Tuhan banyak mengingatkan aku melalui sosok yang sama sekali tidak pernah terbayang di benakku sebelumnya tentanf seseorang yang akan menyadarkanku.

Banyak hal yang sebenarnya aku tolak. Banyak hal yang sebenarnya aku tidak sependapat. Aku hanya tidak mengerti bagaimana menyampaikannya, karena aku tidak banyak membaca. Karena itu, suatu hari nanti, temui aku lagi. Ah, kau bilang, apa kau masih hidup?

Tapi saat ini, aku masih ingin  mengais banyak hal darimu. Karena saat ini aku masih terlalu muda. Atau kehidupanku yang masih muda.

Monday, October 28, 2013

Lepas di Pintu 63

Kotak besi itu bertuliskan angka 63
Di mana mereka berdiri di pintunya
Menantang angin yang menghajar tubuh mereka

Aku duduk di depan
Dekat kaca
Sambil sesekali memerhatikan melaluinya,
mereka yang tampak menikmati
Belaian angin di wajah mereka, di rambut mereka
Petang itu

Kotak itu bertuliskan 63 di depannya
Membelah dari Pusat ke Selatan
Dengan mereka di pintunya

Mungkin berbagi kisah hari itu
Mungkin berbagi kisah yang lainnya
Dan mereka terlihat lepas
Dan mereka terlihat ceria
Dua manusia menarik duniaku

Sementara aku memerhatikan
Dari kaca sepotong
Yang juga memantulkan sepotong
Aku hanya ingin larut, dalam bahagia itu

Sunday, October 20, 2013

Karena Ia Tidak Mengerti

Malam itu, kendaraan roda dua itu melaju dalam keheningan. Yang disela sekali-dua oleh tanya dan jawab selewat. Hatiku ditemani suara deru mesin dan hembusan angin malam. Dengan diam, kutelusuri hatiku. Ada sesak di sana. Yang tak bisa hilang dengan sekali-dua hela nafas panjang. Pun ada perih di situ.

Sementara orang di depanku, yang duduk terpisah tas hitam-merah itu tidak mengerti. Apa yang bergolak di dalam sini. Apa yang bertikai di dalam sini. Berharap ini tak segera berakhir. Berharap roda itu tak berhenti berputar sampai habis malam. Berharap ia mengerti mengerti bahwa aku tak ingin segera turun. Dan mencoba meresapi setiap detik di sana yang kuharap melambat.

Tetapi aku memang harus turun. Ketika roda itu berhenti berputar di ujung jalan. Berat. Dengan parau ucapan terima kasih yang mungkin tak sempat tertangkap inderanya. Yang mungkin segera berlalu tertiup angin tanpa sempat terdengar. Aku menatap wajahnya sekilas yang disembunyikan gelap. Menelusuri setangkap siluet wajahnya. Seperti sebelumnya di tempat yang berbeda kemarin dulu. Karena aku tidak pernah sanggup lebih lama dari itu.

Dan kemudian aku berlalu. Dengan setetes air bergulir turun perlahan. Lalu setetes lagi. Dan lagi. Dalam isak yang kutekan. Dalam hening yang tak terdengar. Lalu berharap ia mengerti.

Tapi mungkin ia memang tidak mengerti

Ketika Aku Bertanya Soal...


Semalam aku bertanya pada guru ngajiku. Teh Nurul namanya. 

"Bagaimana komentar teteh soal suka sama lawan jenis?"

Sudah tiga orang aku tanyai soal ini. Dengan redaksi, konteks dan situasi berbeda. Teteh satu ini menjawab :

Itu wajar. Tapi biasanya di usia sekarang, ketika suka sama seseorang itu biasanya karena kagum. Lalu ketika menemukan kekurangan orang itu, akan ilfil seketika.

Aku berpikir tentang sesuatu. Apakah hukum itu berlaku padaku? Kira-kira apa yang akan terjadi padaku? Bukankah biasanya justru orang-orang itu terbutakan ketika melihat kekurangan orang yang sisukai? Tapi aku tidak berkomentar apa-apa sementara si teteh melanjutkan kembali penjelasannya.

Jika diibaratkan hati adalah ruangan, ada sebuah ruangan yang kosong. Yang tak pernah tersentuh siapapun. Yang senantiasa terkunci. Ruang itu harus terjaga tetap kosong. Sampai suatu saat nanti tiba masa yang tepat. Di situasi yang tepat. Akan datang seseorang yang tepat yang membawa kunci tersebut.

Tapi yang namanya perasaan itu tidak boleh ditekan. Karena semakin ditekan akan semakin membuncah. Maka jalan terbaik adalah menyalurkan energi itu ke jalan yang benar. Ke kegiatan yang bermanfaat. Jangan sampai energi itu tersalurkan ke hal-hal yang merugikan sendiri. Jangan sampai perasaan-perasaan semacam ini membuat hidup kita jadi tidak nyaman. Nikmati saja yang ada. Tapi jangan terlena karena setruman-setruman itu. Karena itu syahwati. Datangnya dari syaitan.

Diskusi malam tadi lama-lama menyambung ke soal masa depan dan pernikahan karena pertanyaan teman-teman lain di dalam lingkaran kami. Dan diskusi ditutup dengan pertanyaan : "Memangnya Iffah sedang ada perasaan semacam itu?". Aku hanya menjawab dengan senyum.

Meski sebentar, aku senang tanggapan dia tidak menghakimi. Tidak menjawab dengan jawaban "jangan berlebihan", atau langsung menembak "hati-hati itu dari setan", atau ekstrim menyuruh segera berhenti.

Dua orang lainnya yang aku tanyai menjawab dengan jawaban yang menenangkan. Minimal mereka tidak menertawakan aku. Maksimal mereka memberikan solusi.

Nikmati, jalani, banyak berzikir.


Friday, October 18, 2013

Untuk Seorang Teman


Kita dipertemukan oleh-Nya melalu idealisme yang kita pegang. Melalui prinsip yang kita jaga. Melalui visi yang kita miliki. Dan kita dipersaudarakan-Nya.

Tetapi waktu itu, kau tidak ceritakan semua. Kau tak pernah mau berbagi. Satu poin penting dan fatal bagiku. Dan aku baru menyadarinya belakangan. Bahkan bukan darimu langsung. Salahku tak pernah bertanya secara terbuka. Salahku tak pernah bisa menjadi dekat denganmu. Tapi mungkin ini bukan salah siapa-siapa.

Kau membicarakan idealismemu itu. Kau membicarakan visi kita itu. Aku menghargaimu karenana pandangan-pandanganmu. Aku menghargaimu karena kau mengatakan kita memiliki cara pandang dan prinsip yang sama. Kau salah. Aku juga salah tentangmu. Ah, tak seharusnya aku kecewa. Siapalah aku ini.
Kau menemukan pilihanmu. Kau tentukan jalanmu. Itu sepenuhnya ada di tanganmu. Tetapi aku sudah kecewa. Dan bahkan bukan hanya aku yang kecewa.

Semoga kau yakin akan pilihanmu. Bukan sekadar pilihan acak karena terbawa suasana.


untuk #RO

Thursday, October 17, 2013

Aku dan Kotak Besi Besar Bergerak

Aku dalam kotak besi besar bergerak. Pagi ini sepi. Entah aku yang berangkat terlalu pagi, atau alam sedang berserikat membantuku. Kotak besi besar bergerak ini pernah memuat banyak orang, beragam asal dan latar belakang, beragam misi dan tujuan. 

Kotak besi besar bergerak, antara Blok M dan Kampung Rambutan. Melaju cepat membelah udara pagi yang sudah dianggap siang oleh pengguna Jakarta. Melawan arah arus rombongan massa kuda-kuda besi yang berjejal menuju pusat kota.

Kotak besi besar bergerak ini. Hanya ada satu orang di setiap pasang kursi. Dua pasang kursi kosong. Dan hanya ada satu anak sekolahan di barisan kursi paling belakang.

Kotak besi besar bergerak. Ditemani sepoi angin dari lubang di kotak besi besar bergerak ini. Menghembus dengan perlahan, menyadarkan insan-insan yang nyaris jatuh terlelap. Masih sepagi ini. Atau justru membuat mereka bertambah rileks dan semakin jatuh terlelap dalam mimpinya. Tempat tujuan mereka masih jauh. Masih cukup waktu untuk terlelap sejenak.

Kotak besi besar bergerak membelah dari Selatan ke Timur. Manusia naik dan turun bergantian. Menambah pundi-pundi receh sang pengemudi dan seorang kondektur. Pundi-pundi yang masih harus dikurangi pungutan di sana-sini. Uang rokok untuk si ini dan si itu. Dan yang tersisa di kantong mereka di akhir hari belum tentu cukup untuk menghidupi anak-istrinya.

Kotak besi besar bergerak. Sesekali naik orang lain yang mencoba menumpang mencari sambungan nyawa. Sekedar untuk pengganjal perut malam ini mungkin. Bermodalkan gitar bekas yang dibeli di pasar loak. Atau tabuhan buatan sendiri dari bekas paralon dan bekas ban dalam. Atau hanya bermodalkan wajah memelas dan cerita hidup yang mengenaskan. Mereka mencoba mengumpulkan keping-keping kehidupan yang tersimpan di kantong-kantong tebal celana perlente.

Kotak besi besar bergerak pagi ini yang aku naiki. Kala angin masih sepoi membelai. Kala embun masih segar menyesap. Kiri-kanan jalan toko mulai buka. Depan belakang jalan belum banyak kuda besi melintas dan menyalip. Dan  aku masih punya waktu dan konsentrasi untuk merenung sejenak. Sampai aku disadarkan oleh bunyi palang naga besi. Aku harus turun di sini.

Sementara si kotak besi besar bergerak. Kembali melanjutkan penjelajahannya membelah Jakarta dari Selatan ke Timur dan dari Timur ke Selatan.

Potret



Pertigaan kalibata nan pikuk. Jejalan motor, mobil, bis kota, dan angkutan kota berebut lampu hijau yang sebentar-sebentar.

Barisan paling depan motor-motor tak sabar yang bahkan ada yang sampai naik trotoar. Ambil lahan orang. Lahan pejalan kaki yang memang sepi pemakai. Bahkan tutupi jalan ke kiri yang terdapat tulisan "belok kiri jalan terus".

Di belakangnya mobil dan kopaja yang lebih bijak. Tapi jua mengumpat ketika tak sempat dapat hijau. Padahal mereka hanya tertinggal satu detik. Habislah waktunya beberapa menit tunggu hijau muncul lagi.

Di trotoar pojok paling depan, penjual minuman dingin yang selalu siap sedia ketika sopir dan kondektur kopaja membutuhkan. Tak kurang, beberapa pak rokok juga mereka jajakan. Pelepas bosan tunggu sang merah.

Masih dipertigaan yang sama. Nenek buta dituntun seorang anak muda. Anak muda itu benar-benar masih muda. Badannya tegap. Tak terlihat cacat sedikitpun. Ia menuntun nenek buta itu, memegangkan tangan si nenek, menengadah mencari tangan-tangan pemurah yang mau membagi receh. Sadar apa yang janggal? Ya, mengapa bukan si anak muda yang bekerja keras. Menggunakan kekuatannya, bukan mengeksploitasi kecacatan si nenek. Tidakkah ia tahu malu?

Pertigaan kalibata nan riuh. Klakson sambung-sambungan, umpatan sahut-sahutan. Risih telinga. Panas terik pula.

Kopaja penuh sesak. Yang terus ditambahkan penumpang. Kondektur yang tak mau merugi. Kopaja tambah sesak. Ibu-ibu mulai menggerutu. Mengomeli si kondektur yang terus mengambil penumpang. Memaksa bergeser sementara tak ada lagi tempat untuk bergeser.

Sementara dalam kopaja penuh sesak itu, seorang nenek setengah pengamen setengah pengemis memaksa masuk. Mengucapkan kata-kata yang sama setiap ia naik dari bis ke bis untuk mengais receh. Tak peduli bosan para pelanggan kopaja yang sudah kali kesekian mendengar ocehan si nenek. Yang memberi balasan doa jika diberi. Miris.

Sementara beberapa ratus meterdari lampu merah, trotoar beralih fungsi. Tak hanya menjadi lahan berjualan, tetapi juga menjadi pelebaran jalan raya. Motor, angkot, kopaja, naik semua ke situ.

Pertigaan Kalibata yang hiruk pikuk. Antara peduli dan tidak. Kutandai ia dalam pengamatan singkatku. Kupotret ia dalam ingatanku. Lalu berkata, Kapan engkau sembuh?

Wednesday, October 16, 2013

Keretaku

Pagi. Kereta depok jam 9 pagi, sepi. Berangkat dari stasiun yang akan terus kudatangi empat tahun ke depan. Seandainya ada cara lain.

Dan keretaku terus melaju. Meninggalkan serpihan-serpihan waktu yang serasa melambat. Karena aku...


Rindu

Mampang Dini Hari : Sepi Pengunjung

Jakarta, pukul 00.10 dini hari


Malam hari aku terbangun. Haus. Aku malas berperang dengan pasukan kakiempat yang sedang merajai dapur. Aku malas angkat senjata untuk mengusir mereka supaya aku dapat mengusir hausku.

Sambil mengenakan jaket rapat-rapat, kubuka kunci gerbang perlahan. Sementara aku membuka pintu, terdengar deru dua buah motor. Habis bersenang-senang mereka. Entah mereka dari mana. Biasa, beberapa remaja laki-laki menghabiskan malam panjang mereka di bangku depan counter pulsa sambil meneguk bergelas-gelas kopi dan menghisap berbatang-batang rokok. Tak kurang alunan musik yang kadang menyentak garang, kadang mengalun melankolis. Mereka melihatku keluar rumah. Aku kenal mereka, mereka kenal aku.

Dengan agak ragu aku melangkahkan kaki menuju jalan raya. Misiku satu. Mencari penjual minum yang ada dalam radius sependek mungkin. Gentar sedikit. Dengar cerita orang malam di Jakarta yang keras. Tapi aku baik-baik saja sampai di rumah. Sementara manusia-manusia muda di belakangku berbisik-bisik membicarakanku. Heran mungkin. Atau bisa jadi khawatir. Apa yang kulakukan selarut ini.

Jalan Buncit Raya sepi. Sesekali melintas motor-motor berkecepatan tinggi. Mungkin pekerja lembur yang ingin segera sampai rumah. Atau perantau-perantau yang baru pulang libur lebaran dan besok sudah mulai beraktivitas. Aku merapatkan jaket pada tubuhku yang diterpa angin akibat kecepatan motor yang melintas.

Di kanan jalan, gedung-gedung kantor sudah sepi. Tutup. Gelap. Tinggal satpam-satpam dalam pos yang mungkin sedang tertidur pula karena terbawa suasana malam yang sepi. Di trotoarnya berserak sampah botol dan plastik. Mungkin sisa-sisa pesta penghuni pinggir jalan. Atau mungkin sisa pelepas lelah para pekerja kasar. Semua tinggal sisanya saja.

Tapi ada pula yang masih bekerja selarut ini. Mereka menarik gerobak yang kini mulai penuh muatan. Isinya kardus, plastik, dan benda kering yang tak terpakai. Mereka mengais sisa-sisa yang ditinggalkan parapetugas kebersihan yang mengambil kantung-kantung sampah pukul 10.30 tadi. Yang mungkin memang sengaja mereka tinggalkan. Berbagi rezeki istilahnya. Sesekali mereka berhenti di pelataran gedung yang tak berpagar. Beristirahat. Mungkin mereka mengharapkan tidur nyenyak di kasur yang nyaman. Atau mungkin mereka bahkan tak pernah membayangkannya.

Akhirnya aku menemukan sebuah warug minuman. Penjualnya seorang ibu-ibu yang menjawab pertanyaanku dengan tidak bersemangat. Terlihat sekali kantung matanya pertanda lelah. Mungkin ia sudah biasa berjualan sampai selarut ini. Tapi lelah itu pasti terlihat. Mungkin ia juga bosan. Mungkin juga iri pada orang-orang yang kini terlelap.

Mampang dini hari. Tak banyak yang kutemui. Sisi-sisi glamor dan ramai mungkin sudah habis di kemang, di menteng, atau di daerah gemerlap lain. Sepi di sini. Yang terlihat sisi-sisi lain Jakarta. Pekerja (entah kantor mana yang tetap bekerja di hari libur ini) yang sedang ngaso di warung untuk minum kopi. Menghilangkan kantuk sebentar karena mereka mungkin harus memacu kuda besinya lebih jauh lagi. Sampai Depok, Bekasi, atau Bogor.

Atau para penjual makanan yang mendorong gerobak mereka dari pasar. Mungkin hari ini mereka sedang kurang laku. Karena orang sedang ramai menyate hasil sembelihan pagi tadi. Atau anak kos sengaja merapel makan mereka sampai besok pagi. Karena malas beranjak dari kamar, mumpung libur. Atau memang sengaja mengirit pengeluaran.

Mampang dini hari, sepi sampai aku kembali masuk ke dalam gang rumah. Langsung kembali terlihat gerombolan yang tadi berbisik tentang aku. Yang menyelenggarakan hiruk-pikuk ala mereka. Biarkan saja mereka habiskan masa senggang dan muda mereka dengan sia. Sampai saatnya mereka menyesal bahwa mereka tak banyak lakukan perubahan. Selama mereka tidak membawa perempuan jalanan ke situ, selama mereka tidak mengganggu tidur nyenyak para warga, biarkan saja.

Sebelum aku masuk rumah salah seorangnynya memanggilku. "habis beli apa fah?" aku hanya menunjukkan botol minuman yang kusembunyikan dalam lengan jaket yang besar. Kemudian segera masuk. Sementaa mereka kembali melanjutkan keramaian mereka sendiri. Sementara mulai radius lima meter dari mereka semua sudah sepi. Tinggal pasukan kakiempat yang sesekali melintas. bergerilya mencati sisa makanan yang lupa dibuang oleh pemilik sebelumnya.

Mampang, dini hari, sepi pengunjung. Dan empat setengah jam dari sekarang, jalanan yang kosong itu akan berubah menjadi lautan kendaraan yang berebut tempat di pusat kota sana. Beruntung aku bukan bagian dari mereka. Aku akan menghindar sejauh mungkin dari chaos itu. Menuju arah asal kebanyakan dari mereka. Depok.

Mungkin lain waktu aku akan menyempatkan kembali keluar selarut ini untuk memotret jalanan sepi pengunjung ini.