Sunday, February 26, 2017

Berat


Kadang kita terjebak dalam peran masing-masing. Terpenjara dalam tugas yang kita anggap sebagai beban. Sehingga seringnya kita tidak sempat sowan sejenak, melihat saudara kita dengan perannya yang lain.

Seringnya kita melihat dunia ini dan semua dinamikanya dari sudut pandang kita. Meminta excuses dan rukhshah atas dasar kerepotan kita. Kemudian menyalahkan orang lain yang tidak bisa mengerti kita.

Padahal kita lupa. Bahwa setiap kita memiliki jatah masing-masing. Dengan segala proses dan naik-turun sensasinya. Emosi seringkali ikut bermain dan menguji keikhlasan kita. Sudahkah benar niat-niat kita? Sudahkah kitapun memahami orang lain?

Dan mungkin kita luput bahwa di luar lingkar peran kita, ada peran-peran lain yang juga memiliki tanggung jawab sepadan. Di wajah saudara kita mungkin tidak terlihat gurat keletihan. Tetapi bukan berarti peran mereka lebih ringan.

Bahwa mereka ada bukan untuk mengerjakan bagian kita, perlu kita ingat. Dan bahwa mereka ada untuk membersamai kita dan saling menopang, perlu kita tanamkan dalam-dalam pada default mindset kita. Dan bahwa setiap peran berbeda, tidak akan pernah bisa kita bandingkan ringan-beratnya dengan indikator kita dan beban yang kita tampung, perlu kita luruskan baik-baik.

Dan kepekaan yang kita harapkan tumbuh dari saudara kita, sudahkah kita mengakomodasi mereka dengan empati kita? Sudahkah mereka terpenuhi haknya sebagai saudara kita?

Aku berlindung dari perasaan memiliki beban yang paling berat.

Throw back ke masa-masa akhir tahun 2016, saat semua rasanya berputar di atas satu titik, saat semua hal rasanya menjadi begitu berat untuk ditanggung
Semoga kita menjadi insan yang lebih bijaksana
Repost dari Tumblr pribadi

Saturday, February 25, 2017

Jeda

Bagaimanabiladiduniainitidakadayangnamanyajedayangmemisahkanantarkatayangmemisahkanantarpersona

Pengangguran

Diam
Berpikir
Merencanakan
Tetap diam
Tergugah
Menarik napas
Berdiri
Duduk lagi
Bosan
Berbaring
Melamun
Tertidur
Begitu saja terus
Sampai semua kesempatan di dunia ini
Habis diambil orang
Lalu tidur lagi
Cisarua, Sabtu, 25 Februari 2017, 01.18 WIB

Thursday, February 23, 2017

Terlambat

"Mengapa kau datang terlambat? Aku menunggumu (lagi) sepagian. Tidak ada kabar, tidak juga tanda. Hampir tertidur aku menunggu. Aku tidak sama sekali merasa  bosan.

Wednesday, February 22, 2017

(Bukan) Skenario (3) : Not So Rainy

Hujan reda
Tidak lagi ada pertemuan
Apakah ini bagian dari rencana?
Rindu menyurut
Genangan kenangan menguap
Apakah ini juga bagian dari rencana?
Mampang Prapatan, malam cerah di penghujung Februari 2017

Skenario (2) : Another Rainy Afternoon

Hujan lagi
Sore-sore
Dan sepotong episode di salah satu sisi lain kampus
Tidak perlu banyak saksi
Cukup genangan air yang berkecipak karena jejak terburuku
Tangan kanan yang gemetar sejak siang hari
Anak laki-laki pengojek payung yang berlari mengikutiku
Juga hujan, dan lagi-lagi hujan
Untuk setiap skenario ruang pertemuanku denganmu yang berlangsung di antara hujan,
Aku mensyukuri sekaligus menyesali
Depok, Sore hujan lainnya di pertengahan November 2016
Repost dari Tumblr pribadi

Skenario

Skenario mana yang lebih mengejutkan dari pertemuan tanpa rencana dan tanpa pernah dibayangkan
Di suatu tempat setelah perjalan puluhan kilometer bersama
Dan momen mana yang lebih berkesan dari angin sore yang mengembus kain-kain pakaian kami ketika berjalan bersisian
Dan tetesan hujan menambah syahdu pertemuan sore itu. Meski singkat, terlalu singkat
Jakarta, suatu sore di penghujung Oktober 2016
Repost dari Tumblr pribadi

Orang-orang Populer

"Kok kamu bisa suka sama dia sih? Dia kan nggak cakep."

"Kamu serius suka sama dia?"

"Apa sih yang kamu lihat dari dia? Dia kan nggak populer."

Pertanyaan-pertanyaan itu dulu sekali kamu sering dapatkan dari teman-teman terdekatmu. Beberapa kali kamu jatuh suka pada orang yang berbeda, kesemuanya adalah orang yang tidak sama sekali populer, tampang biasa-biasa saja, intelegensinya juga sama biasanya. Tentang mengapa, hanya kamu yang tahu.

"Yah, kan aku juga biasa-biasa aja. Nggak cakep juga, apalagi populer." Biasanya begitu caramu membela diri.

"Aku lagi suka sama orang nih. Namanya..." ini ceritamu beberapa bulan yang lalu. Aku cuma menanggapinya dengan tersenyum. Yang berbeda kala itu adalah, kamu menyebutkan satu nama yang walaupun tidak terlalu populer, tapi tidak juga bisa disepelekan.

Anak itu punya sekelompok cewek pengagum rahasia. Meskipun tidak terlalu rahasia. Bahkan mereka pernah melabrak beberapa perempuan yang dekat dengannya karena aktif di organisasi yang sama. Waktu itu aku khawatir kamu kena labrak juga.

Tapi seiring berjalannya waktu, perlahan perasaan itu hilang. Ceritamu berganti lagi. Dan kali ini lebih lagi. Ia jauh lebih populer dari yang sebelumnya.

Dalam satu forum saja, ada beberapa pasang mata yang memancarkan aura pengharapan padanya. Termasuk kamu. Aku dapat melihatnya dengan jelas. Meskipun tidak sering juga kamu menatapnya, dan mereka pun, tapi aku tahu. Kali ini kamu bersaing dengan lebih banyak orang daripada segerombolan cewek tukang labrak kemarin.

"Jadi suka sama yang nggak populer, nggak boleh. Suka sama yang populer juga nggak boleh. Kenapa salah terus sih?" kamu mulai protes. Mencuri bisik padaku di sela-sela rapat sore itu.

"Bukan gitu sih maksudnya. Aku nggak melarang kok. Aku cuma ngasih tau kalo dia, dia, dan dia juga suka sama anak itu." aku menyebut beberapa nama.

"Aku nggak peduli. Aku suka aja kok. Nggak berharap apa-apa. Eh berharap sih. Tapi kalopun nggak keturutan juga aku biasa aja. Eh gimana sih. Pokoknya begitu." Ah, kamu malah bingung sendiri.

Aku melanjutkan catatanku. Tapi pikiranku masih terganggu. Kamu sekarang memang semakin populer. Walau memang tidak relevan juga sebenarnya menghubungkan kedua hal itu. Orang yang tidak populer pun berhak punya perasaan terhadap siapa saja. Apa karena itu seleramu berubah?
Pun sebenarnya menurutku ini bukan soal selera. Perasaan dan selera bukan hal yang ekuivalen. Tidak sebanding. Dan aku juga yakin kamu tidak menyadari popularitasmu yang sedang naik itu.

Tapi tunggu...

Tatapan macam apa itu yang barusan dia layangkan padamu. Sesaat memang. Tapi aku melihatnya dengan terang dan nyata. Bukan jenis tatapan yang biasa saja. Duh, bagaimana mendefinisikannya, aku kurang ahli dalam hal ini. Aku hanya tahu begitu saja.

Aku memandang wajahmu sekali lagi. Lekat.

Ah, aku mengerti. Ini ternyata bukan soal populer-tidak populer.

"Ada apa, sih?" heranmu.

"Tidak, tidak ada apa-apa." sepertinya ini cukup aku simpan saja sendiri.
Mampang Prapatan, Rabu, 22 Februari 2017, 14.43 WIB

Tuesday, February 21, 2017

Tamu Bapak (1)

"Dek, jangan pulang dulu. Lagi ada tamu." Pesan singkat dari Bapak muncul di ponsel pintarku beberapa saat setelah aku menjejak turun dari metromini. Tepat di depan gang rumah.

"Yah, Pak, udah di depan."
"Tunggu di pos kamling aja dulu. Kalo lama, kamu ke rumah Bi Upi aja. Bapak udah bilangin."

Tumben. Nggak biasanya Bapak bersikap aneh seperti ini. Ini sudah lepas Isya'. Biasanya Bapak malah sibuk nelponin anak gadisnya yang super sibuk ini kalau belum pulang juga. Tamu?  Sering juga kok aku pulang saat masih ada tamu Bapak di rumah. Biasanya sih Mang Ojak, rival catur Bapak.

Tapi aku menurut. Berjalan dari depan gang ke pos kamling harus melewati rumah. Tidak ada Mang Ojak di kursi depan. Tempat biasa dia main catur sama Bapak sampai larut malam. Tapi...

Ada sepeda motor yang terparkir di halaman. Motor yang selalu kau gunakan menemani semua aktivitas padatmu. Motor matic biasa keluaran dua tahun lalu. Pemberian kakek, katamu, sebelum beliau meninggal Muharrom lalu. Motor yang sering juga kupinjam untuk memenuhi beberapa tugas. Mana bisa aku tidak mengenalinya.

Tamu Bapak dan motor itu, motormu. Dua hal yang tidak bisa ketemukan relasinya. Atau lebih tepatnya, aku tidak berani menghubung-hubungkannya. Bapak dan pemilik motor itu, kamu. Dua orang yang aku yakin sekali tidak punya irisan sosial apapun sebelum ini.

Menunggu di pos kamling menjadi acara paling tidak terdefinisi seumur hidupku. Berkali kulihat jam tanganku yang kali ini rasanya seperti berputar sangat lambat.

Sore tadi, selepas rapat, kamu memang segera pamit. Kami maklum, orang sibuk sepertimu pasti tidak akan menyia-nyiakan waktu produktif. "Sholat maghrib di tempat tujuan," katamu.

Sementara aku dan beberapa teman perempuan melanjutkan aktivitas dengan makan malam di cafe dekat kampus. Setelah itu baru aku pulang. Tapi tumben. Kereta tidak sepenuh biasanya. Metromini pun begitu. Jalanan lancar. Seolah mengantarku mengejar sesuatu yang tidak boleh aku lewatkan. Sedikit pun tidak curiga, hanya tidak seperti biasanya saja.

Aku masih sibuk mencerna semua kejadian hari ini ketika aku melihat pintu rumah terbuka. Tidak sulit melihat situasi rumah dari sini. Lebih mudah lagi mengenali siapa yang keluar dari pintu depan. Kamu, lalu Bapak. Bapak melihat ke arahku. Tapi tidak terlihat raut wajahnya karena mata minusku. Yang selanjutnya kulihat adalah bagian belakang motor matic merahmu yang berjalan ke arah jalan raya.

"Assalamu'alaikum," ucapku saat masuk rumah, kemudian mencium tangan Bapak. Bapak menjawab sambil tetap memandangi televisi di depannya. Tapi ketika aku mulai menaiki tangga menuju kamar, Bapak berkata,

"Dek, habis bersih-bersih, Bapak mau bicara," Bapak masih terlihat tidak peduli dengan mata yang tertuju pada televisi. Wajah Ibu yang baru keluar dari kamar pun tidak memberi petunjuk apa-apa.

Aku tidak bertanya. Tidak pula menanggapi. Tapi lima belas menit dari sekarang, aku pasti sudah akan ikut duduk bersama mereka berdua. Aku hanya tidak berani berprasangka apapun.

Mampang Prapatan, Selasa, 21 Februari 2017, 23.49 WIB

 Baca juga :
Tamu Bapak (2)
Tamu Bapak (3)
Tamu Bapak (4) - ed. Rahmi dan Syayma
 

Sunday, February 19, 2017

Sibuk

Orang yang mencintai adalah orang yang paling sibuk
Kamu sibuk ingin tahu apa obrolan yang dia kirimkan pada temanmu
Kamu sibuk menyamakan jadwalmu dengannya
Kamu sibuk menutupi kekurangannya di depan yang lain
Kamu sibuk menyamakan frekuensi langkahmu dengannya
Kamu sibuk mencurahkan energimu padanya
Kamu sibuk
Kamu sibuk
Kamu sibuk
Tapi ternyata aku lebih sibuk
Memantau gerak-gerikmu

Ahad, 19 Februari 2017

Monday, February 13, 2017

Nyanyak Pelupa

Nyanyak orangnya pelupa. Lupa di mana letakkan dompet, lupa apakah sudah makan atau belum, bahkan pernah lupa pakai kerudung saat keluar rumah.

Baba orangnya emosional. Baba baik, tapi gampang marah. Baba mudah tersinggung, dan kalau marah besar suka destruktif, menghancurkan benda yang ada di dekatnya, semahal apapun benda itu. Sifat Baba yang satu itu membuat anak-anaknya tidak terlalu nyaman di rumah, sebal kepada Baba, meskipun mereka tahu, mereka menyayanginya.

Baba sering marah kalau Nyanyak lupa sesuatu. Pernah waktu mau pergi bersama keluarga ke tempat rekreasi, Nyanyak lupa di mana letakkan dompet. Satu jam seisi rumah kelimpungan mencari dompet itu. Baba pusing. Dia bukannya ikut mencari malah marah-marah. Situasi rumah jadi tidak enak. Akhirnya semua batal pergi ke tempat rekreasi meskipun akhirnya dompet itu ditemukan di pojokan meja makan.

Tapi mungkin beruntung bagi Baba karena Nyanyak pelupa. Nyanyak sayang sekali sama Baba. Jadi Nyanyak mudah lupa perlakuan buruk Baba ke Nyanyak. Sehebat apa pun pertengkaran mereka, Nyanyak tidak pernah mengingatnya.

Suatu malam Nyanyak bertanya pada anak-anaknya yang sedang belajar dan mengerjakan PR.
"Emangnye Baba lu pade 'tu pemarah ye?" tanya Nyanyak sambil menghitung hasil jualannya hari itu.

Anak-anaknya hanya mengernyit heran. Heran karena tiba-tiba Nyanyak bertanya demikian. Heran karena pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang mudah dijawab seolah hanya dengan melihat wajah Baba saat sedang diam.

"Ye, Nyanyak nanya nih. Lu pade malah main pelotot-pelototan. Awas copot 'tar 'tu bola mate."

"Nyak, Nyanyak ngetes apa gimana nih?" akhirnya si sulung yang buka suara.

"Abisan Lu pade ampe segitunye ke die." polos sekali Nyanyak mereka ini.

"Nyak, Nyanyak ga inget apa kemaren Baba udah ngacurin TV kita?" protes si bungsu.

"Itu Nyanyak inget lah. Tu masih ada bangkenye. Waktu itu Baba lu pade lagi capek. Lu tau sendiri capeknye ngojek 'tu gimane. Lagian 'tu tipi kan emang udeh somplak. Tar besok Nyanyak beli lagi kalo ada rejeki." Terlalu mudah, Nyak.

"Nyak, Nyanyak kan nyerasa sendiri gimana kalo Baba udah marah. Nyanyak setiap dimarahin Baba juga malah ngomelnya ke kita. Seolah-olah saat itu Nyanyak sangat membenci Baba. Terus sekarang Nyanyak nanya kayak gitu ke kita." Yang tengah angkat bicara.

"Emang Nyanyak pernah ngomong gitu ke lu pade? Emangnya Nyanyak benci sama Baba?" dua anak Nyanyak menutup buku mereka dan pergi ke kamar masing-masing. Sebal dengan jawaban Nyanyak. Tinggal si Sulung yang kemarin baru lulus SMA yang tinggal di ruang tamu sambil membantu Nyanyak yang sudah beralih menyiangi sayuran.

"Nyak, Nyanyak jawab sendiri aja pertanyaan Nyanyak. Nyanyak yang lebih tau. Nyanyak yang lebih lama bareng-bareng Baba. Kita anak kecil nggak tau apa-apa, Nyak." pungkas si sulung. Mereka berdua masih duduk di ruang tamu cukup lama setelah itu. Tapi dalam keadaan saling diam.

Nyanyak pelupa. Nada pertanyaan Nyanyak malam itu benar-benar bertanya. Seolah-olah dia tidak mengingat sama sekali semua perlakuan yang begitu membekas di anak-anaknya. Seolah Nyanyak selalu punya ruang baru untuk Baba. Tapi seharusnya Baba bersyukur punya Nyanyak. Yang pelupa, makanya selalu melupakan perlakuan buruk Baba padanya. Yang meskipun pelupa, ia selalu mengingat bagaimana mereka semula saling mencintai dan selalu.

Dan tiga anak Nyanyak maklum. Tiga anak Nyanyak, yang meskipun kesal, tetap menyayangi Nyanyak begitu adanya. Karena Baba tidak selalu bersikap buruk. Dan karena selama Nyanyak begitu, keluarga mereka akan tetap utuh.


Masjid Ukhuwah Islamiyah, 13 Februari 2017, 17.42