Monday, December 16, 2013

Buat apa mencari "cinta"? Cinta tak pergi ke mana-mana. Karena cinta tak berlari. Karena cinta tak bersembunyi. Sebenarnya cinta itu sudah ada pada tempatnya masing-masing. Kau tau? Bahwa cinta akan berlabuh pada pelabuhannya? Bahwa cinta akan mendarat di bandaranya?

Dan setiap perjalanan akan menemui hambatan. Mungkin, cintamu kini sedang mengalaminua. Bersabarlah, itu takdir, kawan!

Terkadang rasanya pengen
BERHENTI!


07:10
@library
- 6/11/12

(dari seorang teman yang ia tuliskan di buku catatanku, tanpa perubahan)

Tuesday, December 10, 2013



"Mungkin aku ini jelmaan putik kembang sepatu"

Aku dan Analogi

Kau tahu mengapa waktu itu aku sering membawa buku itu? Buku yang kau pernah tanyakan walau hanya sekilas. Semoga kau ingat. Waktu itu aku membawa dua buku sejenis itu. Kau tahu mengapa?

Karena aku waktu itu begitu ingin menyaingimu dalam kata-kata. Mencoba mengumpulkan larik-larik itu dan mempelajarinya. Mencoba membuat milikku sendiri.

Tapi, sekeras apa pun aku mencoba, sebanyak apa pun buku jenis itu yang kubaca, aku tidak akan pernah bisa menyaingimu. Aku tidak akan mampu.


Maka biarkan aku beranalogi saja. Aku sedang senang beranalogi.

Sepotong Kue dan Tentang Rasa Cemburu



Ketika kamu kehilangan momen yang sebenarnya bisa kamu dapatkan, kemudian orang lain mendapatkannya, adalah hal yang paling menyakitkan.

Mudahnya begini. Kamu suka sekali makan cake misalnya. Teman kamu juga sukaaa banget. Kemudian ada orang baik hati menawarkan cake itu. Kalau kalian berdua sama-sama mau, kalian bisa berbagi, masing-masing setengah. Tapi kamu lagi kenyang. Kenyang sekali. Sementara orang yang menawarkan cake itu hanya menawarkan untuk saat itu. Tidak untuk disimpan. Dengan berat, kamu harus merelakan temanmu memakan seluruhnya.

Segalanya akan jauh lebih mudah kalau temanmu itu tidak menceritakan rasa cake itu dengan maksud untuk memanas-manasimu, bukan? Tapi dia terlalu tega untuk sengaja berbuat demikian. Ia katakan di dalam cake itu ada selai strawberry yang sangat kamu suka. Rasa manisnya tidak menyengat dan tidak akan membuat mual jika dimakan sebanyak apapun. Teksturnya lembut dan tidak pernah ada cake seenak itu. Dan kamu telah kehilangan kesempatan yang entah kapan akan datang lagi. Bahkan mungkin tidak akan datang lagi.

Bisa membayangkan bagaimana rasa sakitnya?

Begitulah.

Kamu ingin sekali membencinya. Tapi temanmu itu biasanya baik. Kamu sudah sangat sayang padanya. Semuanya jadi serba tidak enak di kamu bukan?

Nikmati saja rasa sakit itu.

Berharaplah orang yang menawarkan cake itu mengerti rasa sakitmu, kemudian dia mendatangimu. Seorang diri. Dan hanya ada kamu. Kemudian dia memberikan cake yang jauh lebih enak, jauh lebih besar. Maka berharaplah

Monday, December 9, 2013

 Secercah asa dalam tetes embun pagi buta
Segenggenggam harap di sela embus kabut fajar
Hari ini, hari baru
Tentang aku, tentang kamu
*masih di gunung bunder, malam ketika semua orang sudah terlelap*

Malam-Malam Kami





Malam kami gelap
Dalam penghibaan
Dalam penantian


Malam kami malam yang panjang
Dengan selarik sajak tak berujung
Malam kami pilu
Dengan rasa sayat-sayat
Bak operasi tanpa anestesi
Malam-malam kami
Nantian jawaban
Yang senantiasa kami tunggu
Di malam-malam kami


*Gunung Bunder, 8 November 2013, sekitar 23.00 wib*

Sunday, December 8, 2013

Sejenak, Hanya Sejenak

Bangku di sebelah situ kosong
Tak bisakah kita duduk bersama sejenak
Tak perlulah kau berkata sepatah pun
Dan aku juga tak ingin berkata apa pun

Tiga menit bagiku pun cukup
Satu untuk melekatkan namamu
Satu untuk merekam wajahmu
Satu untuk kembali menata hatiku
Kemudian bersiap pergi

Tak perlu ada kata
Karena sejak awal memang tak ada

Tak perlu ada 'kehilangan'
Karena sejak awal tidak ada 'memiliki'


AKU yang naif

tapi,

tak bisakah kita duduk bersama sejenak?

Analogi



Pernah dalam kondisi kayak gini nggak?
Habis olahraga super berat, haus banget, terus di kasih minum. Yang namanya orang kehausan kan nggak cukup ya, seteguk-dua teguk. Lagi nikmat-nikmatnya ngilangin dahaga, tahu-tahu yang ngasih minum ngerebut tempat minum yang lagi kamu tenggak. Kira-kira gimana rasanya?
Itu analoginya. Kamu ngerti nggak?
(Saya sih belum pernah ngerasain ini. Tapi mungkin saya tahu gimana rasanya. Dan berdasarkan kemungkinan itu, saya mengambil situasi ini sebagai analogi)

Lelah Menghijau


Daun-daun itu berguguran satu-satu
Bukan karena sekarang autumn
Bukan pula karena pohon itu akan mati
Tapi karena ia lelah menghijau
Dan tak seorangpun berteduh

Akan ia simpan hijaunya itu
Untuk seseorang yang mendekat padanya
Bukan karena ingin berteduh
Tapi karena ingin melihatnya menghijau kembali

Saturday, December 7, 2013

Aku Tak Ingin Mati




aku tak ingin mati
dikubur cerita
disisih balada
aku tak ingin mati
dari hatimu

Sunday, November 24, 2013

Kau



Dan setiap kata yang kaurangkai
Kucerna satu-satu
Tertatih kulajur makna
Sesekali terjatuh tak mengerti
Dan setiap bait yang kaucipta
Kubaca lamat-lamat
Kuulang sekali lagi setelahnya
Lalu berulang kali berikutnya
Semuanya

Kuhimpun

Kusimpan

Kusampul

Kujaga
Karena kau adalah

Buku favoritku


Kau dan harga dirimu
Kau dan gengsimu
Kau dan arogansimu
Bicaralah
Kumohon, bicaralah

Antara Lusi, Orang Gila, dan Jilbab


Aku punya sahabat. Namanya Lusi. Kami berteman sejak kelas 1 SD. Sampai sekarang kami sudah SMP pun kami masih bersahabat. Kami memiliki banyak sekali kesamaan. Tetapi ada satu hal yang aku sayangkan. Dia belum memakai jilbab dengan konsisten. Ketika sekolah, ia hanya memakai jilbab ketika hari Jumat. Itupun siangnya langsung dilepas lagi. Untunglah dia juga ikut mengaji di masjid. Minimal dia jadi lebih sering memakai jilbab.
“Lus, kamu kapan mau pakai jilbab sih?” pertanyaan yang sudah terlalu seringaku lontarkan padanya. Yang selalu dianggapnya sebagai angin lalu saja yang masuk dari kuping kanan, mentok, keluar lagi dari kuping kanan juga. Ckckck.
“Kapan-kapan aja deh, Mel.” Hampir selalu begitu jawabannya. Atau kalau lagi nggak mood, bisa-bisa dia malah marah.
Aku semakin bingung saja bagaimana caranya mengajak dia supaya mau memakai jilbab. Aku sendiri sudah sejak kecil memakai jilbab. Tapi terkadang, dia malu juga kalau lagi jalan-jalan sama aku, akhirnya dia ikut memakai jilbab, walaupun jilbab yang dia pakai, sepertinya, meminjam dari keponakannya yang berusia 5 tahun.
Walaupun begitu, Lusi bukanlah orang yang menentang jilbab. Dia bukanlah orang yang suka menghina orang-orang yang memakai jilbab. Karena walau bagaimanapun, dia adalah seorang muslimah. Orangtuanya adalah orang yang mengerti agama. Bahkan, bundanya sendiri memakai jilbab yang cukup lebar. Aku bingung kenapa Lusi nggak dibiasakan saja memakai jilbab sejak kecil. Aku sendiri sudah sejak kecil memakai jilbab. Jilbab bagiku sudah seperti nafas.
***
“Mel, kamu kenapa sih niat amat ngajak aku pakai jilbab?” tanya Lusi suatu hari saat ia sedang main ke rumahku.
“Lus, pakai jilbab itu kewajiban setiap muslimah. Ada hukum yang jelas atas itu.” Jelasku tanpa menurunkan majalah yang sedang aku baca. “Coba kamu lihat lagi surat an-Nuur ayat 31 tau surat al-Ahzab ayat 59.”
“Tapi kenapa para feminis itu tidak mengenakan jilbab. Dan bukankah mereka mengatakan bahwa laki-laki dan perempuan itu sama? Jadi, mengapa harus dibedakan antara kepala laki-laki dan kepala perempuan?” cecar Lusi.
“Itu mah alasan-alasan nggak logis mereka aja supaya mereka dengan leluasa tidak menjalankan syariat islam yang sebenarnya.” Jawabku. “Coba deh kamu pikirin, ada enaknya juga lho pakai jilbab, kalau dilihat dari segi selain agama. Kamu ingat, kan, berita akhir-akhir ini tentang pemanasan global dan efek rumah kaca. Tentang ozon di atas kepala kita yang sudah berkurang kualitasnya. Sekarang sudah banyak kasus kanker kulit yang menyerang karena sinar matahari sudah tidak lagi disaring dengan baik. Coba kalau orang-orang itu memakai hijab. Paling tidak kulit mereka tertutup dan tidak terkena langsung sinar matahari yang berbahaya itu, kan? Mereka masih mempunyai pelindung.”
“Ah, tapi kan kalau lagi terik malah panas.” Sanggah Lusi.
“Panas mana ama neraka?” cetusku. “Malah melindungi rambut kita dari bahaya kekeringan.”
“Masak sih? Ah, ntar rambutnya malah ketombean.” Lusi masih menyanggah.
“Itu sih pinter-pinternya orang yang makainya aja.” Kilahku.
“Aku masih mau ntar-ntaran aja ah. Masih ada hari esok ini. Ntar kalau aku udah pakai jilbab aku kan jadi nggak bisa pamer bando-bando lucu, pamer rambut yang habis di rebonding. Apa lagi kalau nanti keluar model rambut terbaru, kan jadi nggak seru kalau rambutnya di tutup.” Pendapatnya.
“Siapa yang berani jamin kalau masih ada hari esok? Gimana kalau ntar malem nyawa kamu udah melayang.” Balasku.
“Ih, kamu kok doainnya gitu sih?” serunya pura-pura marah.
“Bagian mana sih dari kata-kataku yang menunjukkan aku ngedoain kamu?” kilahku. “kita kan nggak ada yang tahu kapan nyawa kita di cabut oleh malaikat Izrail lepas dari jasad kita.”
“Ah, terserah kamu lah.” Kata Lusi akhirnya, kemudian ia memasang headset yang tersambung ke komputerku. Aku cuma geleng-geleng kepala. Ah, Lus, Lus, semoga kamu segera sadar betapa pentingnya berjilbab.
***
Aku sedang menyirami “gelombang cinta”nya bunda ketika Lusi menggedor-gedor gerbang rumahku.
“Mel, Mel, bukain dong. Tolong aku. Cepetan. Menyangkut hidup dan mati nih. Please.” Lusi memohon-mohon. Aku memandangnya keheranan sambil buru-buru menuruti permintaannya.
Setelah ia duduk dengan tenang, di dalam rumah, aku masuk ke dapur untuk mengambilkannya segelas air putih dan sebatang cokelat (kata orang coklat bisa menenangkan pikiran).
“Minum dulu, Lus. Nih ada cokelat oleh-oleh ayah dari Jerman. Kata orang cokelat bisa menenangkan pikiran, lho.” kemudian dia mengambil gelas yang aku sodorkan. Seteguk, dua teguk, tiga teguk. Ia menaruh gelasnya dan mulai kembali tenang.
“Kenapa sih, Lus, datang-datang ke rumahku lari-larian kayak dikejar orang gila aja. Mana pake teriak-teriak segala lagi?” tanyaku meminta kejelasan.
“Emang aku dikejar orang gila. Mana orang gilanya serem banget lagi. Aduh, Lus, aku minta diajarin pake jilbab dong.” belum habis keherananku menerima kedatangan Lusi yang tiba-tiba, ia sudah membuatku tambah terbengong-bengong karena permintaannya yang terakhir itu.
“Ih, serius Mel. Kenapa sih ngeliatinnya gitu amat. Ntar keburu aku berubah pikiran nih.” semburnya ketika melihat aku masih saja terbengong-bengong.
“Habisnya kamu datang-datang minta tolong, belum habis aku heran, kamu udah minta diajarin pake jilbab. Padahal baru kemaren kamu menentang habis-habisan tentang jilbab. Ya aku jelas boleh dong, heran.” jelasku.
“Ih, orang temennya mau jadi baik dia malah heran. Kemaren-kemaren kamu gencar banget nyeramahin aku.” sengitnya.
“Iya-iya. Tapi ceritain dulu penyebabnya kenapa kamu bisa tiba-tiba berubah drastis kaya gini.” kataku.
“Tapi janji ya nggak ngetawain aku,” katanya sangsi.
“Iya-iya aku janji.” jawabku.
Mengalirlah cerita dari mulutnya.
“Aku lagi jalan-jalan di dekat taman bundar situ. Terus pas aku lagi mau beli milkshake, ada orang gila lewat. Tukang milkshakenya udah ngingetin aku buat nutupin kepalaku pakai kapuchon. Tapi kamu tau sendiri, kan kalau aku benci banget pakai kapuchon yang itu. Bikin gatel-gatel. Eh, tau-tau orang gila itu jalan ke arahku. Ditangannya ada karet rambut yang udah kotor banget. Gak tau tuh karet udah kemana aja.trus dia bilang gini : “aduh anakku, kamu kemana aja nak? Mama nyariin kamu dari tadi. Sini mama iketin rambutnya biar rapi dan cantik.” Huaaa!! Mimpi apa aku semalem sampe dianggep anak sama orang gila. Aduh. Nggak lagi-lagi deh. Ampun. Aku langsung aja lari ke tempat aman terdekat. Trus aku inget kalau rumah kamu deket. Aku lari aja ke rumahmu sambil berdoa : “Ya Allah, kalau aku berhasil selamat dari kejaran orang gila itu, aku janji mau belajar pakai jilbab sama Amel.” Jadi sekarang kamu harus bantuin aku belajar pakai jilbab secara konsisten.”
Aku menutup mulut menahan tawa.
Lusi melotot. “katanya tadi janji nggak bakal ketawa.”
“iya-iya deh maaf. Lagian kamu ada-ada aja. Pake jilbab nunggu di kejar orang gila dulu.”
***
Sejak saat itu, kemana pun Lusi pergi, ia selalu memakai jilbab. Memang awalnya karena takut dikejar-kejar lagi oleh orang gila taman bundar. Tapi lama-kelamaan, ia semakin nyaman dengan jilbabnya. Alhamdulillah.
Kini, bertambah lagi kesamaan kami. Senangnya.

Saturday, November 23, 2013

Apa Yang


Apa yang kau lihat?
Sebuah cermin hampa
Yang tak kau temukan
Wajahmu di sana?

Apa yang kau baca?
Sebuah buku kosong
Berwarna tak terdefinisi
Berisi kekosongan?

Apa yang kau dengar?
Musik tanpa suara
Lagu tanpa irama
Atau kicau burung bisu
Di langit malam minggu?

Apa yang kau cari?
Kehampaan,
Kesunyian,
Ketiadaan?

Dan kau tetap mengingat
Setiap kerat retak
Di cermin itu

Setiap noda dan lipatan
Dalam buku itu

Setiap resonansi
Di lagu itu

Setiap kehampaan

Setiap kesunyian

Setiap ketiadaan

Mengapa masih kau bawa-bawa
saja itu semua?

Sunday, November 3, 2013

Cerita Aku-sentris

Waktu itu aku kelas 3 SD. Waktu itu aku kelas 6 SD. Waktu itu aku kelas 2 SMP. Waktu itu aku kelas 3 SMP. Waktu itu aku kelas 2 SMA

dan semua cerita itu, berlalu dalam kenangan
dan selalu tersimpan, dalam album-album tak tercetak

dan waktu itu baru saja
12 Oktober 2013, ah, atau mungkin 11 Oktober 2013
cerita yang baru, baru saja dimulai
bergulir layaknya hidup yang terus berjalan. berjalan dengan misteri besar terpampang di depan. ya, masa depan
dan dipilihkan sang waktu akhir ceritanya, bukan aku yang memilihnya
dalam sebuah cerita yang aku-sentris, ada kamu di sana
dalam sebuah cerita yang baru saja tercipta
dalam sebuah cerita yang hanya ada dua tokoh di dalamnya

aku, sang tokoh utama
dan kamu, sang tokoh figuran

mungkin suatu saat kau akan naik pangkat
menjadi tokoh utama kedua
atau waktu memilih untuk mendepakmu
dan cerita berakhir dalam album itu
tersimpan selamanya

sesederhana cerita pengantar tidur anak
tapi tak semudah itu untuk selesaikan
kuingatkan, cerita ini

aku-sentris

bukan

kita-sentris

Thursday, October 31, 2013

Ketika Aku Bertemu Denganmu


Aku bertemu denganmu di usia yang begitu muda. Seperti yang selalu kau ulang-ulang. Walaupun pada konteks yang berbeda. Aku masih muda.

Kau bertanya banyak hal. Aku merasa kau sedang mengetesku. Kau memberitahukan banyak hal. Aku merasa kau sedang menginternalisasikan sesuatu. Dan aku masih terlalu muda--mungkin--untuk memahami, menanggapi, apalagi menolak pendapatmu, argumentasimu, pikiran-pikiranmu. Atau pikiranku yang masih terlalu muda--juga mungkin.

Aku membagi banyak hal. Aku mengutarakan sesuatu, pikiranku, mencoba menangkap reaksimu, tanggapanmu. Aku menyuarakan isi pikiranku yang selama ini berkemelut. Menjelaskan bahwa aku menolak sesuatu. Menjelaskan pendapatku tentang sesuatu, dan banyak lagi.

Aku sering terdiam dan enggan menanggapi ketika kau mulai lagi berfilsafat. Karena aku tidak bisa berpikir sespontan itu. Tidak seperti kau yang sudah membaca jutaan baris dalam buku-buku tebal itu. Tidak seperti kau yang sudah mengarungi ribuan are lautan perenungan yang kau sebut 'bengong' itu. Karena kau bilang, saat bengonglah kau sempat berpikir. Karena Ibrahim menemukan Tuhannya saat bengong. Karena Muhammad juga temukan Tuhannya saat bengong.

Kau beri aku buku. Kau beri aku bacaan. Kau beri aku banyak hal baru di waktu yang masih kurasa singkat mengenalmu. Belum lama, sejak pertama kali kita bertemu. Saat itu gelap karena petang telah menjelang. Aku tidak bisa menangkap kesan pertama tentangmu waktu itu. Aku tidak bisa melihat dalamnya pandanganmu terhadap sesuatu. Aku tidak bisa melihat jauhnya penerawanganmu ketika kau sedang termenung.

Kau bilang aku terlalu serius. Ah, aku tidak pernah serius. Apalagi ketika mendalami sesuatu. Ketika memikirkan hakikat sesuatu. Tidak seperti kau yang loncatan pikirannya begitu wild. Tidak seperti kau yang kata-katanya selalu aku tanggapi dengan, "gue nggak ngerti". Karena aku memang tidak mengerti. Ah, aku terlalu malas untuk mengerti. Kau bilang aku malas berpikir. Aku juga bilang begitu. Padahal "aku berpikir, maka aku ada". Manusia ada karena berpikir. Lalu kau bilang aku bukan manusia. Di lain waktu kau bilang aku ini orang, bukan manusia. Walaupun kau berdalih itu hanya sesat pikir kau dan teman-temanmu, aku merasa penjelasanmu masuk akal. Karena manusia berbudi, orang tidak.

Suatu hari nanti, aku ingin. Aku ingin membaca jutaan baris buku yang berbeda. Supaya kita bisa saling berbagi. Atau bahkan menolak pikiran-pikiranmu itu. Suatu hari nanti, aku ingin. Aku ingin mendalami sesuatu. Sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang tak pernah terlintas dalam pikiranmu. Supaya aku bisa membagi sesuatu. Tidak hanya kau. Supaya kau tahu, bahwa aku juga bisa berpikir.

Suatu hari nanti, ketika aku bertemu denganmu kembali, apabila aku menjadi seseorang yang berbeda, yang bertolak belakang dari yang aku ucapkan padamu sekarang, aku tidak ingin dianggap munafik. Aku tidak ingin dianggap pembohong. Karena aku masih mencari. Aku masih belajar berpikir. Karena aku baru saja memulai.
Kau ingat, tentang pembicaraan kita tentang rasa menyesal karena mengenal sesorang, mungkin suatu hari nanti aku akan menemukan rasa itu. Seperti yang kau bilang bahwa ruang lingkup kehidupanku masih sempit. Tapi untuk saat ini, sungguh, aku tidak pernah menyesal telah mengenalmu. Tuhan banyak menyadarkanku lewat dirimu. Tuhan banyak mengingatkan aku melalui sosok yang sama sekali tidak pernah terbayang di benakku sebelumnya tentanf seseorang yang akan menyadarkanku.

Banyak hal yang sebenarnya aku tolak. Banyak hal yang sebenarnya aku tidak sependapat. Aku hanya tidak mengerti bagaimana menyampaikannya, karena aku tidak banyak membaca. Karena itu, suatu hari nanti, temui aku lagi. Ah, kau bilang, apa kau masih hidup?

Tapi saat ini, aku masih ingin  mengais banyak hal darimu. Karena saat ini aku masih terlalu muda. Atau kehidupanku yang masih muda.

Monday, October 28, 2013

Lepas di Pintu 63

Kotak besi itu bertuliskan angka 63
Di mana mereka berdiri di pintunya
Menantang angin yang menghajar tubuh mereka

Aku duduk di depan
Dekat kaca
Sambil sesekali memerhatikan melaluinya,
mereka yang tampak menikmati
Belaian angin di wajah mereka, di rambut mereka
Petang itu

Kotak itu bertuliskan 63 di depannya
Membelah dari Pusat ke Selatan
Dengan mereka di pintunya

Mungkin berbagi kisah hari itu
Mungkin berbagi kisah yang lainnya
Dan mereka terlihat lepas
Dan mereka terlihat ceria
Dua manusia menarik duniaku

Sementara aku memerhatikan
Dari kaca sepotong
Yang juga memantulkan sepotong
Aku hanya ingin larut, dalam bahagia itu

Sunday, October 20, 2013

Karena Ia Tidak Mengerti

Malam itu, kendaraan roda dua itu melaju dalam keheningan. Yang disela sekali-dua oleh tanya dan jawab selewat. Hatiku ditemani suara deru mesin dan hembusan angin malam. Dengan diam, kutelusuri hatiku. Ada sesak di sana. Yang tak bisa hilang dengan sekali-dua hela nafas panjang. Pun ada perih di situ.

Sementara orang di depanku, yang duduk terpisah tas hitam-merah itu tidak mengerti. Apa yang bergolak di dalam sini. Apa yang bertikai di dalam sini. Berharap ini tak segera berakhir. Berharap roda itu tak berhenti berputar sampai habis malam. Berharap ia mengerti mengerti bahwa aku tak ingin segera turun. Dan mencoba meresapi setiap detik di sana yang kuharap melambat.

Tetapi aku memang harus turun. Ketika roda itu berhenti berputar di ujung jalan. Berat. Dengan parau ucapan terima kasih yang mungkin tak sempat tertangkap inderanya. Yang mungkin segera berlalu tertiup angin tanpa sempat terdengar. Aku menatap wajahnya sekilas yang disembunyikan gelap. Menelusuri setangkap siluet wajahnya. Seperti sebelumnya di tempat yang berbeda kemarin dulu. Karena aku tidak pernah sanggup lebih lama dari itu.

Dan kemudian aku berlalu. Dengan setetes air bergulir turun perlahan. Lalu setetes lagi. Dan lagi. Dalam isak yang kutekan. Dalam hening yang tak terdengar. Lalu berharap ia mengerti.

Tapi mungkin ia memang tidak mengerti

Ketika Aku Bertanya Soal...


Semalam aku bertanya pada guru ngajiku. Teh Nurul namanya. 

"Bagaimana komentar teteh soal suka sama lawan jenis?"

Sudah tiga orang aku tanyai soal ini. Dengan redaksi, konteks dan situasi berbeda. Teteh satu ini menjawab :

Itu wajar. Tapi biasanya di usia sekarang, ketika suka sama seseorang itu biasanya karena kagum. Lalu ketika menemukan kekurangan orang itu, akan ilfil seketika.

Aku berpikir tentang sesuatu. Apakah hukum itu berlaku padaku? Kira-kira apa yang akan terjadi padaku? Bukankah biasanya justru orang-orang itu terbutakan ketika melihat kekurangan orang yang sisukai? Tapi aku tidak berkomentar apa-apa sementara si teteh melanjutkan kembali penjelasannya.

Jika diibaratkan hati adalah ruangan, ada sebuah ruangan yang kosong. Yang tak pernah tersentuh siapapun. Yang senantiasa terkunci. Ruang itu harus terjaga tetap kosong. Sampai suatu saat nanti tiba masa yang tepat. Di situasi yang tepat. Akan datang seseorang yang tepat yang membawa kunci tersebut.

Tapi yang namanya perasaan itu tidak boleh ditekan. Karena semakin ditekan akan semakin membuncah. Maka jalan terbaik adalah menyalurkan energi itu ke jalan yang benar. Ke kegiatan yang bermanfaat. Jangan sampai energi itu tersalurkan ke hal-hal yang merugikan sendiri. Jangan sampai perasaan-perasaan semacam ini membuat hidup kita jadi tidak nyaman. Nikmati saja yang ada. Tapi jangan terlena karena setruman-setruman itu. Karena itu syahwati. Datangnya dari syaitan.

Diskusi malam tadi lama-lama menyambung ke soal masa depan dan pernikahan karena pertanyaan teman-teman lain di dalam lingkaran kami. Dan diskusi ditutup dengan pertanyaan : "Memangnya Iffah sedang ada perasaan semacam itu?". Aku hanya menjawab dengan senyum.

Meski sebentar, aku senang tanggapan dia tidak menghakimi. Tidak menjawab dengan jawaban "jangan berlebihan", atau langsung menembak "hati-hati itu dari setan", atau ekstrim menyuruh segera berhenti.

Dua orang lainnya yang aku tanyai menjawab dengan jawaban yang menenangkan. Minimal mereka tidak menertawakan aku. Maksimal mereka memberikan solusi.

Nikmati, jalani, banyak berzikir.