Aku punya sahabat. Namanya Lusi. Kami berteman
sejak kelas 1 SD. Sampai sekarang kami sudah SMP pun kami masih bersahabat.
Kami memiliki banyak sekali kesamaan. Tetapi ada satu hal yang aku sayangkan.
Dia belum memakai jilbab dengan konsisten. Ketika sekolah, ia hanya memakai
jilbab ketika hari Jumat. Itupun siangnya langsung dilepas lagi. Untunglah dia
juga ikut mengaji di masjid. Minimal dia jadi lebih sering memakai jilbab.
“Lus, kamu kapan mau pakai jilbab sih?”
pertanyaan yang sudah terlalu seringaku lontarkan padanya. Yang selalu
dianggapnya sebagai angin lalu saja yang masuk dari kuping kanan, mentok,
keluar lagi dari kuping kanan juga. Ckckck.
“Kapan-kapan aja deh, Mel.” Hampir selalu begitu
jawabannya. Atau kalau lagi nggak mood, bisa-bisa dia malah marah.
Aku semakin bingung saja bagaimana caranya
mengajak dia supaya mau memakai jilbab. Aku sendiri sudah sejak kecil memakai
jilbab. Tapi terkadang, dia malu juga kalau lagi jalan-jalan sama aku, akhirnya
dia ikut memakai jilbab, walaupun jilbab yang dia pakai, sepertinya, meminjam
dari keponakannya yang berusia 5 tahun.
Walaupun begitu, Lusi bukanlah orang yang
menentang jilbab. Dia bukanlah orang yang suka menghina orang-orang yang
memakai jilbab. Karena walau bagaimanapun, dia adalah seorang muslimah.
Orangtuanya adalah orang yang mengerti agama. Bahkan, bundanya sendiri memakai
jilbab yang cukup lebar. Aku bingung kenapa Lusi nggak dibiasakan saja memakai
jilbab sejak kecil. Aku sendiri sudah sejak kecil memakai jilbab. Jilbab bagiku
sudah seperti nafas.
***
“Mel, kamu kenapa sih niat amat ngajak aku pakai
jilbab?” tanya Lusi suatu hari saat ia sedang main ke rumahku.
“Lus, pakai jilbab itu kewajiban setiap muslimah.
Ada hukum yang jelas atas itu.” Jelasku tanpa menurunkan majalah yang sedang
aku baca. “Coba kamu lihat lagi surat an-Nuur ayat 31 tau surat al-Ahzab ayat
59.”
“Tapi kenapa para feminis itu tidak mengenakan
jilbab. Dan bukankah mereka mengatakan bahwa laki-laki dan perempuan itu sama?
Jadi, mengapa harus dibedakan antara kepala laki-laki dan kepala perempuan?”
cecar Lusi.
“Itu mah alasan-alasan nggak logis mereka aja
supaya mereka dengan leluasa tidak menjalankan syariat islam yang sebenarnya.”
Jawabku. “Coba deh kamu pikirin, ada enaknya juga lho pakai jilbab, kalau
dilihat dari segi selain agama. Kamu ingat, kan, berita akhir-akhir ini tentang
pemanasan global dan efek rumah kaca. Tentang ozon di atas kepala kita yang
sudah berkurang kualitasnya. Sekarang sudah banyak kasus kanker kulit yang
menyerang karena sinar matahari sudah tidak lagi disaring dengan baik. Coba
kalau orang-orang itu memakai hijab. Paling tidak kulit mereka tertutup dan
tidak terkena langsung sinar matahari yang berbahaya itu, kan? Mereka masih
mempunyai pelindung.”
“Ah, tapi kan kalau lagi terik malah panas.”
Sanggah Lusi.
“Panas mana ama neraka?” cetusku. “Malah
melindungi rambut kita dari bahaya kekeringan.”
“Masak sih? Ah, ntar rambutnya malah ketombean.”
Lusi masih menyanggah.
“Itu sih pinter-pinternya orang yang makainya
aja.” Kilahku.
“Aku masih mau ntar-ntaran aja ah. Masih ada hari
esok ini. Ntar kalau aku udah pakai jilbab aku kan jadi nggak bisa pamer
bando-bando lucu, pamer rambut yang habis di rebonding. Apa lagi kalau nanti
keluar model rambut terbaru, kan jadi nggak seru kalau rambutnya di tutup.”
Pendapatnya.
“Siapa yang berani jamin kalau masih ada hari
esok? Gimana kalau ntar malem nyawa kamu udah melayang.” Balasku.
“Ih, kamu kok doainnya gitu sih?” serunya
pura-pura marah.
“Bagian mana sih dari kata-kataku yang
menunjukkan aku ngedoain kamu?” kilahku. “kita kan nggak ada yang tahu kapan
nyawa kita di cabut oleh malaikat Izrail lepas dari jasad kita.”
“Ah, terserah kamu lah.” Kata Lusi akhirnya,
kemudian ia memasang headset yang tersambung ke komputerku. Aku cuma
geleng-geleng kepala. Ah, Lus, Lus, semoga kamu segera sadar betapa pentingnya
berjilbab.
***
Aku sedang menyirami “gelombang cinta”nya bunda
ketika Lusi menggedor-gedor gerbang rumahku.
“Mel, Mel, bukain dong. Tolong aku. Cepetan.
Menyangkut hidup dan mati nih. Please.” Lusi memohon-mohon. Aku memandangnya
keheranan sambil buru-buru menuruti permintaannya.
Setelah ia duduk dengan tenang, di dalam rumah,
aku masuk ke dapur untuk mengambilkannya segelas air putih dan sebatang cokelat
(kata orang coklat bisa menenangkan pikiran).
“Minum dulu, Lus. Nih ada cokelat oleh-oleh ayah
dari Jerman. Kata orang cokelat bisa menenangkan pikiran, lho.” kemudian dia
mengambil gelas yang aku sodorkan. Seteguk, dua teguk, tiga teguk. Ia menaruh
gelasnya dan mulai kembali tenang.
“Kenapa sih, Lus, datang-datang ke rumahku
lari-larian kayak dikejar orang gila aja. Mana pake teriak-teriak segala lagi?”
tanyaku meminta kejelasan.
“Emang aku dikejar orang gila. Mana orang gilanya
serem banget lagi. Aduh, Lus, aku minta diajarin pake jilbab dong.” belum habis
keherananku menerima kedatangan Lusi yang tiba-tiba, ia sudah membuatku tambah
terbengong-bengong karena permintaannya yang terakhir itu.
“Ih, serius Mel. Kenapa sih ngeliatinnya gitu
amat. Ntar keburu aku berubah pikiran nih.” semburnya ketika melihat aku masih
saja terbengong-bengong.
“Habisnya kamu datang-datang minta tolong, belum
habis aku heran, kamu udah minta diajarin pake jilbab. Padahal baru kemaren
kamu menentang habis-habisan tentang jilbab. Ya aku jelas boleh dong, heran.”
jelasku.
“Ih, orang temennya mau jadi baik dia malah
heran. Kemaren-kemaren kamu gencar banget nyeramahin aku.” sengitnya.
“Iya-iya. Tapi ceritain dulu penyebabnya kenapa
kamu bisa tiba-tiba berubah drastis kaya gini.” kataku.
“Tapi janji ya nggak ngetawain aku,” katanya
sangsi.
“Iya-iya aku janji.” jawabku.
Mengalirlah cerita dari mulutnya.
“Aku lagi jalan-jalan di dekat taman bundar situ.
Terus pas aku lagi mau beli milkshake, ada orang gila lewat. Tukang
milkshakenya udah ngingetin aku buat nutupin kepalaku pakai kapuchon. Tapi kamu
tau sendiri, kan kalau aku benci banget pakai kapuchon yang itu. Bikin
gatel-gatel. Eh, tau-tau orang gila itu jalan ke arahku. Ditangannya ada karet
rambut yang udah kotor banget. Gak tau tuh karet udah kemana aja.trus dia
bilang gini : “aduh anakku, kamu kemana aja nak? Mama nyariin kamu dari tadi.
Sini mama iketin rambutnya biar rapi dan cantik.” Huaaa!! Mimpi apa aku semalem
sampe dianggep anak sama orang gila. Aduh. Nggak lagi-lagi deh. Ampun. Aku
langsung aja lari ke tempat aman terdekat. Trus aku inget kalau rumah kamu
deket. Aku lari aja ke rumahmu sambil berdoa : “Ya Allah, kalau aku berhasil
selamat dari kejaran orang gila itu, aku janji mau belajar pakai jilbab sama
Amel.” Jadi sekarang kamu harus bantuin aku belajar pakai jilbab secara
konsisten.”
Aku menutup mulut menahan tawa.
Lusi melotot. “katanya tadi janji nggak bakal
ketawa.”
“iya-iya deh maaf. Lagian kamu ada-ada aja. Pake
jilbab nunggu di kejar orang gila dulu.”
***
Sejak saat itu, kemana pun Lusi pergi, ia selalu
memakai jilbab. Memang awalnya karena takut dikejar-kejar lagi oleh orang gila
taman bundar. Tapi lama-kelamaan, ia semakin nyaman dengan jilbabnya.
Alhamdulillah.
Kini, bertambah lagi kesamaan kami. Senangnya.
No comments:
Post a Comment