Monday, November 27, 2017

My Favorite Piece of Cake

Jika pada akhirnya My favorite piece of cake yang kueman-eman menunggu waktu yang tepat untuk dimakan itu harus menjadi milikmu karena the baker chooses you, ya, aku harus gimana.

Jika pada akhirnya The gown I've been dreaming of yang kupuja-puja, kutunggu-tunggu sampai ukuranku muat dengannya harus kamu bawa pulang karena ternyata gaun itu memang exclusively made for you, ya, aku harus gimana.

Pada akhirnya, yang kita inginkan saat ini belum tentu yang terbaik untuk kita di hari nanti kan.

Pada akhirnya, sejungkir balik apapun we try to fit in, kalau yang punya nggak ngasih, ya nggak akan pas aja.

Kita jatuh dan bangun dalam perjalanan 'panjang' tapi 'singkat' bernama kehidupan ini adalah hal biasa. Kita merencanakan dan kecewa pun bukan perkara baru.

Yang aku yakini, pada akhirnya, I will find my own piece of cake and my very exclusive gown. Someday.

Monday, November 6, 2017

Sweet Farewell

Seberapa pun gengsi melingkupi kita, perpisahan tetap menyakitkan.
Seasing apa pun kita pada awalnya, waktu membuktikan kekuatannya. Kita pun tidak mungkin kembali pada keterasingan.

Garis waktu menyaksikan proses kita.
Dalam kecanggungan dan keakraban,
Dalam perselisihan dan perdamaian,
Dalam kesalahpahaman dan kelapangan hati,
Dalam tangis dan tawa,
Dalam ego dan pengorbanan,
Dalam ramai dan sepi,
Dalam doa-doa yang saling silang terkirim.

Seberapa pun kita menafikan, kita sama-sama tahu bahwa perpisahan ini berat bagi kita.
Lebih berat dari penerimaan kita di awal temu. Lebih canggung dari saat mata bertemu mata dan nama saling dilemparkan. Lalu hati saling melempar senyum di balik punggung.

Kita telah berhasil melewati semua hal berat. Satu hal berat lagi seharusnya bisa kita lalui. Meski hal berat itu bernama perpisahan.

Jakarta, 6 November 2017
Ramai tawa anak-anak kelas dua tidak cukup ampuh mengalihkan pikiranku tentangmu dan semua tentang kita.

Tuesday, October 17, 2017

Ujian Waktu

Mungkin waktu sedang menguji kita. Berapa banyak selisih temu yang terjadi antara kita. Aku datang, kamu pergi. Aku beranjak, kamu sampai.

Kita sama-sama bekerja keras. Menyusutkan jarak antar persona. Melipat waktu antar temu. Kita sama-sama belajar, sibuk dengan diri.

Mungkin waktu sedang menguji kita. Menguji kedewasaan, keteguhan, kesungguhan, dan kesiapan kita.

Ia belum berkenan merestui temu kita. Ia masih menunggu sampai dua di antara kita melewati ujiannya.

Kita masih harus terus belajar. Sambil mencari jalan menuju satu sama lain. Kita masih harus terus bekerja keras. Sampai ia berkenan mengabulkan setiap lembar permohonan menjadi temu yang syahdu. Sesyahdu aamiin yang panjang di setiap penghujung doa kita.

Maafkan aku, mungkin aku yang belum lulus uji.

Sekolahan, ditulis ulang karena teks awal hilang. Selasa, 16 Oktober 2017

Saturday, September 23, 2017

Catatan Sang Kontingen

Kontingen. Istilah ini bermula dari agenda jaulah Salam UI ke Gamais ITB. Harusnya sih tiap dep/bir dapat slot kursi untuk dua orang. Sementara dep/bir yang lain pada nambah kursi, bahkan sampai ada yang bela-belain berangkat terpisah dari rombongan dengan menggunakan kereta, TKK cukup satu saja yang berangkat. Ya, Iffah. Si Kepala berkelakar, "Beri saya 1 anak TKK akan saya guncangkan ITB". Duh. Dan ketika si satu-satunya perwakilan TKK ini ditagih untuk iuran keberangkatan, iseng-iseng berhadiah dikirimkanlah tagihan itu ke grup. Dan Tring! Muncul bukti transfer yang menyatakan telah membayarkan sejumlah uang yang diminta ke nomor rekening yang diminta pula. Bekal perjalanan, ceritanya. Alhamdulillah.

Sepekan kemudian, Salam UI kembali mengadakan agenda outing. Kali ini Refleksi Paruh Tahun namanya. Curiga akan kembali menjadi satu-satunya perwakilan, aku memutskan untuk tidak bilang-bilang ke siapa-siapa kalau aku berniat untuk ikut. Hanya melapor kepada cp perizinan (Fitri) sudah cukup bagiku. Toh aku juga tidak butuh tahu siapa lagi dari TKK yang akan ikut RPT. Terlihat pasti, Ibrohim sebagai kepala TKK sepertinya akan ikut. Tapi berangkat tidaknya dia, tidak berpengaruh juga terhadap keberangkatanku. Tanya-tanya sedikit, aku jadi tahu dia berniat untuk menyusul ke RPT selepas syuro TKK di Sabtu Pagi (padahal RPT dimulai Jumat malam), yang qadarullah, akhirnya beliau tidak jadi ikut.

Awalnya memang sempat galau mau berangkat atau tidak. Tapi bukan karena ada temannya atau tidak yang membuatku galau. Bukan pula karena ada yang batal berangkat. Melainkan waktu kepulangan di Ahad siangnya. Mengingat tempat yang jauh, aku tentu tidak bisa membawa motor sendiri supaya bisa pulang duluan sendiri. Padahal, Ahad sore aku ada jadwal mengajar privat. Sementara perjalanan pulang sangat mepet dengan jadwal mengajar tersebut. Tapi bismillah, akhirnya ikut rombongan menyusul di Sabtu sore yang akhirnya baru lepas landas dari Depok saat maghrib dan sampai di tujuan sekitar jam 9 malam.

Sempat tarik ulur mau masuk grup rombongan menyusul atau tidak. Karena sebenarnya jujur-jujuran, males juga diketaui orang kalau aku juga berangkat (yang notabene akhirnya satu-satunya TKK di RPT). Apalagi kalau diketahui oleh Kepala TKK sendiri. Bahkan sesaat sebelum berangkat, Widia menanyakan aku apakah aku ikut atau tidak, dan hanya kubaca. Jadilah, kali kedua jadi satu-satunya Kontingen TKK.

Memasuki paruh tahun kedua memang lebih sulit bagi kami untuk menghadiri agenda-agenda internal Salam. Sebagian besar sudah memulai perjuangan pasca kampusnya, sisanya sedang berjuang menyelesaikan kehidupan kampusnya (baca:menyelesaikan skripsi), belum kalau bentrok dengan agenda di luar dua hal tersebut. Wajar akhirnya, aku yang nggak ada kesibukan apa-apa inilah yang seringnya tersisa. Tetapi di luar itu semua, sungguh aku senang bisa berkegiatan dengan adik-adik (boleh ya sebut adik) shalih-shalihah dan membantu mereka (meskipun sering juga muncul magernya. Aasif jiddan).

Aku nimbrung di RPT dan agenda pertama yang kuikuti adalah persembahan dari PI. Diputarkanlah video dokumentasi mengenai kilas balik selama satu paruh tahun ke belakang. Dikemas apik dengan narasi yang begitu sendu ala Imam. Tidak sedikit yang menitikkan air mata. Aku merasakannya juga. Well, meskipun sosokku tidak terlihat di video itu, meskipun kontribusiku juga boleh dibilang kurang untuk agenda-agenda yang ditampilkan di video, tapi aku paham bagaimana haru-birunya perasaan para fungsionaris Salam yang pasti sangat besar rasa kepemilikannya terhadap momen-momen tersebut. Tiga setengah tahun sampai saat ini berkecimpung di Lembaga Dakwah, aku khatam bagaimana perasaan mereka. Seandainya aku jadi mereka yang ada di kilasan-kilasan memori itu, aku juga pasti akan menangis. Saat itu aku memang tidak ikut menangis. Tapi aku memandang ke sekeliling. Melihat yang lain saling merangkul, menepuk bahu, atau ada pula yang dengan sok kuatnya menghapus air matanya sambil tertawa dan berkata "Ane nggak nangis, Ane kan kuat." Melihat pemandangan seperti itu saja cukup membuatku merinding merasakan sedikit rasa yang mereka tumpahkan. Dalam hati, aku mencoba bertelepati dengan orang-orang yang ada di ruangan, sembari berdoa kepada Allah. Semoga Allah tambahkan kekuatan mereka. Semoga Allah ikatkan hati-hatj mereka. Semoga Allah istiqomahkan mereka dalam kebaikan-kebaikan. Semoga Allah husnulkhotimahkan amanah mereka.

"Kemarin kan semua bidang udah tampil, Fah. Tinggal TKK yang belum. Pokoknya kamu harus tampil juga nanti." kira-kira begitu kalimat Fitri entah malam itu, atau besok paginya. Udah panik aja, tapi alhamdulillah nggak disuruh. Yang ada malah ttp dapet hadiah richoco nabati segepok yang harusnya katanya buat TKK taoi berhubung TKK yang datang hanya diriku seorang, akhirnya kumakan beberapa dan sisanya kubagikan. Ini yang aku bilang di grup TKK, "Nggak tampil aja dapat hadiah."

Setelah acara seru sehari-semalam itu (iya, acaranya sebenernya dua hari dua malam, tapi aku kan cuma ikut sehari semalam) ditutup, kegalauan yang sempat hilang, muncul lagi. Maghrib itu aku harus mengajar. Takut-takut, aku coba izin sama orang tua murid untuk terlambat. Meskipun nggak kebayang juga kalau tetap harus berangkat bakal kayak gimana. Perjalanan dari lokasi ke Depok 3,5 jam, dari Depok ke tempat ngajar satu jam, dan harus mengajar selama dua jam. Tepar pasti! Dan Allah Maha Baik, orang tua murid menjawab dengan sangat bijak, me-reschedule jadwal hari itu jadi besoknya. Aku bisa beristirahat dengan tenang di kamar kos malam itu. Alhamdulillah. Kalau kata Fata, "Allah tau kok kalo lu seneng beginian."

Yah, begini aja memang catatan perjalanan sang kontingen TKK. Belum bisa menjadi citra, contoh, dan perwakilan yang baik bagi TKK memang. Tapi mudah-mudahan membawa kebahagiaan tersendiri juga bagi teman-teman, adik-adik shalihat (kurang kenal sama yg ikhwan. Yang akhawat aja masih banyak yang belum kukenal) di Salam UI 20. Semoga Allah meridhoi niat baik dan ikhtiar kita semua.

Villa Permata, Sabtu, 23 September 2017
Ya, aku saat ini sedang berada kembali di tempat RPT sepekan yang lalu.
Catatan ini dibuat untuk Salamenulis Ed. RPT, makanya isinya sebagian besar tentang RPT. Catatan tentang jaulah ke Gamais ITB, akan dibuat menyusul kalau mood
.

Friday, September 15, 2017

Malu-Malu Rindu

Pada denting rindu kesekian ini, akhirnya aku belajar sesuatu bernama ketenangan dan kelapangan hati.
Aku belajar bahwa waktu tidak hanya mampu menyembuhkan luka, tapi juga mampu meredam rindu.
Aku meyakini bahwa rindu bukanlah hutang yang sudah jatuh tempo. Bukan pula kebutuhan mendesak yang harus dipenuhi saat ini juga.
Kesabaran dan kedewasaan lah yang menyempurnakan keseluruhan kisah. Membungkus rindu jadi tidak lagi malu-malu. Pada akhirnya.

Sunday, August 27, 2017

Sahabat

"Biarkan persahabatan memelukmu hangat. Mengembalikan lagi rasa percaya. Bahwa Rasulullah pun memiliki sahabat-sahabat terbaik yang membersamai perjuangannya.  Pun Musa a.s. yang ditemani oleh Harun a.s. Bahkan Isa a.s. dan kaum hawariyyin yang begitu setia. Bahwa Ashabul Kahfi bersama-sama dijanjikan surga-Nya.

Ia ada dan nyata. Hanya saja mungkin ia, mereka, atau bahkan aku belum mampu menanggung amanah itu sebagai saudara, sebagai sahabat. Dalam perjalanannya, ia pasti memiliki hikmah dan menjadikanmu kuat. Membesarkan jiwamu. Mengantarkanmu pada Dzat yang Maha Mencintai dan lebih Mencintaimu lagi."

Kata-kata sok bijak yang dulu sekali pernah kukirimkan pada seorang yang cukup berarti bagiku ini, kini menjadi bumerang. Nyatanya, aku sendiri yang kini tidak yakin bahwa suatu hubungan bernama persahabatan itu, benar ada. Atau paling tidak, ada untukku. The old me suka sok tahu.

Saturday, August 19, 2017

You have to be stronger than everyone else
Your lowest point should be higher than everyone's point
I know that you are stronger than you ever realize
I saw it with my own eyes, and I realize, you have a great soul inside
Stay strong, stay believing

Thursday, August 10, 2017

Rahasia

Setiap orang pasti punya rahasia kan? Rahasia yang bahkan kepada Tuhannya ia kabarkan dengan berbisik. Yang bahkan terkadang, dirinya sendiri tidak berani mendengar rahasia itu. Setiap orang pasti punya sisi terdalam. Baik itu ketakutan, kesedihan, atau mungkin bisa saja hal-hal meyenangkan baginya yang tidak pernah ia bagikan ke siapapun.
Setiap orang punya masanya sendirian. Bahkan merasa diri sendiri pun tidak bisa diajak kompromi. Pengkhianatan terbesar justru dilakukan oleh diri sendiri. Lalu harus kepada siapa lagi ia menaruh percaya?
Pada tekanan yang tidak lagi mampu ditahan, sementara tumpah  tidak ada lagi tempat untuk mengalirkan saking rendahnya. Menengadah pun malu saking hinanya. Berkaca pada diri sendiri tak terpantul saking gelapnya. Menghitam kelam sekelilingnya.
Oke, ralat, mungkin tidak setiap orang pernah mengalaminya. Karena ia tahu, ini adalah hukuman baginya. Dan hukuman hanya berlaku bagi orang-orang yang benar-benar bersalah dalam hidupnya.
Seiba-ibanya ia memohon pada Tuhannya. Ampun-Nya yang begitu luas selama ini telah diabaikannya.
22.40
Ia selalu menanti kembalimu

Monday, August 7, 2017

Kembali

Kamu duduk di sana, tepat di hadapanku. Matamu tertutup kain, dan aku yang mendengarkan semua ceritamu. Pagi itu kita berada di ruang dengan pencahayaan sangat rendah. Dan kamu mulai... menangis.
Ah, aku bahkan sudah menahan campur aduk emosi itu sejak kata pertama keluar. Sejak pertanyaan pertama kulontarkan padamu. Kamu pasti menyadari tekanan suara yang keluar dariku lantaran menahan isak yang begitu menyesak. Kamu tidak menangis sendirian.
Di mana aku, saat kamu kebingungan sendirian. Di mana aku saat kutinggalkan sisa-sisa tanggung jawabku yang harus kamu selesaikan. Di mana aku saat pelik membelitmu sampai bertanya pun kamu tidak mampu. Di mana aku yang mengaku akan selalu ada.
Kita menangis. Saling berbisik di telinga. Masing-masing menyalahkan diri sendiri. Meskipun lebih banyak harusnya aku yang disalahkan. Kita menangis lalu kemudian menutup lembar yang telah berlalu.
Pagi itu, sampai ketika ia melambai-lambaikan tangannya tanda waktu kita usai, aku masih menata janji. Dan kita bersama menata diri. Ke depan, kita akan lalui kembali perjuangan yang tidak mungkin dilalui seorang diri.
Berlarilah padaku, saat aku menjauh darimu. Berteriaklah padaku apabila aku lupakan janji kita. Dan aku akan ada di belakang sini, di belakangmu. Mengawasi punggungmu seandainya ia limbung tak tegak. Mengawasi lututmu seandainya ia mulai goyah.
Jadilah kuat. Jadilah kuat bersamaku. Dan bersama orang-orang di kanan-kirimu.
Rumah, 7 Agustus 2017, 23.33
Lakon utama telah digantikan, tetapi masih banyak pekerjaan yang ditinggalkan.
Mengenang perbincangan kita di salah satu pagi buta di Bulan Juli

Sunday, July 30, 2017

Diam

"Kalo bercanda kagak usah dimasukkin hati. Kalo memang tersinggung langsung bilang"

Pada detik pertama saya membaca kalimat ini, saya terkesiap. Sampai menahan nafas saking sakit tamparan itu terasa. Benar, memang pantaslah seharusnya saya yang paling sakit merasakannya. Memang pantaslah jika seandainya nasihat general itu sebenarnya hanya ditujukan untuk saya seorang.

Seseorang pernah berkata, “Iya, kamu memang diam. Tapi diammu membunuh!”

Saya bukan orang yang pendiam, tapi jika menemukan suatu kondisi yang sangat membuat tidak nyaman, saya akan diam. Antara tidak tahu harus bersikap seperti apa, atau memang ingin dipahami, bahwa sebenarnya saya tidak nyaman dan ingin semua orang berhenti melakukan hal yang membuat saya tidak nyaman. Somehow, tidak baik memang. Alasan bagaimana pun. At the end, biasanya saya akan mencoba berlapang hati, melupakan ketidaknyamanan itu dengan terlebih dahulu melupakan penyebabnya. Kadang mudah, tapi tidak jarang juga butuh waktu yang lama.

Tapi bagaimana pun, saya bukanlah pemendam yang baik. Pada kasus yang berlarut, yang saya gagal untuk melapangkan hati, yang saya gagal untuk bertahan berdiam diri, faktor ke-ekstrovert-an sayalah yang akhirnya membuat saya tidak akan sanggup berlama-lama berdiam sendiri. Paling tidak saya akan ajak teman lain untuk ikut dalam aksi ‘diam’ saya. Caranya bukan dengan ikutan diam. Tapi dengan ia mendengarkan sebab mengapa saya begini.

Orang bilang saya ekspresif. Tapi banyak sekali bundel ekspresi yang gagal saya ekspresikan ke luar. Berharap ada yang mampu memahami, tetapi mustahil. Saya tahu, itu tidak mungkin. Orang bilang saya ekspresif, tapi saya gagal mengungkapkan banyak dari rasa hati yang mendekam. Entah karena gengsi, atau karena tidak tahu bagaimana harus mengungkapkan. Jadi seandainya saya mampu, ekspresi yang keluar dari diri saya pasti akan jauh lebih variatif daripada saya yang saat ini dikenal oleh orang-orang di sekitar saya. Ah, saya terlalu banyak meminta untuk dimengerti.

"Kalo bercanda kagak usah dimasukkin hati. Kalo memang tersinggung langsung bilang"

Sesaat setelah membaca kalimat ini, pikiran saya langsung melanglang buana. Bertanya-tanya, apakah pertanyaan general ini dari seseorang yang sesungguhnya ditujukan untuk saya. Meskipun tetap tidak menemukan jawaban, dan keyakinan saya pun tidak mencapai 50% juga, saya jadi me-rewind banyak hal. Banyak percakapan. Banyak kesepakatan.

Saya telah bercerita banyak. Saya telah menjelaskan banyak. Sejauh yang saya sanggup untuk jelaskan. Perihal keadaan-keadaan tertentu yang mungkin saja membuat saya tersinggung. Perihal masa lalu yang membuat saya berjuang menghadapi tanggapan orang. Perihal diri saya yang by time, akhirnya jadi over cuek sama segala sesuatu untuk menghindari terlalu banyak memikirkan apa kata orang. Jangan-jangan saya terlalu banyak bercerita sampai tidak ada satupun yang sempat ia cerna atau ingat.

Saya bukanlah seorang yang bisa marah berlama-lama, tapi saya pernah punya riwayat menjadi seorang pendendam yang kejam. Yang bahkan penyebab kemarahannya sudah saya lupakan, tetapi saya bertahan membenci. Kondisi itu yang membuat saya merasakan sakit di dalam diri saya. Bukan sakit fisik. Tapi sakit yang jauh lebih sakit. Sakit yang tidak terlihat.

Saya kira saya telah bertemu dengan seseorang yang mampu mengerti saya. Saya kira saya telah bertemu dengan seseorang dengan penilaian netral. Saya kira ia sudah cukup dewasa pemikirannya. Tapi nyatanya, saya terlalu memercayai. Sehingga akhirnya saya harus menelan kecewa.
Pada akhirnya, saya tetap tidak tahu siapakah produsen kutipan itu. Dan ditujukan untuk konsumen yang manakah ia. Tetapi saya berterima kasih pada siapa pun orangnya. Termasuk apabila ternyata orang yang saya maksud adalah orang yang sama dengan dia yang seharusnya membaca ini. Karenanya, saya jadi mengerti bahwa bukan sesiapa yang salah. Seharusnya sayalah yang disalahkan. Sudah seharusnya sayalah yang menerima hukuman ketidaknyamanan ini. Meskipun menyiksa.

Tetapi di luar itu semua, ada lebih banyak diam yang saya tekan. Ada faktor-faktor lain yang akhirnya membuat saya memilih diam. Maka ketahuilah, memendam diam bagi seorang ekstrovert bukanlah hal yang mudah. Menyimpan rahasia diri sendiri bagi seorang talkative bukanlah hal yang simpel. Berbeda dengan mereka di luar sana yang memang lebih tertarik berdialog dengan dirinya sendiri. Tapi itu bukan saya.

Saya butuh teman cerita saya kembali, tetapi kalau ending dari semua ini adalah saya harus mencari pengganti, bukankah saya harus rela menerimanya sebagai sebuah hukuman yang pantas?

Rumah, di tengah-tengah keluarga yang berlalu-lalang, rasanya ingin menangis, tapi pasti tidak bisa, kan? 21.12

Saya harus rela mem-pause pekerjaan penting malam ini. Karena ketidaknyamanan bertemu dengan papan tik. Boom! Here I am

Monday, July 24, 2017

Mudah

Setelah berhari-hari ia menekan perasaannya, terdiam dalam gemuruh batinnya, berkali-kali urung berbicara, akhirnya ia tumpah juga. Bukan pertahanannya yang rapuh.

Ah, bahkan isaknya pun tak bersuara. Usainya pun ia kembali seperti sedia kala. Tidak ada yang berbeda.

Mudah sekali hidupnya. Sepertinya...

Rumah, 24 Juli 2017, 12.59
Masih menunggu keajaiban

Wednesday, July 19, 2017

Lelucon

Sungguh sudah sangat biasa baginya. Sudah sangat bisa memahami ketika di balik punggung sana ada yang tertawa, entah itu terbahak atau terkikik sekalipun, ia tahu bahwa tawa itu adalah tentang dirinya.

Bertahun menyandang predikat cewek aneh sudah bukan hal yang mengganggu pikirannya. Ia hanya ingin hidup untuk dirinya sediri. Ia sudah tidak lagi peduli seberapa keras tawa sekumpulan orang di seberang sana, yang jelas-jelas sedang menertawakannya.

Benarkah?

Pada masanya, ia menemukan konsep dirinya. Yang ia lakukan adalah mendekati kerumunan yang seketika menghentikan tawa mereka, memasang wajah was-was, takut-takut ia marah. Tapi ia justru ikut duduk, dan menyusul tertawa. Ah, peduli setan, ia tahu ia hanya berubah menjadi orang aneh tipe yang lain.

Ada masanya ketika ia memanipulasi otaknya untuk berpikir bahwa lelucon dan tawa-tawa itu adalah apresiasi untuknya. Bentuk penerimaan mereka terhadapnya. Caranya untuk berbaur dengan mereka.

Tapi kadang, otaknya korslet juga. Bingung dengan semua manipulasi yang telah ia lakukan pada otaknya.

Masa berikutnya, ia bertemu dengan seseorang. Seseorang yang tadinya ia pikir berasal dari golongan orang-orang yang sering menertawakannya. Tapi ternyata, orang itu mampu memahami keanehannya. Mampu menebak aksinya yang sering kali ia sendiri tidak mampu menebak. Orang itu, tidak menertawakannya. Setidaknya, sejauh pengetahuannya.

Tapi ternyata... Dibalik kepeduliannya, orang itu hanyalah orang yang sama. Orang yang sama dengan sekumpulan manusia di pinggir jalan situ, yang tertawa ketika ia lewat. Tertawa ketika ia berbicara. Bukan karena lucu, melainkan karena cara berpikirnya yang aneh. Ah orang itu hanya berpura-pura terlihat dewasa.

Sungguh sudah sangat biasa baginya. Pada akhirnya, orang itu ia kembalikan pada posisinya. Posisi orang-orang biasa lainnya, yang ikut membuat lelucon tentang dirinya. Posisi yang tidak terlalu mempengaruhi hidupnya.

Ia berjalan memunggungi tawa yang masih terdengar. Sudah biasa. Sudah sangat biasa. Ia tidak marah, tidak pula merasakan apapun yang lain. Ia merasa sudah cukup memikirkan itu semua.

Tapi sekali lagi... Benarkah?

Rumah, Rabu, 19 Juli 2017, berberapa saat setelah tengah hari.
Seandainya aku dapat memeluknya, membuka semua tabir rasanya, menampung semua rahasianya. Tapi... 

Sunday, July 16, 2017

Yang Hilang dari Ghirah Kita

Karena lintasan ide seorang kawan di grup tentang lagu untuk suatu acara dan setelah memikirkan kata-kata untuk teks penguatan ke peserta dauroh, randomly tengah malam ini tiba-tiba terlintas di kepalaku sebaris lirik nasyid lawas, "Barisan mujahid melangkah ke depan, tanpa rasa takut menghalau rintangan."

Karena nggak terlalu yakin dengan keseluruhan liriknya, kuketiklah di google, sebaris lirik itu dan muncullah hasil penelusurannya. Ternyata judulnya Cahaya Abadi yang dinyanyikan oleh Izzatul Islam. Salah satu hasil pencariannya adalah dari youtube yang akhirnya kubuka. Lepas satu video, naturally, aku memilih video lain yang direkomendasikan oleh sang mesin penelusur video tersebut.

Bermunculanlah video-video nasyid lainnya yang sebagian besarnya adalah video lirik karena zaman dulu jarang ada nasyid haraki yang punya video klip. Tapi ada satu video yang sukses menarikku bernostalgia ke masa belasan tahun silam. Saat nasyid haraki sedang panas-panasnya membakar ghirah aktivis-aktivis dakwah masa itu, bahkan sampai ke anak-anak mereka yang salah satunya adalah aku. Video itu menampilkan slide foto-foto dokumentasi salah satu munashoroh di suatu daerah. Tentu saja aku jadi ikut hanyut ke dalam nostalgia.

Ia masuk ke sekolah-sekolah IT. Menjadi genderang penyemangat di jambore-jambore dan aktivitas kepanduan SIT (sekarang Pramuka SIT). Ia diperdengarkan di munashoroh-munashoroh Palestina dan aksi-aksi lainnya. Ia diperdengarkan di agenda-agenda syiar dakwah dari tingkat nasional sampai ke Rohis-rohis sekolah. Ia menjadi penghidup dan pengikat semangat.

Semangat dan ghirah yang mengalir sampai ke ubun-ubun ketika mendengar nasyid-nasyid itulah yang membuat aku, teman-temanku, dan mungkin anak-anak ikhwah lainnya pada masa itu mematri cita-cita yang bahkan belum sepenuhnya mereka pahami: "Aku akan jadi seperti Abi dan Ummi ketika besar nanti."

Padahal mereka (termasuk aku juga di dalamnya) mungkin belum tahu. Apa sesungguhnya yang dilakukan oleh Ummi-Abi mereka di dalam ta'lim-ta'lim pekanan. Yang mereka tahu, mereka akan bertemu dan bermain dengan teman-teman sebaya mereka ketika ikut orang tuanya ke majelis tersebut.

Padahal mereka tidak tahu. Untuk apa sesungguhnya munashoroh yang dilakukan orang tua mereka di jalanan. Yang mereka tahu, mereka akan bersama-sama mengibarkan atribut bendera Palestina kecil-kecil dan berlarian dengan teman-teman mereka. Dan mereka akan ikut-ikutan berteriak tabir sekencang-kencangnya.
Tapi dengan yakinnya, dalam hati mereka berkata : "Saat besar nanti, aku yang akan membawa bendera besar itu." Sambil berloncatan mengikuti irama nasyid haraki yang sedang dikumandangkan.

Waktu berjalan, belasan tahun berlalu. Entah apakah ini juga dirasakan oleh anak-anak ikhwah sepertiku di luar sana, atau aku saja. Nasyid-nasyid haraki semakin jarang diperdengarkan. Terlebih karena tidak banyak nasyid baru yang diproduksi beberapa tahun ke belakang. Tidak terlihat secara signifikan pula regenerasi tim nasyid-tim nasyid haraki. Posisinya perlahan digantikan nasyid-nasyid mellow yang belakangan mulai lebih sering ngomongin soal "jodoh". Oh, tentu saja aku tidak menyalahkan keberadaan nasyid melow. Aku juga suka mendengarkan edcoustic dan beberapa tim nasyid lain yang lebih kontemporer (walaupun sekarang tetap saja sudah terhitung jadul).

Munashoroh sekarang menjadi barang langka. Kumpul besar-besaran pun terakhir sudah beberapa tahun yang lalu. Paling-paling yang tersisa tinggal kampanye-kampanye politik (aku juga tidak mengambinghitamkan ini).

Acara-acara kampus sudah dikemas menjadi acara yang lebih ramah. Nasyid-nasyid yang diperdengarkan juga tentunya harus menyesuaikan. Maher Zain dan nasyid lain dari luar mulai menghiasi acara-acara lembaga dakwah. Dan sudah pasti lagi-lagi aku tidak boleh menyalahkan kondisi ini. Dalam berdakwah, kita harus mengikuti perkembangan zaman dan memahami bahasa kaum, bukan?

Tapi sayang, dauroh kampus (yang pesertanya lebih spesifik) pun ikut-ikutan mengeliminasi nasyid-nasyid haraki. Takut terlalu keras bagi peserta katanya. Takut dicap pengurus partai juga. Takut dianggap radikal. Dan macam-macam ketakutan lainnya. Lalu di mana kita bisa menemukan situasi yang tepat untuk membakar lagi semangat dakwah. Ketika di dauroh anggota intinya saja sudah jarang terdengar nasyid-nasyid tersebut.

Aku selalu menghibur diri dengan, "Ah, dakwah kita bukan tentang simbol semata. Tanpa nasyid-nasyid itu, esensi dakwah kita tetap berjalan. Kita dapat menggali lagi semangat dari buku-buku." Tapi siapa pula yang tidak rindu?
Kadang, yang membuat tambah sedih adalah ketika mendapati reaksi kawan sesama anggota inti di kampus ketika mendengar nasyid haraki, tetapi reaksinya negatif. "Ngapain sih lagu begituan mulu yang disetel." Ada lho, yang begitu. Sedih sekali mendengarnya.

Maka ketika menemukan teman yang punya minat yang sama terhadap nasyid haraki, senangnya luar biasa. Seolah menemukan titik cerah dalam ruang gulita (ah, lebay). Sekarang, tidak lagi mudah menemukan orang yang bisa diajak bersenandung bersama. Berangkulan, sambil loncat-loncatan, tangan mengepal dan meninju-ninju udara, sambil mengikuti nasyid haraki yang sedang diputar. Alhamdulillah, tetap ada. Tapi tidak banyak.

Kini, impian masa kecilku masih ada. Tetapi aku khawatir ia meredup. Ditutupi oleh ketakutan dan ketidakpercayadirian akan identitas diri. Takut dibilang ini, takut dicap itu. Impian masa kecil yang coba diperbarui sejak ikut terluka dan trauma dari tahun 2012. Impian itu masih ada. Tapi ada pemantik yang hilang. Hilang dari agenda-agenda penguatan kita. Hilang dari reminder-reminder kita.

Mungkinkah ia juga harus menjadi yang tersingkir karena pergeseran zaman? Mungkinkah ia harus digantikan oleh cara yang lebih efektif dan kekinian dalam menyalakan kembali ghirah para aktivis? Aku tidak tahu. Yang aku tahu, aku rindu.

Rumah, Ahad, 16 Juli 2017, dini hari
Sore nanti akan ada agenda konsolidasi

NB: di luar sana, mungkin masih banyak yang menyetelkan nasyid haraki di dalam agenda dauroh kampusnya. Jadi meskipun bahasanya seperti men-generalisasi, aku justru berharap kenyataannya tidak generalisasi dari fenomena yang kutangkap.

Friday, June 9, 2017

Ternyata

Kamu tidak tahu seberapa sedang hancur leburnya hatinya ketika kamu berkata sedikit keras terhadapnya. Ternyata ia sedang berada di titik terentannya sehingga kata-katamu semakin menghancurkannya.

Kamu tidak tahu seberapa besar beban masalah yang sedang ditanggungnya ketika kamu menilainya sedikit tajam. Ternyata ia sudah menyalahkan dirinya sendiri sepanjang hari sehingga penilaianmu semakin membuatnya merasa gagal.

Kamu tidak tahu dia sudah bersabar sebelum akhirnya kamu pecahkan kesabarannya karena ketidaksabaranmu terhadapnya. Ternyata ia sudah banyak menahan diri sehingga tekanan darimu membuatnya meledak dan semakin terluka karena ia merasa gagal mengendalikan kesabarannya.

Ternyata dia tengah menyimpan sesuatu. Sesuatu yang tidak seorang pun dia beri tahu. Bahkan untuk bercerita pada dirinya sendiri pun ia takut ada yang mendengarkan.

Ternyata dia tengah meredam pilu sendunya luka jiwanya. Patah hatinya berkeping yang dengan gemetar ia rangkai kembali susah payah.

Ternyata dia tengah membangun tanggul-tanggul yang menopang kekuatannya. Membendung kesedihannya. Menekan amarahnya.

Ia bahagia tapi tidak bahagia. Langkah ringannya tak siratkan kalut pikirannya. Tawa renyahnya tidak suarakan lengking nestapanya. Binar cemerlang matanya memang meredup. Tapi mungkin kamu tidak sepeduli itu untuk menyadarinya. Ternyata, kamu tidak banyak tahu tentangnya.

Kamu tidak tahu, betapa sedang hancur leburnya hatinya saat kau tudingkan jari telunjukmu untuk menghakiminya. Kamu tidak akan mengerti bagaimana rasanya. 

Sampai kamu berada di posisinya. Sampai kamu merasakannya sendiri.

Home, a while after midnight

Friday, June 2, 2017

Ketakutan yang Memakanmu Perlahan



Sampai kapan? Sampai kapan mau berlari terus? Sampai kapan mau menunda terus?

Tidak ada satu pun di antara kita yang tahu apa yang ada di balik pintu itu. Bahkan mendekat saja kau enggan. Jangankan membukanya.

Kau bukannya punya waktu selamanya. Tapi kau terus menghindar seolah tidak ada batas waktu bagimu.

Aku tahu benar rasa takutmu. Tapi bahkan menunjukkan sedikit wajah cemas saja kau tak berani. Seolah kalau sedikit saja rasa cemas itu hadir di wajahmu, kecemasan itu akan membinasakanmu bulat-bulat.

Kau sehatkah?

Kau membayangkan sesal yang akan kamu tanggung. Kau membayangkan melihat dirimu menangis sesenggukan sampai gila, membayangkan semua beban yang akan kau tanggung dengan sesal. Kau membayangkan sampai kegilaan itu datang lebih cepat. Kau telah gila duluan sebelum waktumu benar-benar habis.

Sampai kapan? Sampai waktumu benar-benar habis? Sampai kapan kau akan menghabiskan waktu dengan hidup dalam pengalihan?

Di pojok sini aku mematung, memandangimu. Menangis tanpa suara, tanpa ekspresi. Memandangi siluetmu di seberang sana yang mematung, juga tanpa ekspresi.

Di ruang sendiri ini, hanya ada aku, kamu, dan ketakutan yang memenuhi ruangan. Menghimpit nafas kita. Mengunci ruang gerak kita. Mendesak dari dalam dada, memaksa membuncah keluar. Mencoba meledakkan kepala-kepala kita.

Sampai kapan? Kumohon jangan jawab pertanyaan retoris ini. Tapi lakukanlah sesuatu.

Rumah, 2 Juni 2017

Friday, May 26, 2017

Jalan


Ternyata hari ini, tujuh tahun yang lalu, adalah pengumuman penerimaan siswa baru IC angkatan 16. Yang alhamdulillah, hasilnya diterima.

Saat itu, aku harus melepas sekolah lain padahal sudah daftar ulang. Saat itu, nggak pernah berharap banyak bisa keterima di IC. Saat itu juga sudah siap-siap masuk sekolah lain, sekolah yang sudah diinginkan sejak kelas 6 SD karena sebagian besar teman SD masuk ke MTs-nya.

Hikmahnya? Masih berusaha dirangkai. Bukankah hidup adalah serangkaian hikmah yang harus terus dicari, dirangkai, kemudian diresapi? Kalau kata wali asramaku dari kelas sepuluh sampai dua belas, kadang, kita baru akan mengerti maksud dari suatu simpul kehidupan kita bertahun-tahun setelahnya. Mungkin sekarang sudah sedikit terjawab. Tapi belum sempurna.

Kalau saja jadi di sekolah itu, sekarang mungkin masih semester 6 karena sekolahnya 4 tahun, atau bisa juga semester 8 kalau cukup pintar untuk bisa loncat kelas. Punya kelompok pertemanan yang pasti berbeda. Mungkin juga akan punya cara pandang yang berbeda. Kita tidak akan pernah tahu kan?

Kita tidak akan pernah tahu akan jadi seperti apa kita kalau menempuh jalan yang berbeda. Karena hidup adalah sekumpulan pilihan di atas konteks dan kondisi. Sekalipun kita menghadapi pilihan yang sama dua kali, mungkin kita akan menjatuhkan keputusan pada pilihan yang berbeda, tergantung konteks saat itu. Hasilnya pun belum tentu sama. Karena akan bergantung pada kondisi sekitar kita. Misteri? Allah Maha Tahu.

Di kampus, beberapa kali bertemu dengan orang yang berkata padaku, "Jadi kamu anak IC? Dulu aku pengen banget masuk situ. Tapi ga keterima..." Itu namanya takdir. Bukan soal siapa yang lebih pintar, tapi jalannya memang bukan di situ. Kadang jadi membayangkan juga seandainya dia juga diterima. Akankah kami berteman dekat di IC? Akankah kami bertemu kembali di kampus?

Lain waktu, aku yang berkata pada teman kampus yang sekolah di sekolah itu. Iya sekolah itu, yang aku nggak jadi masuk. "Dulu aku mau sekolah di situ. Udah daftar ulang, udah ukur seragam, bahkan katanya masih dipanggil namanya pas orientasi. Tapi nggak jadi. Soalnya orang tua memilih IC."

Ah, bukan juga soal menjadikan sekolah itu sebagai cadangan (seandainya tidak diterima IC). Tapi ya, lagi-lagi, bukan jalannya. Tapi ya, kadang tetap berandai-andai juga. Seandainya jadi sekolah di situ, akan kenal dia, dia, atau dia nggak ya? Akan ketemu lagi di kampus nggak ya?

Yang pasti, garis waktu itu jalannya ke depan. Kalo ke belakang, namanya flash back. Dan namanya juga flash back, ya sekilas-sekilas aja. Seringnya juga ga jelas-jelas amat gambarnya. Jadi ya kita emang nggak akan bisa memperkirakan akan jadi seperti apa kita kalau mengambil jalan yang berbeda. Variabel yang bisa mempengaruhi hidup ini tuh ada banyaaak. Ga akan bisa diperkirakan satu-satu.

Intinya apa? Syukur dan jalan ke depan. Hargai apa yang kita dapat karena memilih sesuatu, bukan meratapi apa yang tidak kita dapat karena tidak memilih sesuatu yang lainnya. Karena bahagia itu, kita juga yang memilih.

Lalu aku, memilih bahagia, dipertemukan denganmu di kurun waktu saat ini. Tidak lebih cepat, tidak lebih lambat. Karena kalau lebih cepat aku akan bosan, kalau lebih lambat, aku akan bertemu dengan yang lainnya. Haha
Kosan, 26 Mei 2017

Monday, May 22, 2017

Pujian

 Reminder Day 128 

Jangan biarkan hatimu bangga atas pujian orang lain, dan terpuruk karena hinaan mereka -anonim

5 hari menuju Ramadhan

Begitu teks reminder malam ini. Bikin banyak berpikir. Betapa hati ini begitu lemahnya. Jangankan ujian hati yang datangnya menyisip-nyisip kayak gini. Ujian yang terang-terangan macam benar-salah saja masih sering gagal.

Tentang pujian, sering kali ia datang dari orang yang mungkin tidak tahu terlalu dalam tentang kita. Tidak tahu respon yang bisa kita lakukan di saat kritis. Tidak tahu hal-hal lain yang dilakukan di balik jangkauan pantuan mereka.
Pernah nggak kamu merasa tidak pantas menerima suatu pujian, bahkan jadi merasa tersindir karenanya? Aku sering.

Oh, pasti pernah juga kita berbangga atas pujian. Kadang kala, kalau rasanya pujian itu benar adanya, akan timbul (walau mungkin sedikit) rasa senang karena diakui. Kalau pinter ngeles, akan mudah menutupinya. Kalau tidak, siap-siap awkward.

Tentang hinaan, beberapa orang bisa lebih bertahan menghadapi  hinaan daripada menghadapi ujian berupa pujian. Tapi ingin pengakuan itu khas manusia banget. Karena manusia itu ga bisa dilepasin dari ego dan pride.

Jadi intinya apa? Nggak ada. Balik lagi aja ke quote awal. Ah, urusan hati banyak banget ya ujiannya.

يا مقلب القلوب ثبت قلبي على دينك و على طاعتك
Rumah, Penghujung Ahad, 21 Mei 2017

Sunday, May 21, 2017

Overthinking vs Ignorant

"Kadang gue tuh suka sedih, kenapa gue overthinking banget jadi orang. Sama makanan overthinking, sama orang, sama segala sesuatu."

"Yaudah sih, overthinking overthinking aja. Semakin kamu mikirin kenapa kamu orang yang overthinking, semakin kamu sedang overthinking terhadap ke-overthinking-an kamu. Aku juga overthinking kok... (terputus)"

"Ah, nggak! Lo mah cuek orangnya. Cuek banget. Gue sebenernya suka (berteman-red) sama orang-orang yang cuek."

"Oke ralat, somehow, aku orang yang overthinking juga kok, dalam beberapa hal tertentu"

Salah satu potongan percakapan malam tadi di warung kopi. I let you guess, yang mana yang kata-kataku yang mana yang bukan...

Ya, akulah the "somehow" one. Kayak aku emang sedang dalam keadaan overthinking terhadap sesuatu yang akhirnya membuat aku mengeluarkan pernyataan bahwa aku adalah orang yang juga overthinking. Melihat capture-an peristiwa di sekitar saat itu saja membuatku tidak bisa menilai diriku sendiri secara utuh. Lalu disadarkan pada penilaian dari orang lain bahwa aku adalah orang yang super cuek.

Somehow aku ngerasa, dia ada benarnya juga. Tapi nyatanya nggak sepenuhnya benar juga. Atau lebih tepat disebutkan bahwa aku mencoba untuk (terlihat) cuek pada hal-hal yang sebenarnya sangat mengganjal dan mengganggu pikiran. Mencoba (dan sering berhasil) melupakan hal-hal yang apabila pikirannya terus dilanjutkan, akan menghasilkan sikap-sikap canggung yang terpaksa harus kulakukan. Karena pada tataran sikap, aku selalu gagal menutupi suasana hati. Lalu aku merasa, hal yang lebih mudah adalah mempengaruhi ingatan (dengan cara melupakan sesuatu), sehingga ingatan itu tidak mempengaruhi suasana hati, sehingga suasana hati itu tidak mempengaruhi sikap, sehingga aku tidak melakukan hal-hal canggung yang akan sangat kubenci jika terpaksa harus kulakukan.

Kadang, menjadi orang yang cuek (plus pelupa) adalah hal yang sangat kusyukuri. Aku nggak perlu repot-repot menutupi suasana hati karena takut canggung (dalam kasus apapun). Aku nggak perlu repot-repot menyembunyikan kekesalan lama-lama. Aku nggak perlu repot-repot menutupi rasa malu lama-lama. Karena aku sudah lupa.

Tapi kadang nyesel juga karena keterusan jadi orang yang over cuek. Jadi nggak peduli sekitar, padahal kalo kata tes MBTI, aku ini orang ESFJ (The Consul). Jadi sering teringat sama sekitar setelah semua terlambat. Jadi sering ngerasa bersalah karena nggak lebih banyak tahu tentang teman dekat daripada si teman itu mengerti aku.

Well, secuek-cueknya aku, benar kan ada overthinking-nya juga. Paling nggak overthinking tentang seberapa cuek aku.
Masih di kosan, Minggu, 21 Mei 2017

Saturday, May 20, 2017

Kaca

Kaca itu berganti rupa
Tidak lagi wajahku
Bukan lagi hidupku

Sejak dulu bukan rupaku
Sejak lama bukan ceritaku
Kupecah-hancurkan, menghancurkanmu
Kubiarkan, menghancurkanku
Aku memilihku
Aku saja
Yang hancur
Kosan, Sabtu, 20 Mei 2017

Ah Elah, Fah, Gitu Doang!

Malam ini aku pulang dalam keadaan seluruh tubuh masih gemeteran. Terutama suara. Bukan kelelahan. Iya sih lelah, tapi cuma sedikit. Kondisi ini lebih banyak hasil grogi berlebih yang justru muncul pasca suatu hal yang ketika aku melakukannya, rasa gugup akan menyerang seluruh tubuhku.

Biasanya, orang grogi kalau akan menghadapi sesuatu, terus setelah semua berlalu, ia akan lega dan kembali seperti sedia kala. Tapi aku selalu bertanya-tanya pada diri sendiri, kenapa aku nggak bisa membiarkan diriku duduk tenang, merasakan kelegaan, lalu melupakan rasa nervous yang baru saja berlalu. Efeknya, aku akan merasakan kelelahan yang luar biasa, sama lelahnya seperti setelah beraktivitas fisik seharian. Aku nggak yakin bagian mana yang salah.

Di kehidupan sehari-hariku, aku adalah orang yang talkative. Seperti bisa mengeluarkan semua kata yang terlintas dalam pikiranku, dengan begitu saja. Tapi semua akan berubah 180 derajat kalau aku harus berbicara di atas panggung. Panggung seperti apa pun. Berbicara tentang apa pun. Seringkali, kalau aku sedang rajin dan cukup siap, aku akan menuliskan poin-poin yang harus kukatakan. Kalau lebih rajin lagi, bahkan sampai narasinya aku tulis di kertas kecil. Tapi, bagaimanapun persiapannya, setelah naik panggung, semuanya pasti buyar. Termasuk ingatan untuk membuka teks yang sudah disiapkan. Sampai-sampai seringkali harus mengulang-ulang "رب اشرح لي صدري و يسر لي أمري و احلل عقدة من لساني يفقهوا قولي"  berulang kali supaya bisa sedikit tenang.

Aku kenal seseorang yang di kesehariannya tidak banyak bicara, tetapi kalau sudah berbicara di depan, bisa seolah akan mengeluarkan semua kata yang ada di kamus. Sering aku bertanya-tanya pada diri sendiri, kenapa aku nggak bisa seperti itu.

Aku kenal seseorang yang di kesehariannya memang cukup banyak bicara. Jadi ketika dia dengan lihai memainkan diksi di depan banyak orang, aku tidak lagi heran. Aku lebih lagi mempertanyakan. Kenapa aku...

Ya, gugup yang kubawa pulang malam ini, sedikit banyak dari sana. Setelah harus berbicara sedikiiiit sekali. Dan kalau kamu tahu apa yang tadi aku bicarakan di depan, kamu pasti akan bilang, "ahelah gitu doang". Tapi itu tidak pernah menjadi "gitu doang" bagiku.

Begitu ditutup dengan salam, tidak ada yang namanya "lega". Yang ada tangan gemetaran. Kaki nggak bisa diem. Dan jantung masih berdebar-debar. Sampai waktunya pulang pun suara masih terdengar gemetar. Pikiran masih berputar-putar di depan sana. Ada yang salahkah? Ada yang kurang kah? Ada yang terlalu cepat kah? Semakin banyak daftar pertanyaan yang terlintas di pikiran, semakin rasanya ingin menangis.

Oke, itu tadi. Kalau biasanya aku tidur untuk meredakan jantung yang masih berdebar-debar, kaki yang masih goyang-goyang nggak bisa diem, kali ini, inilah terapiku. Menuliskan semuanya. Besok, semua akan kembali seperti sedia kala. Besok, aku tidak akan mengingat kegugupan hari ini. Besok, aku akan baik-baik saja. Nantinya, kalau dirasa tulisan ini justru semakin meresahkan diriku sendiri, aku akan hapus.

Haha, curhatnya jadi panjang. Maaf harus membuatmu membaca ini (siapa tahu ada yang beneran baca). Salam hangat, cheers .
Kosan, Sabtu, 20 Mei 2017

Wednesday, April 12, 2017

Gema

Adalah gema yang memantul-mantul
di dinding sukma
berdentum menggetar debar
Aku menyesap setiap tetes embun harap
Menghirup setiap hela keyakinan
Tak ingin melepas
Tapi akhirnya harus diembuskan juga
Hidup harus terus berjalan

Saturday, April 8, 2017

Filosofi Hidup

Hidup ini..

...

...

...

...

...

...

...

Hidup ini adalah sekumpulan paragraf. Ndak, aku ndak bisa berfilosofi sepertimu. Jadi hapus saja dua kalimat sebelum ini dari pikiranmu🌌🌌🌌

Thursday, April 6, 2017

Tamu Bapak (4) - ed. Rahmi dan Syayma

"Hari ini dia nggak datang kajian." kata Syayma tanpa ditanya.
"Lalu?" aku sedang tidak minat. Aku lebih berminat pada puding coklat dingin yang sekarang ada di depanku.
"Katanya, orang tuanya datang."
"Kemudian?" aku sama sekali tidak ada minat mendengar kabar tentangmu.
"Sudah. Demikian sekilas info." tutupnya dilanjut tawa yang aku tidak mengerti letak lucunya. Akhir-akhir ini selera humorku memang sering bermasalah.
"Ih, kamu jangan ngelihatin aku kayak gitu dong!" protesnya. Aku diam saja.
"Mi..."
"Hm..."
"Mi..."
"Apa?"
"Ih Rahmi, ah. Kok dari tadi pundung gitu sih. Kenapa? Sini cerita sama Mama Syayma." Inginnya aku melanjutkan makan puding saja daripada menjawab pertanyaan Syayma. Tapi pudingnya sudah habis.
"Kamu dilamar orang ya?" tebaknya asal.
"Apaan sih." Aku mencoba meraih puding milik Syayma, tapi dia sigap mempertahankannya.
22 Maret 2017, 13.00 WIB

Wednesday, April 5, 2017

Panglima dan Asisten Juru Masak (2)

“Aku sedih…” katamu.

“Banyak orang dapur yang ditarik untuk ikut dalam pertempuran. Hanya karena di dapur terlihat sudah lengang, tidak ada pekerjaan, dan terlihat seperti tidak ada apa-apa. Padahal, bukankah mereka tahu bahwa pekerjaan kita di sini masih banyak?” Masih katamu.

Aku mengerti. Setelah koki utama ikut pergi dan terlahir kembali sebagai panglima utama, satu persatu awak dapur ikut pergi. Ditugaskan ke berbagai wilayah. Kini, teman terdekatku harus ikut pergi juga.

“Dear, kita ini orang dapur.
Tapi tidak ada salahnya kita ikut bergabung ke medan pertempuran
Setidaknya kita juga sering ikut latihan fisik meski di barisan belakang
Setidaknya kepergianmu dengan persenjataan yang sudah dilengkapinya
Setidaknya tidak jauh berbeda antara pedang dan pisau daging
Toh kalian tidak pergi selamanya, Toh kalian tidak pergi sejauh jarak tak hingga
Pekerjaan kita sudah berlangsung selama masa persiapan, pun saat ini kita sudah dibantu alat
Jadi tidak ada salahnya kalau mereka menarik awak-awak tebaik dapur untuk turut serta
Aku pun harus siap jika tiba-tiba saja diminta berjaga di baris paling belakang, meski tanpa pedang bahkan zirah, mengedarkan air-air minum kepada para pejuang yang mungkin lupa akan rasa haus mereka
Tenanglah,
Dapur masih tetap bisa mengepul, aku yang hanya tukan bersih-bersih dapur ini tidak pernah sendirian, masih ada orang.” Kataku.


Namun tidak pernah sempat terucap kepadamu. Aku sudah melihatmu berlari dengan zirah dan busur panahmu. Siap bergabung bersama pasukan yang dibentuk oleh sang Panglima. Aku berjaga di sini menunggumu, dia, dan juga kalian semua, pulang dengan kabar kemenangan yang besar.

Aku masih termenung ketika kamu sudah menghilang dari jarak pandangku. Sampai akhirnya aku sadar,

Ah, masih ada masakan di kuali yang harus aku periksa.

Tuesday, April 4, 2017

Panglima dan Asisten Juru Masak

Seorang panglima telah lahir. Tengoklah, di lapangan sana ia sedang berlatih. Menyiapkan busur dan anak-anak panah, mengasah pedang-pedang sampai berkilatan, mengisi bejana-bejana air perbekalan, mengeluarkan kuda-kuda perang.

Seorang panglima telah lahir. Sementara sang pesuruh juru masak masih saja berkutat di belakang. Yang kadang masih salah memasukkan bumbu. Masih lupa di mana meletakkan wajan dan pinggan. Masih keliru membedakan bahan-bahan.

Seorang panglima telah lahir. Si pesuruh juru masak menatap dari sibak tirai jendela dapur. Berharap ia selamat di medan pertempuran. Berharap ia tetap selalu bahagia meski harus berkutat dengan tugas beratnya. Berharap ia kembali pulang segera. Bukan untuknya, untuk semua orang yang menunggu kabar baik darinya.

Sang panglima tidak perlu tahu. Bahwa kopi yang ia sesap pagi tadi. Adalah kopi buatannya yang paling istimewa. Sementara ia masih saja mengamati dari balik sibak tirai jendela dapur.
Tulisan lama, diterbitkan kembali dari Tumblr pribadi

Belum Sempat

Pengen pake banget nge-post lagi. Tapi lagi nggak sempat. Atau memang tidak menyempatkan diri :(

Monday, March 27, 2017

Nyasar

Sebagai seorang Judging (Karakter J pada ESFJ), nyasar bukanlah hal favorit bagiku. Bahkan sesepele nyasar di tempat parkir yang baru pertama kali kumasuki adalah hal yang sebisa mungkin diantisipasi. Judging adalah kecenderungan karakter untuk sticked pada plan. Prefer mempersiapkan segala sesuatu (sebisa mungkin) dengan cermat daripada harus bersikap fleksibel terhadap kemungkinan yang akan dihadapi di depan. Being flexible with plan is so not me.

Sejak dibolehkan bawa motor sendiri ke mana-mana awal tahun 2014, aku punya cita-cita untuk menyusuri jalanan Jakarta by motor. Dikendarai sendiri tentunya, bukan by grab/gojek. Itulah salah satu yang memotivasi aku untuk punya SIM segera meskipun akhirnya baru terwujud di awal tahun 2016. Hmm. Jadi selama dua tahun bawa motor nggak punya SIM? Hehe. Tidak untuk ditiru

Tapi, karena ketakutan (yang berkaitan dengan karakter Judging) ditambah sedikit faktor kesibukan, sampai sekarang cita-cita mulia(?) itu belum dapat terwujud. Yah, paling jauh cuma berani sampai Pasar Rebo. Selebihnya cuma menyusuri Jalan Pasar Minggu Raya, Jalan Lenteng Agung, hingga UI setiap hari sampai mabok. Sampai-sampai, saking hafalnya, kadang kalo lagi error, suka nggak sadar tiba-tiba udah sampe Mampang lagi aja.

Tapi siang kemarin berbeda.

Aku justru menyasarkan diri sampai ke Jatinegara tanpa sekali pun melihat Maps. Sepulang DS di Tanah Tinggi, aku mencoba-coba jalan pulang hanya mengandalkan papan petunjuk arah dan rambu-rambu lalu lintas. Yang seharusnya di Salemba aku belok kanan, aku ketinggalan belokan sehingga akhirnya memutuskan lurus. Sampai Kampung Melayu, aku belum juga berani mengambil belokan. Akhirnya sampailah aku di Jatinegara. Hampir saja aku lurus terus sampai ke Bekasi seandainya aku tidak melihat motor sebelumku putar balik ke arah Pusat Batu Akik. Intinya aku mencari jalan menuju Cawang. Karena kalau sudah sampai Cawang, aku sudah tahu jalan tanpa harus melihat papan petunjuk arah.

Nggak murni nyasar juga sebenarnya. Nyasar di Jakarta tuh masih gampang nyari jalan balik. Banyak papan petunjuk arah yang cukup bisa memandu pengendara sampai ke tujuan asal tahu nama daerah sedikit-sedikit. Seenggaknya aku jadi tahu di mana itu riilnya Stasiun Jatinegara. Selama ini cuma tahu dari peta rute KRL. Jadi tahu juga bahwa jalan di sisi Inner Ring Road dari Cawang sampai Pancoran itu macetnya luar biasa sama mobil-mobil besar maupun kecil. Jadi tahu tembusan jalan lewat Pengadegan dari Cawang sampai ke stasiun Kalibata.

Intinya, nyasar kali ini disponsori oleh Cita-cita yang tertunda. Yah, walaupun belum bisa merepresentasi #ExploreJakarta yang kucita-citakan, alhamdulillah bisa nambah rute sedikiiiit sekali daerah Jakarta Timur. Next time, mau banget nyasar di daerah Jakarta Utara. Tapi katanya serem karena banyak truk besar ya? 

Jadi, kamu mau #ExploreJakarta dan nyasar bareng aku? Aku tunggu >.<
Mampang Prapatan, Senin, H-61 Ramadhan 1438 H, 11.55 WIB

Wednesday, March 22, 2017

Tamu Bapak (3)

Aku memutuskan beranjak dari ruangan kajian saat sesi tanya jawab. Rasanya semua yang disampaikan pemateri di depan tidak ada yang tertinggal di kepalaku. Tidak, aku tidak mungkin pergi dari tempat ini sekarang. Setelah ini masih harus ada evaluasi pelaksanaan. Aku hanya pergi ke kamar mandi untuk membasuh sedikit wajah yang mulai penat ini.

"Bapak tahu kamu tahu siapa yang datang tadi." kalimat itulah yang meluncur pertama kali dari mulut Bapak malam itu, saat aku sudah duduk bergabung bersama Ibu dan Bapak. Malam ketika aku harus menunggu beberapa puluh menit di pos kamling yang tidak terlalu ramai itu.

"Iya, Pak. Tadi Adek lihat motornya dan lihat ketika beliau keluar dari rumah. Bapak kenal beliau?" jawabku sambil mencoba menata ekspresi dan intonasi.

"Ya, Bapak kenal. Sejak tadi maghrib." jawab Bapak singkat.

Tapi ternyata kalimat Bapak belum selesai, "Orangnya seperti apa menurut kamu?"

Aku diam sebentar, "Beliau orang yang baik, Pak. Seorang yang kalau sudah berazzam, azzamnya itu akan ia perjuangkan dengan sungguh-sungguh. Hanya itu yang Adek tahu, Pak."

Selanjutnya pembicaraan antara aku, Bapak, dan Ibu hanyalah seputar rencanaku ke depan. Kuliahku, aktivitasku, dan beberapa rencana lain di luar kedua hal itu. Obrolan biasa saja yang sudah sering kami bicarakan juga bertiga.

"Dek, jangan telat nanti pulangnya." Begitu pesan Mas Rodhi sebelum aku berangkat tadi pagi.

Setelah berwudhu dan shalat dua rakaat, aku tidak kembali ke tempat kajian.

"Rahmi, lagi puasa nggak?" Syayma tiba-tiba datang dan duduk di sampingku yang masih dalam posisi seperti duduk tasyahud akhir. Aku cuma menggeleng.

"Hayuk beli puding coklat dingin di depan!" Tiba-tiba ia berseru dan menarik tanganku dengan semangat.

"Jadi kamu disuruh pulang cepat? Yaudah, nanti habis eval kamu pulang aja. Biar nanti tahsin aku yang sampaikan izin ke Ustazah." kata Syayma setelah kami membeli puding dan memakannya di teras masjid.

"Sebenarnya bukan itu sih masalahnya. Tapi aku justru jadi nggak mau pulang."

"Kenapa?"

"Nggak tahu. Ada perasaan nggak enak, takut, dan ada dugaan-dugaan yang muncul di benak aku tapi aku nggak mau menduga-duga."

"Kamu udah lama nih nggak cerita sama aku. Pasti udah banyak cerita yang aku lewatkan."

"Iya, sih, Ma..." aku berhenti, menimbang akan melanjutkan kalimat atau tidak. "Tapi aku kayaknya belum bisa cerita sekarang."

Syayma tertawa. Geli sekali. Aku bahkan tidak tahu letak lucunya di mana.

"Kamu kayak bukan sama Syayma aja. Nggak usah kaku gitu lah. Nih lihat jidat kamu berkerut. Muka kamu tegang. Lemesin, lemesin. Jelek tau." ah, Syayma selalu tahu bagaimana harus memperlakukan aku.

Selanjutnya, pagi tanggung menjelang siang itu, kami hanya duduk di teras dalam diam. Berkutat dengan puding coklat dan pikiran masing-masing, menunggu azan zuhur.

"Mi..."

"Hm..."

"Kamu kalo ada yang ngelamar, kabarin aku ya." Aku hanya menjawabnya dengan tawa tanpa minat. Setidaknya, sekarang aku lebih siap pulang ke rumah meskipun aku tidak menceritakan apapun ke Syayma.
Mampang Prapatan, Rabu, 22 Maret 2017, 13.17 WIB

Thursday, March 16, 2017

Tamu Bapak (2)

Bapak | Gambar diambil dari sini
"Dek, besok kamu pergi?" Setelah makan malam, tiba-tiba Bapak bertanya padaku tidak biasanya. Karena defaultnya, apapun kegiatannya, setiap hari aku pasti pergi pagi kecuali hari Ahad. Ah, akhir-akhir terlalu  banyak sikap Bapak yang tidak seperti biasanya.

Pulang

Gemintang | gambar diambil dari sini
Hai gemintang
Bantu aku mencari jalan pulang
Tempat seharusnya aku berada dulu dan sekarang
Tempat yang maknanya tidak akan lekang

Tiada aku pernah menyesal
Pernah memilih untuk tidak tinggal
Meski harus kukembali karena aral
Sudah saatnya kuingat dari mana berasal

Kita lupakan saja kemarin lalu
Tentang semua perjalananku semu
Tentang dua garis hidup yang ternyata tiada temu
Tentang aku dan egoku yang akhirnya bisu

Wahai ambang batas
Kokoh berdirimu bahkan tak beriku waktu berkemas
Dingin dan kekejamanmu sebab kumenyerah lepas
Kuputuskan buang semua lampias tidak puas

Mundur adalah satu-satunya pilihan
Lebih baik daripada meratapi kebuntuan
Apalagi berdiam di hujung hantaran
Memeluk lutut bergantung pada harapan

Gemintang, lekas antar aku kembali
Supaya ia tidak terlalu lama menanti

Mampang Prapatan, Kamis, 16 Maret 2017, 00.24 WIB
Sesaat setelah sadar, bahwa dinding di hadapan terlalu kokoh untuk diluruhkan. Maka meniti jalan kembali adalah satu-satunya kemungkinan. Semoga berkenan.

Tuesday, March 14, 2017

Tenang

"Jadilah tenang. Karena menjadi lupa sudah tidak mungkin rasanya.
Jadilah tenang. Karena hati yang terlanjur mengenal tidak bisa dengan mudah kembali dari nol."
3 Januari 2017, 22.33 WIB
Saat badai menyurut. Tapi kini harus menghadapi badai yang lebih ganas menggilas semua tanggul ketenangan

Sunday, March 12, 2017

Diam

Dia bilang diam saja. Aku penasaran bagaimana caranya melampiaskan kekesalannya, kemarahannya. Aku tahu kami sama-sama marah. Tapi mengapa ia dapat dengan tenang mengatakan, "Diam saja. Sudah, diam saja."

Saturday, March 11, 2017

Kau dan Malam Ini

Malam ini panjang sekali rasanya. Rupa-rupa emosi seperti teraduk-aduk dalam diri ini. Tersakiti dan merasa menyakiti. Ada ego yang meninggi, ada harga diri yang terjerembab.

Malam ini sulit sekali rasanya. Berjalan tertatih. Melihat mengerjap kabur kabur. Bernafas sesak satu satu. Terpejam pun tak kuasa dipaksa. Duduk maupun berdiri semua rasanya salah.

Malam ini rasanya seperti ada yang mau tumpah. Rindu rindu meruah. Terbayang wajah-wajah lelah mungkin juga memendam amarah. Entah pada siapa. Salah satunya pasti padaku.

Malam ini rasanya seperti aku bodoh sekali. Menjadi orang yang paling tidak peka lagi bergengsi tinggi. Hati mengeras tanpa sedikit pun mencoba peduli. Mata terpejam tanpa usaha melihat realita hidup ini.

Tiba-tiba rindu. Pada wajah-wajah itu. Ingin memeluk saat ini juga dalam temu temu haru. Membisik kata-kata indah. Membisik maaf maaf. Membisik ucapan terima kasih. Ah harusnya kuteriakkan saja semuanya.

Tapi aku ini tidak pandai menunjukkan afeksi. Aku pula tidak bisa bertutur lembut. Menghibur menguatkan mendukung membesarkan hati. Aku ini tidak pandai membaca rasa. Tapi seringnya ingin dimengerti. Ah, betapa jahil.

Malam ini seharusnya aku mengerti banyak hal. Seharusnya bisa mengungkapkan banyak hal. Merendahkan hati, meninggikan diri. Bukan sebaliknya.

Maafkan diri yang lemah ini

Rumah, Sabtu, 11 Maret 2017, 23.31 WIB
Tak kan lagi ada rasa bosan, kupastikan, kuyakinkan. Untukmu. Hanya untukmu. Seandainya mampu kutulis namamu di sini...

Tarian Renjana

Aku menari bersama hujan
Gerimis deras apa peduliku
Memeluk diri memejam erat
Tertawa tersenyum seperti gila

Seketika menjelma balerina
Berdansa bersama riuh tirta
Yang turun dari kelabu mendung
Berputar tanpa takut limbung

Mengayun mengikuti alun
Denting yang berdentang
Aku hanyut aku lebur
Bersatu dengan renjana yang kian kabur

Sebelum cita menjelma samsara
Kupatri semua kuhirup kuresap
Masih bersama hujan yang setia
Masih bersama dentingmu semasa

Mari berbasah bersama

Mampang Prapatan, Sabtu, 11 Maret 2017
Bersama hujan

Friday, March 10, 2017

Tenggelam

Lautmu begitu luas

Dan aku tersesat
Di atas hamparan tanpa tepi

Lautmu begitu dalam
Dan aku tenggelam
Di dalam penyelaman tanpa dasar

Gelap
Sesak

Tapi kau
Teganya
Telah berlari ke gunung
Setinggi-tinggi
Aku tenggelam

10 Maret 2017
Only You can pull me up

Thursday, March 9, 2017

Di Atas Sampan Kayu

Di Atas Sampan Kayu

Di tengah laut lepas
Terombang-ambing
Kembali sudah jauh
Tujuan belum terlihat

Ilusi kanan-kiri
Menggoda
Melambai-lambai
Didekati hilang lenyap

Di atas sampan kayu
Yang kurakit sendiri
Kubolongi sendiri, bocor
Kutambal sendiri, tak sempurna

Merapal doa-doa
Sekali dua memejam erat-erat
Supaya godaan tak terlihat
Tapi juga karena takut

Itukah?
Atau itu juga ilusi?
Di situ kah?
Harap sudah kutenggelamkan
Mungkin sudah sampai dasar

Tapi muncul lagi ke permukaan
Hilang-timbul
Ditelan-dimuntahkan ombak
Kugenggam saja, kupeluk

Di atas sampan kayu
Sendiri aku
Ketakutan, kebingungan
Masih terombang-ambing

Mampang Prapatan, Kamis, 9 Maret 2017, 22.15 WIB

Tuesday, March 7, 2017

Aa'

Nenek terobsesi sama Aa'
Adek terobsesi sama Aa'
Sedikit-sedikit, "Aa' nya mana?"
Girang dikit, "Cie, Aa' ya?"
Lain waktu, "Dijemput Aa' ya?"

Atuhlah cuma gara-gara ngomong "Atuh", "mah", sama "punten" aja awalnya. Padahal sesering ngomong "monggo" sama "ndak" juga.

Atuhlah ke mana-mana juga enakan motoran sendiri. Keuntungannya, naik motor tuh nggak macet. Keuntungannya, bawa sendiri tuh nggak pegel dan masuk angin. Pengalaman dibonceng orang, sampe tujuan malah masuk angin.

Lagian...

Siapa pulak Aa' tu...

Dah lah, capek hamba dengarnya




A' dicari nenek tu.

Mampang Prapatan, Selasa, 7 Maret 2017, 21.48 WIB
Dengan penuh gregetan

Monday, March 6, 2017

Mutasi

Kata yang dulu mainstream dibicarakan setiap sudah menetap beberapa tahun di suatu kota. Dari Palu, pindah ke Pekalongan, lalu pindah ke Banjarmasin. Begitulah Abi harus memenuhi tugasnya di Ditjen Perbendaharaan. Otomatis, kami sekeluarga harus ikut Abi pindah.

Abi pertama kali ditempatkan di Palu, Sulawesi Tengah. Aku belum lahir. Tapi karena aku anak pertama sekaligus cucu pertama, Ummi memutuskan untuk melahirkan di Jakarta, kampung halamannya. Sejak bayi sampai TK, aku hidup di Palu. Meskipun nggak banyak yang kuingat.

Mutasi pertama Abi jatuh pada sebuah kota (sedikit) besar di sisi Utara Pulau Jawa, Pekalongan. Dan kota ini, selalu jadi kota yang paling berkesan bagi kami, terutama aku sendiri. 6 masa kanak-kanak kuhabiskan di sini. Pertama mengenal banyak hal, salah satunya persahabatan.

Menjadi keluarga nomaden bukanlah hal yang mudah. Setiap pindah, harus menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, tidak boleh punya rencana menetap, harus siap kapan saja harus kembali pindah. Harus siap kapan saja harus berpisah dengan teman-teman.

Pertengahan tahun 2006, pertama kalinya aku mengetahui kata mutasi. Dan pertama kalinya harus merasakan beratnya bersiap berpisah dengan teman-teman, guru-guru, dan tetangga. Abi pindah duluan ke Banjarmasin. Aku, Ummi, tiga adikku, dan satu bayi di perut Ummi, masih menetap di Pekalongan sampai semester berakhir. Awal tahun 2007, setelah adik terakhir lahir, semua pindah ke Banjarmasin. Kecuali aku.

Aku ikut Nenek dan Kakek di Jakarta, melanjutkan semester terakhir SD, sampai menyelesaikan MTs. Meskipun biasa, mutasi tetap bukanlah hal yang mudah bagi kami.

Sampai akhirnya Abi melihat peluang supaya tidak lagi dimutasi. Pindah jobdesc. Apalah istilahnya, aku nggak terlalu paham istilah kementerian. Jadi semacam jurnalis yang membuat Abi harus menetap di kantor pusat Direktorat Jenderal Perbendaharaan. Kami akhirnya sama-sama menetap di Jakarta sampai sekarang.

Aku lupa tahun berapa, Abi kembali mencoba kesempatan yang lebih baik untuk pekerjaannya. Widyaiswara BPPK menjadi salah satu tujuannya menyelesaikan S2. Sebab, salah satu kantor BPPK ada yang bertempat di Magelang, kampung halaman Abi. Kami mulai menyusun timeline. Nanti, kalau Abi sudah punya posisi yang lebih meyakinkan (setelah lulus S3), kami akan pindah ke Magelang sebagai tujuan akhir kami.

Abi sudah bisa membeli mobil. Sudah mulai mencicil tanah di Magelang. Dan dalam waktu dekat akan mulai mencicil bangunan rumah. Kami sangat yakin, lima tahun ke depan, kira-kira semua akan selesai dan kami bisa pindah ke Magelang. Paling tidak, aku sudah selesai S1 juga. Kami sudah mulai membiasakan diri tentang fakta bahwa Jakarta-Magelang bukanlah jarak yang sangat jauh untuk ditempuh bolak-balik. Bersyukur juga sekarang sudah ada Tol Cipali yang disambung Tol Brebes sehingga kami sering memanfaatkannya untuk pergi ke Magelang saat weekend, dan kembali ke Jakarta di weekend yang sama.

Kami akan punya rumah sendiri. Milik keluarga kami sendiri. Kami akan punya kehidupan yang lebih mapan dan menetap. Kami sudah bersepakat.  Lagipula, kami rasa juga masih cukup lama. Lima tahun lagi. Mungkin aku sudah menikah terlebih dahulu. Mungkin aku nantinya menetap di Ibukota dan menjadikan Magelang sebagai tujuan pulang kampungku. Mungkin.

Tapi tiba-tiba, isu itu datang berhembus sayup. Isu yang terakhir kudengar sekitar 11 tahun yang lalu. Mutasi. Jauh lebih cepat dari estimasi waktu kami. Rumah belum dibangun. Mobil dan tanah belum lunas. Apalagi aku belum lulus S1. Apalagi lagi, aku masih sangat nyaman berada di Ibukota, meskipun dengan semua dinamikanya.

Mutasi. Kata yang bukannya traumatik bagi kami. Hanya saja kata itu sedikit mengganggu kemapanan kami. Tetangga, sahabat-sahabat, keluarga. Meskipun kami sudah bersepakat tidak akan selamanya menetap di Jakarta, tetap saja mutasi menjadi hal yang merusak timeline kami. Mengganggu rencana kami. Dan mungkin juga rencanaku.

Kami  bahkan belum tahu Abi akan dimutasi ke mana kali ini. Meskipun Abi sangat yakin akan ditempatkan di Magelang. Dan meskipun masih isu, Abi yakin akan segera terealisasi. Kami, terutama aku dan adik-adikku, masih belum bisa sepenuhnya menerima isu itu. Pura-pura tidak pernah mendengar. Bersikap seolah kita masih akan ada di sini, sampai datang betul masanya di timeline yang telah kami susun.

Kami, terutama aku, masih belum siap menerima perubahan tatanan hidup kami. Aku sepertinya belum siap kehilangan zona nyaman di sini. Dan harus bersusah payah membuat zona nyaman baru di tempat baru nanti.

Atau bolehkah ada pengecualian untuk aku sehingga aku bisa menetap di sini lebih lama? Aku harap iya.

Mampang Prapatan, Senin, 6 Maret 2017, 12.31 WIB