Aku memutuskan beranjak dari ruangan kajian saat sesi tanya jawab. Rasanya semua yang disampaikan pemateri di depan tidak ada yang tertinggal di kepalaku. Tidak, aku tidak mungkin pergi dari tempat ini sekarang. Setelah ini masih harus ada evaluasi pelaksanaan. Aku hanya pergi ke kamar mandi untuk membasuh sedikit wajah yang mulai penat ini.
"Bapak tahu kamu tahu siapa yang datang tadi." kalimat itulah yang meluncur pertama kali dari mulut Bapak malam itu, saat aku sudah duduk bergabung bersama Ibu dan Bapak. Malam ketika aku harus menunggu beberapa puluh menit di pos kamling yang tidak terlalu ramai itu.
"Iya, Pak. Tadi Adek lihat motornya dan lihat ketika beliau keluar dari rumah. Bapak kenal beliau?" jawabku sambil mencoba menata ekspresi dan intonasi.
"Ya, Bapak kenal. Sejak tadi maghrib." jawab Bapak singkat.
Tapi ternyata kalimat Bapak belum selesai, "Orangnya seperti apa menurut kamu?"
Aku diam sebentar, "Beliau orang yang baik, Pak. Seorang yang kalau sudah berazzam, azzamnya itu akan ia perjuangkan dengan sungguh-sungguh. Hanya itu yang Adek tahu, Pak."
Selanjutnya pembicaraan antara aku, Bapak, dan Ibu hanyalah seputar rencanaku ke depan. Kuliahku, aktivitasku, dan beberapa rencana lain di luar kedua hal itu. Obrolan biasa saja yang sudah sering kami bicarakan juga bertiga.
"Dek, jangan telat nanti pulangnya." Begitu pesan Mas Rodhi sebelum aku berangkat tadi pagi.
Setelah berwudhu dan shalat dua rakaat, aku tidak kembali ke tempat kajian.
"Rahmi, lagi puasa nggak?" Syayma tiba-tiba datang dan duduk di sampingku yang masih dalam posisi seperti duduk tasyahud akhir. Aku cuma menggeleng.
"Hayuk beli puding coklat dingin di depan!" Tiba-tiba ia berseru dan menarik tanganku dengan semangat.
"Jadi kamu disuruh pulang cepat? Yaudah, nanti habis eval kamu pulang aja. Biar nanti tahsin aku yang sampaikan izin ke Ustazah." kata Syayma setelah kami membeli puding dan memakannya di teras masjid.
"Sebenarnya bukan itu sih masalahnya. Tapi aku justru jadi nggak mau pulang."
"Kenapa?"
"Nggak tahu. Ada perasaan nggak enak, takut, dan ada dugaan-dugaan yang muncul di benak aku tapi aku nggak mau menduga-duga."
"Kamu udah lama nih nggak cerita sama aku. Pasti udah banyak cerita yang aku lewatkan."
"Iya, sih, Ma..." aku berhenti, menimbang akan melanjutkan kalimat atau tidak. "Tapi aku kayaknya belum bisa cerita sekarang."
Syayma tertawa. Geli sekali. Aku bahkan tidak tahu letak lucunya di mana.
"Kamu kayak bukan sama Syayma aja. Nggak usah kaku gitu lah. Nih lihat jidat kamu berkerut. Muka kamu tegang. Lemesin, lemesin. Jelek tau." ah, Syayma selalu tahu bagaimana harus memperlakukan aku.
Selanjutnya, pagi tanggung menjelang siang itu, kami hanya duduk di teras dalam diam. Berkutat dengan puding coklat dan pikiran masing-masing, menunggu azan zuhur.
"Mi..."
"Hm..."
"Kamu kalo ada yang ngelamar, kabarin aku ya." Aku hanya menjawabnya dengan tawa tanpa minat. Setidaknya, sekarang aku lebih siap pulang ke rumah meskipun aku tidak menceritakan apapun ke Syayma.
Mampang Prapatan, Rabu, 22 Maret 2017, 13.17 WIB
No comments:
Post a Comment