Dia bilang diam saja. Aku penasaran bagaimana caranya melampiaskan kekesalannya, kemarahannya. Aku tahu kami sama-sama marah. Tapi mengapa ia dapat dengan tenang mengatakan, "Diam saja. Sudah, diam saja."
Pada akhirnya aku memang diam. Tapi diamku karena dibungkam angin malam jalan raya. Sedikit gerimis mampu melebur air mata yang menderas. Setelah itu betapa lega. Anehnya, langit cerah malam ini.
Ia bilang diam saja. Ia bilang kita yang harus memahami. Ia bilang kita saja yang mendewasa. Ia bilang banyak hal malam ini. Dalam tangis yang sama-sama kami maknai. Dalam peluk yang begitu jarang kami bagi. Ia tahu, ia bahkan lebih tahu.
Diamnya, betapa mutiara. Kilaunya tidak akan sampai ke permukaan jika tidak ada yang menelisiknya sampai ke dasar. Dan aku, mungkin tidak akan pernah tahu betapa ia berkilau, sekeruh apapun air disekelilingnya menenggelamkannya. Seandainya hari ini berjalan baik-baik saja.
Aku ingin menjadi mutiara serupa. Bertahan di dasar. Bagaimana pun arus menggerusnya. Tetap mengilau betapapun rusak airnya. Tapi aku masih terlalu lemah untuk menjadi sepertinya.
Kali ini aku membiarkan langit malam yang mendiamkan aku. Meskipun dari jembatan layang, kulihat ia meninggi malam ini. Seperti enggan mendekapku erat-erat. Tapi aku tahu. Ia kirimkan sayup lembut anginnya untuk berbisik menguatkanku. Sepertinya, aku butuh waktu.
Kelak, aku akan jadi sepertimu, Mutiaraku.
Dalam pelarian, Ahad, 12 Maret 2017, 22.42 WIB
No comments:
Post a Comment