Monday, January 13, 2014

Let It Be atau Let It Flow?

“Lebih setuju Let It Be atau Let it Flow?”
Ini untuk kamu yang memilih untuk berhenti berharap. Memilih untuk sadar posisi dan sadar diri. Mencatut kata-kata saya sendiri : sekeras apapun saya berusaha menghilangkan batas, saya tetap tidak bergerak ke mana-mana. Untuk kamu yang sudah cukup puas dengan posisimu sekarang.

Pertanyaan di atas adalah pertanyaan teman saya suatu malam. Lagi-lagi bicara soal hati. Waktu itu teman saya menyarankan saya menulis lagi. Seolah-olah sebelumnya saya sangat rajin menulis. Padahal saya menulis tergantung mood saya. Kemudian dia menyinggung-nyinggung soal galau (aih, galau lagi, galau lagi). Katanya, saya banyak menulis saat saya sedang sering galau sebelumnya.

Sekarang sih, saya lebih suka nyadar diri. Setelah sms si-dia malam itu (sudah agak lama kalau coba diingat-ingat), saya mencoba lebih banyak menahan  diri, lebih banyak mencoba bersikap biasa, dan lebih memosisikan diri tentunya. Apalagi berharap, buang aja deh jauh-jauh.

Ditanya demikian, saya hanya menjawab itu pilihan yang sulit. Karena menurut saya dua frasa itu adalah kondisi yang sebenarnya berdampingan. Saya sih berkaca pada kondisi saya sekarang ini.

Ketika tidak ada yang bisa dilakukan untuk mengubah apa pun, atau lebih tepatnya tidak ingin mengubah apa pun, biarkan saja frasa pertama itu berlaku, Let it be. Yasudahlahya, biarin aja semuanya begini. Mau gimana lagi?

Lalu apa kamu akan baik-baik saja? Iya, lah. Jantungmu nggak akan tiba-tiba berhenti, kan kalau kamu sudah kehabisan harapan soal ini. Ah, masih banyak orang kok di dunia ini. Waktu kamu juga masih banyak. Yah, untuk sekarang, Let it flow ajalah. Biarkan hatimu tetap beresonansi. Biarkan feromonmu tetap bereaksi.

Makanya, Let It Be dan Let It Flow itu tidak bisa dipilih. Adalah sebuah keniscayaan sekaligus konsekuensi ketika kamu memilih untuk tidak mengubah apapun, kamu harus menerima semuanya mengalir dulu. Kalau kata di novel-novel, biarkan waktu yang menjawab. Sekarang urusannya ada pada dirimu sendiri untuk tetap menjaga hatimu, menikmati dulu anugerah Tuhan yang tidak pernah kamu minta itu. Saya sudah memilih dan mencoba menjalankan konsekuensi itu, dan saya baik-baik saja. :)  J

Bagaimana Kalau Nanti...



(*Peringatan : tulisan ini akan beraroma dramatis dan soooo sinetron.)
"Bagaimana kalau teman yang selama ini kamu ceritakan tentang seseorang yang dispesialkan hatimu, ternyata kelak malah berjodoh dengan si-spesial itu?"

Begitu kira-kira selintas pikiran yang disuarakan teman saya suatu ketika, dulu semasa Aliyah. Waktu itu, ah, namanya juga anak SMA (atau Aliyah), lagi masa-masanya ngomongin soal teman cowok. Apalagi sekolah kami berasrama. Setiap hari bertemu, keponya juga maksimal. Komplit deh.
Tradisi anak asrama juga, rahasia urusan hati, akan jadi rahasia anak satu angkatan. Namanya juga tinggal satu 'rumah'. Makan bareng, belajar bareng, main bareng, tidur juga bareng (tentunya perempuan sama perempuan, laki-laki sama laki-laki, ya). Sulit sekali (kalau tidak bisa dibilang mustahil, karena memang ada beberapa orang yang luar biasa tertutup urusan ini) menyimpan cerita itu untuk diri sendiri.
Tapi, meskipun hampir satu angkatan tau, akan selalu ada orang tertentu yang paling mengerti, bukan? Di mana-mana juga begitu. Tidak hanya berlaku untuk anak asrama saja. Selalu ada orang tertentu yang bisa dijadikan tempat curhat, atau partner berbagi cerita. Seorang teman yang bisa tetap terjaga semalaman untuk berbagi cerita. Selalu ada orang tertentu yang menjadi orang pertama yang tahu.
Ah, saya ingat. Saat kelas dua, ada pelajaran Aqidah Akhlaq tentang futuristik. Seluruh siswa ditugaskan membuat peta hidup dari usia nol tahun sampai usia tujuh puluh tahun. Isi peta hidup dari nol tahun sampai usoa kami saat itu adalah momen-momen penting yang telah terjadi di hidup kami. Sementara unuk usia berikutnya berisi tentang rencana-rencana kami ke depannya. Target-target besar kami, cita-cita kami. Termasuk kapan menikah, kapan punya anak, dan rencana-rencana besar lain.
Saya rasa, ini adalah awal mula pembiaraan yang selalu terasa hangat di angkatan. Menikah. Uuu, rasanya terlalu futuristik? Menurut kami tidak. Saat teman-teman di luar sekolah kami membicarakan pacar atau istilah sejenis, kami berbeda. Ini latar belakang mengapa teman saya bisa sampai mengeluarkan statement yang sudah saya tuliskan di awal. Alasan mengapa kata-kata yang keluar bukan jadi seperti ini :
"Bagaimana kalau teman yang selama ini kamu ceritakan tentang seseorang yang dispesialkan hatimu, ternyata kelak malah pacaran dengan si-spesial itu?"
Karena apa yang akan terjadi kalau statement pertama benar-benar terjadi, akan jauh lebih kompleks daripada kalau yang terjadi adalah ketika kata berjodoh itu diganti dengan kata pacaran.
Lalu teman saya itu mulai berasumsi, ketika menikah, pasti banyak hal yang tidak lagi menjadi rahasia, bukan? Anggap sekarang kamu adalah seseorang yang ‘jadi’ dengan orang yang pernah mendapat tempat paling special di hati sahabatmu. Dan bukankah tidak lucu kalau suatu ketika kamu mengatakan pada pasangan seumur hidupmu itu : “Dulu si ini suka sama kamu, loh. Setiap saat dia cerita pasti tentang kamu. Blablabla…”
Mungkin bagi kamu dan pasanganmu itu akan terdengar biasa saja kalau sama-sama mengerti kondisinya, dan sama-sama tidak mempermasalahkan masa lalu. Tapi bagaimana dengan harga diri sahabatmu itu? Atau kamu jadi merasa bersalah berkepanjangan pada sahabatmu. Khawatir sahabatmu itu masih memiliki perasaan yang sama, tetapi merelakan semuanya demi kebahagiaanmu? 
Atau bisa saja terjadi kemungkinan yang lebih parah. Jadi ceritanya ternyata pasangan kamu itu ternyata dulunya juga suka sama sahabat kamu. Everything will still be okay if pasangan kamu bukan tipe orang yang berpikir terlalu dalam tentang masa lalunya itu. Tapi bagaimana kalau yang terjadi adalah pasanganmu itu kembali mengingat-ingat perasaannya? Bagaimana kalau yang terjadi adalah penyesalan-penyesalannya yang menyusul kemudian?
Too far? Memang. Namanya juga berandai-andai. Ini hanya bagian dari pikiran-pikiran liar remaja tanggung yang dilarang pacaran baik oleh agamanya, maupun oleh peraturan sekolahnya.
Ada sih, rasa takut itu dalam diri saya. Saya yang selalu tidak pernah bisa menyimpannya sendirian, dan selalu berapi-api ketika menceritakan pada sahabat saya tentang orang yang saya suka. Atau saya juga punya teman yang sangat bersemangat ketika kami sedang quality time berdua, menceritakan segalanya. Termasuk soal, ehm, cowok. Berbagai kemungkinan bisa saja terjadi di masa depan, bukan? Bisa saja saya kelak menjadi pihak mana pun. Ah, terlalu sulit dibayangkan. Semua kemungkinan yang sudah saya sebutkan bisa saja saya alami atau saya lakukan. Haha.
Tapi, guys, yasudahlahya, masa depan itu toh tetap akan menjadi misteri sampai kita tiba pada waktunya. Kalau kata teman saya sih, ya, nikmati saja masa-masa ketika sensasinya masih kamu rasakan. Atau kalau kata teman saya yang lain bisa saja situasi kamu itu bisa kamu jadikan insiprasi yang membuat kamu semakin produktif. Seperti statement teman saya itu, mungkin sebenarnya bisa diperpanjang lagi dan kalau saya rajin, voila! Jadilah novel drama yang dramatis. Haha.
Atau kamu bisa ikuti tips saya satu ini :
Katakan ini pada sahabatmu : “Nanti, kalau kenyataannya ternyata kamu yang jadi sama dia, tolong buat semua ceritaku ini tetap jadi rahasia, bahkan dari pasanganmu itu.” Dan temanmu bisa mengatakan itu juga padamu. Kalian saling berjanji untuk tetap menjaga. Karena perjanjian ini sudah pernah saya lakukan dengan sahabat saya. Minimal, untuk saat ini saya cukup tenang. ^^v kamu juga bisa mencobanya, kok.


{ Didedikasikan kepada para perempuan tangguh berhati nan cantik, teman-teman seperjuangan di kampus Islami, Prestasi, Mandiri, Foranza Sillnova.
 Terutama untuk sahabat saya yang mengeluarkan statement yang kembali saya jabarkan lagi di sini : Itqi Rahmatul Laila. Tetiba kangen sharing lagi sama kamu, qi :”
Dan saya menulis ini karena tiba-tiba teringat statemen itu setelah sekitar dua hari bersama seorang sahabat baru. AHR. Siapa tahu dia yang ‘jadi’ dengan dia.
Baiklah, daripada semakin melantur, saya cukupkan saja.}

Sekian

Wednesday, January 1, 2014

Jawaban Dari Sebuah Jawaban




Untuk kesekian kalinya aku menulis lagi-lagi soal ini
Ini 2014, men. Dan aku masih terperangkap dalam dunia yang kubuat sendiri. Dalam rasa sakit yang kutoreh sendiri.
Tapi percayalah, teman. Aku bukan orang yang suka mengingat ingat rasa sakit itu. Aku bukan hanya tidak suka. Aku bahkan terkadang tidak mampu mengulang sakit yang pernah kurasakan sendiri. Ini soal mengikhlaskan mungkin. Atau mungkin soal melupakan.
Sebenarnya aku sedang tidak berminat menulis di sini. Tapi kau temanku. Aku tidak akan membiarkanmu terperangkap di dalam rasa bersalahmu kalau itu behubungan dengan aku.
Sila diperiksa kembali kapan aku menuliskan suara hatiku itu. 10 Desember 2013 (kalau tulisan itu yang kau maksud). Itu sudah hampir sebulan. Dan apa peduliku soal kecocokan kalian atau kebersamaan kalian. Karena sekeras apapun aku berusaha menghilangkan batas, aku tetap tidak bergerak kemana-mana (kalau kau mengerti maksudku). Posisi aku sekarang, sudah cukup aku syukuri. Bagaimana posisi orang lain(termasuk kamu) akan aku coba untuk tidak kupedulikan. Tidak kupedulikan bukan dalam arti aku tidak menganggap ada. Tapi menanamkan pada diriku sendiri sebuah konsep. Tahu diri. Aku tahu, aku bukan siapa-siapa.
Soal aku mengeluh saat itu, hanya luapan sesaat. Dan sengaja kubuat analogi supaya tetap berlaku selamanya, tidak kadalurasa. Tidak hanya untuk keadaanku saat itu. Mungkin untuk keadaan jutaan orang di luar sana yang juga merasakan hal serupa. Terlalu terlambat meminta maaf sekarang. Sudah lama kumaafkan. Mungkin sejak aku selesai menuliskan tulisan itu. Atau mungkin aku menyadari kalau itu bukan salahmu. Hanya murni kesalahanku.
Tawaranmu untuk berdamai : aku TOLAK.
Karena kita tidak pernah berperang. Hanya aku. Yang berperang pada diriku sendiri. Mungkin sudah saatnya aku berdamai pada diriku sendiri. Berdamai pada gumaman hatiku, gumaman pikiranku. Tentang semuanya. Termasuk tentang kamu.