(*Peringatan : tulisan ini
akan beraroma dramatis dan soooo sinetron.)
"Bagaimana kalau teman yang selama ini kamu ceritakan tentang seseorang yang dispesialkan hatimu, ternyata kelak malah berjodoh dengan si-spesial itu?"
Begitu kira-kira selintas pikiran
yang disuarakan teman saya suatu ketika, dulu semasa Aliyah. Waktu itu, ah,
namanya juga anak SMA (atau Aliyah), lagi masa-masanya ngomongin soal teman
cowok. Apalagi sekolah kami berasrama. Setiap hari bertemu, keponya juga
maksimal. Komplit deh.
Tradisi anak asrama juga,
rahasia urusan hati, akan jadi rahasia anak satu angkatan. Namanya juga tinggal
satu 'rumah'. Makan bareng, belajar bareng, main bareng, tidur juga bareng
(tentunya perempuan sama perempuan, laki-laki sama laki-laki, ya). Sulit sekali
(kalau tidak bisa dibilang mustahil, karena memang ada beberapa orang yang luar
biasa tertutup urusan ini) menyimpan cerita itu untuk diri sendiri.
Tapi, meskipun hampir satu
angkatan tau, akan selalu ada orang tertentu yang paling mengerti, bukan? Di
mana-mana juga begitu. Tidak hanya berlaku untuk anak asrama saja. Selalu ada
orang tertentu yang bisa dijadikan tempat curhat, atau partner berbagi cerita.
Seorang teman yang bisa tetap terjaga semalaman untuk berbagi cerita. Selalu
ada orang tertentu yang menjadi orang pertama yang tahu.
Ah, saya ingat. Saat kelas
dua, ada pelajaran Aqidah Akhlaq tentang futuristik. Seluruh siswa ditugaskan
membuat peta hidup dari usia nol tahun sampai usia tujuh puluh tahun. Isi peta
hidup dari nol tahun sampai usoa kami saat itu adalah momen-momen penting yang
telah terjadi di hidup kami. Sementara unuk usia berikutnya berisi tentang
rencana-rencana kami ke depannya. Target-target besar kami, cita-cita kami.
Termasuk kapan menikah, kapan punya anak, dan rencana-rencana besar lain.
Saya rasa, ini adalah awal
mula pembiaraan yang selalu terasa hangat di angkatan. Menikah. Uuu, rasanya
terlalu futuristik? Menurut kami tidak. Saat teman-teman di luar sekolah kami
membicarakan pacar atau istilah sejenis, kami berbeda. Ini latar belakang
mengapa teman saya bisa sampai mengeluarkan statement yang sudah saya tuliskan
di awal. Alasan mengapa kata-kata yang keluar bukan jadi seperti ini :
"Bagaimana kalau teman yang selama ini kamu ceritakan tentang seseorang yang dispesialkan hatimu, ternyata kelak malah pacaran dengan si-spesial itu?"
Karena apa yang akan
terjadi kalau statement pertama benar-benar terjadi, akan jauh lebih kompleks
daripada kalau yang terjadi adalah ketika kata berjodoh itu diganti dengan kata
pacaran.
Lalu teman saya itu mulai
berasumsi, ketika menikah, pasti banyak hal yang tidak lagi menjadi rahasia,
bukan? Anggap sekarang kamu adalah seseorang yang ‘jadi’ dengan orang yang
pernah mendapat tempat paling special di hati sahabatmu. Dan bukankah tidak
lucu kalau suatu ketika kamu mengatakan pada pasangan seumur hidupmu itu : “Dulu si ini suka sama
kamu, loh. Setiap saat dia cerita pasti tentang kamu. Blablabla…”
Mungkin bagi kamu dan
pasanganmu itu akan terdengar biasa saja kalau sama-sama mengerti kondisinya,
dan sama-sama tidak mempermasalahkan masa lalu. Tapi bagaimana dengan harga
diri sahabatmu itu? Atau kamu jadi merasa bersalah berkepanjangan pada
sahabatmu. Khawatir sahabatmu itu masih memiliki perasaan yang sama, tetapi
merelakan semuanya demi kebahagiaanmu?
Atau bisa saja terjadi
kemungkinan yang lebih parah. Jadi ceritanya ternyata pasangan kamu itu
ternyata dulunya juga suka sama sahabat kamu. Everything will still be okay if
pasangan kamu bukan tipe orang yang berpikir terlalu dalam tentang masa lalunya
itu. Tapi bagaimana kalau yang terjadi adalah pasanganmu itu kembali
mengingat-ingat perasaannya? Bagaimana kalau yang terjadi adalah
penyesalan-penyesalannya yang menyusul kemudian?
Too far? Memang. Namanya
juga berandai-andai. Ini hanya bagian dari pikiran-pikiran liar remaja tanggung
yang dilarang pacaran baik oleh agamanya, maupun oleh peraturan sekolahnya.
Ada sih, rasa takut itu
dalam diri saya. Saya yang selalu tidak pernah bisa menyimpannya sendirian, dan
selalu berapi-api ketika menceritakan pada sahabat saya tentang orang yang saya
suka. Atau saya juga punya teman yang sangat bersemangat ketika kami
sedang quality time berdua, menceritakan segalanya. Termasuk soal, ehm, cowok.
Berbagai kemungkinan bisa saja terjadi di masa depan, bukan? Bisa saja saya
kelak menjadi pihak mana pun. Ah, terlalu sulit dibayangkan. Semua kemungkinan
yang sudah saya sebutkan bisa saja saya alami atau saya lakukan. Haha.
Tapi, guys, yasudahlahya,
masa depan itu toh tetap akan menjadi misteri sampai kita tiba pada waktunya.
Kalau kata teman saya sih, ya, nikmati saja masa-masa ketika sensasinya masih
kamu rasakan. Atau kalau kata teman saya yang lain bisa saja situasi kamu itu
bisa kamu jadikan insiprasi yang membuat kamu semakin produktif. Seperti
statement teman saya itu, mungkin sebenarnya bisa diperpanjang lagi dan kalau
saya rajin, voila! Jadilah novel drama yang dramatis. Haha.
Atau kamu bisa ikuti tips
saya satu ini :
Katakan ini pada sahabatmu
: “Nanti, kalau kenyataannya
ternyata kamu yang jadi sama dia, tolong buat semua ceritaku ini tetap jadi
rahasia, bahkan dari pasanganmu itu.” Dan temanmu bisa mengatakan itu juga
padamu. Kalian saling berjanji untuk tetap menjaga. Karena perjanjian ini sudah
pernah saya lakukan dengan sahabat saya. Minimal, untuk saat ini saya cukup
tenang. ^^v kamu juga bisa mencobanya, kok.
{ Didedikasikan kepada para perempuan tangguh berhati nan cantik,
teman-teman seperjuangan di kampus Islami, Prestasi, Mandiri, Foranza Sillnova.
Terutama untuk sahabat saya yang mengeluarkan
statement yang kembali saya jabarkan lagi di sini : Itqi Rahmatul Laila. Tetiba
kangen sharing lagi sama kamu, qi :”
Dan saya menulis ini
karena tiba-tiba teringat statemen itu setelah sekitar dua hari bersama seorang
sahabat baru. AHR. Siapa tahu dia yang ‘jadi’ dengan dia.
Baiklah, daripada semakin
melantur, saya cukupkan saja.}
Sekian
No comments:
Post a Comment