Thursday, October 31, 2019

Cerita Tentang Waktu yang Lalu

Mari bercerita tentang apa yang kita rasa di waktu yang lalu
Tentang puisi-puisi yang pernah tertulis di atas kertas-kertas sisa
Maupun puisi yang hanya sampai pada pikiran-pikiran nyalang tengah malam
Mari kita cerita tentang waktu yang dulu

Pada pesan-pesan yang tidak sampai langsung pada gawai kita
Pada isyarat yang hanya terbang melayang di belantara maya
Pada senyum yang tersembunyi di balik layar satu sama lain

Waktu memang telah berlalu, kita mendewasa
Kita pernah begitu muda dan tergila-gila
Tanpa tahu cara menyampaikan rasa
Dalam diam yang kita jaga masing-masing

Waktu telah berlalu dan kita mendewasa
Kita bercerita bukan untuk saling kembali
Aku bersyukur kita tidak menemukan jalan pada satu sama lain
Menyelamatkan kita dari kegilaan masa muda

Waktu telah berlalu dan kita mendewasa
Dari masa lalu kita belajar
Bahwa saling merasa, belum tentu bisa saling menemukan
Terima kasih atas segenggam bunga yang telah kau mekarkan di hatiku

Meski waktu telah berlalu dan kita mendewasa
Mari kita bercerita tentang waktu yang lalu

Tuesday, October 29, 2019

Buah Tangan

Dari tas selempang yang dititipkan, kita bertemu
Dan pada guliran piring di atas meja makan, aku terhenti dari pusaranku
Lalu pada setangkap gambar, aku terpikat
Dan pada bayangan yang jatuh diujung kakiku, aku terbiasa
Aku tahu ini hanya akan menjadi rasa yang selewat
Yang gugur setangkai setangkai bersama hari hari yang berlalu pasca perpisahan
Lalu kisah ini abadi pada aksara
Menjadi buah tangan sebuah perjalanan singkat
Sesingkat waktu gugurnya

Monday, October 14, 2019

Akhir Tahun Ketiga

Awal tahun 2018 adalah masa-masa skip kehadiran pada pencapaian-pencapaian teman-temanku. Waktu itu aku sedang mengikuti sebuah camp selama 3 pekan dan harus melewatkan sidang-sidang skripsi teman-temanku. Terutama teman-teman yang selama setahun ke belakang saatu itu selalu bersamaku dalam kerja-kerja organisasi. Aku menuliskan tentang itu di sini

Sedih? Pasti. Tapi saat itu aku sudah melihat bahwa itu hanya awal dari fase dewasa yang sebenarnya. Ketika kita tidak lagi punya kesempatan untuk menghadiri saat-saat bahagia teman-teman dari masa lalu. Bukan karena tidak lagi berteman. Karena kita sudah punya kehidupan sendiri yang bisa jadi jauh berbeda ketukan tempo. Mereka menjejak saat kita sedang terawang. Kau mengerti kan maksudku?

Akhir tahun 2018 juga aku banyak melewatkan milestone berikutnya. Pernikahan. Berapa banyak undangan yang harus berbalas kata maaf dariku. Berapa banyak foto bersama yang tidak kuhadiri. Dari yang lokasinya jauh, sampai yang lokasinya dekat. Saat itu jadwalku sangat bergantung pada jadwal orang yang kutemani

Kecewa? Jangan tanya. Tapi begitulah prioritas membawa kita pada pilihan sulit.

Akhir 2019, aku mendapati sebuah undangan pernikahan dan kembali teringat pada akhir tahun-akhir tahun dua tahun terakhir.

Maka sekali lagi aku harus katakan, berbahagialah. Jika raga tidak bisa tersampaikan hadir pada hari bahagiamu, semoga doa-doa yang kuutus cukup kuat untuk menembus langit. Doa-doa atas kebahagiaanmu dan atas nama persahabatan.

Tertanda,
Iffah
Newbie adult

Wednesday, September 18, 2019

Dua Tahun Abin

"Kamu nggak capek, Bin? Ini udah mau dua tahun and you keep telling the same story."
Yang ditanya cuma tertawa kecil.

"Dan ini nggak kayak kamu yang biasanya. Aku kenal kamu dari zaman maba dan kamu nggak pernah menceritakan orang yang sama lebih dari tiga bulan." Abin cuma melirik.

"Oke, ada sih yang sampai setengah tahun. Tapi kan cuma sekali." Disa meralat pernyataannya.

"Dis, you know me. Aku akan move on pada waktunya kok."

"Tapi Bin, kamu pernah kepikiran nggak sih, kenapa nggak kamu perjuangkan aja instead of kamu nungguin saat yang tepat untuk move on?"

Hening.

"No, thank you. That's so not me."

Disa memandang Abin prihatin.
"Don't look at me that way. Aku bahagia kok. Dan aku yakin akan datang waktunya aku akan sempurna."

Disa mengenang obrolannya dengan Abin sebulan yang lalu. Dan begitulah rencana yang telah disetting untuk Abin. Disa hanya mampu memandang kagum pada kekuatan Abin yang tidak pernah dia sangka.

Di sinilah Disa sekarang, di dalam ruang rias pengantin, sesaat setelah terdengar kalimat "Saya terima nikahnya Abin Syamsa dengan maskawin tersebut, tunai." Mengalir air mata Disa dengan kebahagiaan yang membuncah. Sahabat mana yang tidak bahagia.

"Disa, aku yang akad kok kamu yang nangis? Tenang, habis ini kamu kok!" Goda Abin jenaka.

"Aku kira, Gaza hanya akan jadi cerita tiga bulan kamu seperti cerita-cerita yang lain."

Disa mengiringi Abin memasuki ruang akad, menuju seorang laki-laki yang namanya tidak pernah absen dari cerita Abin dua tahun terakhir ini.

Seminggu setelah pertemuan Disa dan Abin sebulan yang lalu, Disa mendapati chat whatsapp dari Abin.

"Disa, bisa bantu aku menyiapkan akad dan resepsi sederhana tiga pekan lagi?"

"Hah! Mendadak banget. Siapa yang mau nikah emang?"

"Aku,"

"Demi apa?! Sama siapa?!"

"Gaza, Dis..."

"Aku ke rumah kamu sekarang! Dan kamu harus cerita selengkap-lengkapnya. Jangan ada yang ketinggalan. Tunggu!" Saat itu juga Disa tancap gas ke rumah Abin.

Disa tidak pernah mengenal Gaza secara personal. Hanya tahu dari cerita-cerita Abin dan foto-foto instagram yang ditunjukkan oleh Abin.

Disa juga tidak pernah menyangka bahwa seorang Abin yang mudah jatuh hati, akan bertahan demikian lama pada satu nama saja. Mungkin, dua tahun kemarin adalah training bagi Abin untuk mencintai satu orang saja sepanjang sisa hidupnya.

Belakangan, Disa menyadari bahwa Abin benar. Ia tidak perlu memperjuangkan Gaza. Karena yang benar-benar mencintainya akan memperjuangkannya. Itu yang selama dua tahun ini tidak Abin ketahui. Bahwa sebenarnya Gaza tengah memperjuangkan Abin. Tanpa perlu cara-cara sok romantis menjanjikan harapan. Tanpa perlu kata-kata manis melambungkan rasa. Hanya perlu waktu untuk sampai pada langkah nyata.

"Makasih ya Dis. Udah jadi temen aku yang paliiing ngerti." Disa mengangguk dan melepaskan gandengan tangannya. Seolah melepas kepergian Abin untuk selamanya. "Aku tetep Abin yang sama kok. Kita tetap sahabat kok."

Disa menyeka sedikit air matanya. Tersenyum lebar pada Abin. "Selamat ya, Bin."

Tuesday, September 17, 2019

Pengalaman Rasa

Sebodoh apa pun sebuah masa lalu, sememalukan apa pun, aku tidak akan menghapus bukti-bukti aksaranya. Karena bagiku, ia adalah pengalaman rasa yang membuatku kaya. Aku tidak menyesal dan aku harap tidak akan pernah menyesal. Sesakit apa pun sebuah akhir, kelak aku pasti akan melupakan rasanya. Tetapi tulisan akan kekal dan hanya menyisakan rasa yang ingin disisakan. Bahwa aku pernah melewati itu semua, meski bukan pencapaian hidup, ia adalah bagian dari pendewasaan.

Setiap pengalaman rasa punya ceritanya masing-masing. Maka semenyesakkan apa pun saat ini, aku yakin, ini akan hanya menjadi cerita. Menghiasi dan memperkaya baris-baris aksara. Kamu bisa baca semuanya. Tanpa perlu ada yang dihapus. Karena aku tidak pernah menyesali itu semua.

Tuesday, September 3, 2019

Ilham

Telah diilhamkan padaku sebuah tanda Bahwa aku kepadamu akan berujung pada perelaan
Sudah kukokohkan berdiriku sejak sekarang
Dan kukeraskan air mukaku supaya terlatih
Dan kutunggu kabar nyata darimu
Dan semoga aku benar mampu
Seperti kabar-kabar terdahulu yang hampir menghancurkanku

Tuesday, April 2, 2019

Buntu

Sesak ini menyumbat semua inspirasi. Padahal aku sebelumnya terbiasa merangkai aksara di sela nafas panjang yang berusaha diatur. Tapi kali ini aku bisu. Pikiranku bisu. Jemariku bisu. Tapi hatiku mengeja namamu. Sekuat tenaga berusaha kutumpahkan supaya tidak jadi toksin, gagal.

Buntu. Tak ada satupun kata yang mampu terangkai. Seolah kanvas yang kugunakan menolak tertuliskan namamu. Seolah cerita yang ingin kutenun menolak mengikuti detail tentangmu. Jangankan nama, sifat yang paling tidak mencolok pun, gagal kuperdengarkan. Hatiku berbicara sendiri. Pikiran tidak sudi mendengar. Apalagi panca indera. Semakin sesak.

Seolah semeseta menolak aku menuliskan tentangmu. Padahal aku pernah menulis tentang banyak persona sebelumnya. Tentang mereka yang pernah masuk ke dalam hidupku untuk kemudian pergi lagi. Tentang mereka yang pernah memekarkan bunga dalam mimpi indahku.

Tapi, ternyata seperti ini pun cukup. Ternyata semesta belum tahu kalau aku masih punya cara ini untuk menceritakanmu. Meski sedikit. Tapi masih sesak. Nafas saja masih satu-satu.

Buntu, seperti jalanku menujumu.

Friday, March 8, 2019

Kata

Kalo kata sarah, nggak usah move on kalo emang belum mau. Iya sih, itu prinsip aku dari dulu. Aku berhenti kapanpun aku mau. Karena itu nggak berpengaruh terhadap siapa pun. Tapi aku bukannya nggak mau. Mau mah mau banget. Tapi kok makin usaha, makin sakit.

Kalo kata sarah lagi, bersaing aja dengan sehat. Aku bahkan nggak tau bersaing dengan siapa. Tapi aku tau, aku udah kalah. Lagian itu bukan aku banget. Bersaing-bersaing. Bukannya karena aku nggak kompetitif atau takut kalah. Ya gimana. Belum belum udah kalah. Lagian ini bukan soal persaingan. Ini soal mean to be dan doesn't mean to be.

Heran. Urusan kayak beginian kan remeh banget. Di dunia ini banyak masalah besar yang bisa dipikirin, tapi mikirin diri sendiri aja gak selesai-selesai. Egois amat.

Tapi ya gimana mau mikirin negara apalagi bumi yang katanya sudah penuh dengan sampah plastik, makanya ada kampanye anti sedotan plastik. Mikirin dan ngurus satu orang aja gak bener. Diri sendiri.

Dulu aku punya tagline "dua bulan". Temen-temen deket di kampus dulu, tau apa maksudnya. Eh ini sekarang udah hampir setahun. Ga ada tanda-tanda mau kelar. Iya, nantangin sih soalnya. Ga siap pergi jadinya.

Jadi ibarat kata nih kayak lagi nginep di hotel. Kan udah rapi-rapi. Baju-baju udah masuk koper lagi. Udah mandi juga, udah rapi tinggal pergi aja. Tp masih guling-guling di kasur. Masih leyeh-leyeh. Eh tiba-tiba dipaksa keluar karena waktunya udah abis. Secara persiapan sih udah lama siap pergi. Tapi hati ga siap. Lagi nyaman-nyamannya kok. Semua dilempar keluar. Ya emang mau pergi juga pasti. Tapi ga siap pergi secepet ini. Gitu aja. Terus masih berdiri diam depan pintu. Pengen banget balik lagi, ngetok-ngetok mohon-mohon. Tp ga punya uang juga buat perpanjang masa tinggal. Kemaren aja dapetnya promo. Padahal mah pergi tinggal pergi. Karena tau sejak awal itu kamar hotel bukan tujuan akhir. Tempat transit aja lah.

Eh terus tiba-tiba Muhammad ngirimin kaligrafi tulisan al quran. Arra'd ayat 28. Kan kayak disindir gitu aku. Galau karena kurang iman nih. Aduh...

Eh terus tiba-tiba sarah ngirimin link lagu. Judulnya let her go. Dari passenger. Eh tapi dia ganti liriknya jadi let him go. Yah, kan yang go aku. Bukan him. Tapi kenapa liriknya pas banget. Kan jadi sebel. Apalagi di bagian. Only know you've been high when you feeling low. Sama bagian well you see her when you fall asleep, but never to touch never to keep, cos you love her too much and dive too deep. Sama bagian hoping one day you make a dream last, but dreams come slow and they go so fast.

Eh terus jadi inget kata-kata yang kata sarah pernah dipake buat negur dia. Hati-hati, itu ambisi. Hhhh... Aku lelah sama diriku sendiri.

Pertama

Kali ini, untuk pertama kalinya sepanjang yang dia mampu ingat, ia tidak punya kekuatan untuk keluar dari pusaran yang ia buat sendiri.

Kali ini, untuk pertama kalinya ia tak mampu mengangkat kakinya untuk pergi. Meski semua sudah rapi dikemas.

Kali ini, untuk pertama kalinya, ia menangis ingin dicegah, tanpa mampu mengatakan keinginannya. Padahal logikanya mengatakan ia harus pergi.

Kali ini, untuk pertama kalinya ia menyadari kebodohan-kebodohannya. Tentang dongeng-dongeng yang ia ciptakan sendiri di kepalanya.

Kali ini, untuk pertama kalinya dalan hidupnya, ia menyesal karena telah jatuh cinta pada seseorang.