Monday, March 27, 2017

Nyasar

Sebagai seorang Judging (Karakter J pada ESFJ), nyasar bukanlah hal favorit bagiku. Bahkan sesepele nyasar di tempat parkir yang baru pertama kali kumasuki adalah hal yang sebisa mungkin diantisipasi. Judging adalah kecenderungan karakter untuk sticked pada plan. Prefer mempersiapkan segala sesuatu (sebisa mungkin) dengan cermat daripada harus bersikap fleksibel terhadap kemungkinan yang akan dihadapi di depan. Being flexible with plan is so not me.

Sejak dibolehkan bawa motor sendiri ke mana-mana awal tahun 2014, aku punya cita-cita untuk menyusuri jalanan Jakarta by motor. Dikendarai sendiri tentunya, bukan by grab/gojek. Itulah salah satu yang memotivasi aku untuk punya SIM segera meskipun akhirnya baru terwujud di awal tahun 2016. Hmm. Jadi selama dua tahun bawa motor nggak punya SIM? Hehe. Tidak untuk ditiru

Tapi, karena ketakutan (yang berkaitan dengan karakter Judging) ditambah sedikit faktor kesibukan, sampai sekarang cita-cita mulia(?) itu belum dapat terwujud. Yah, paling jauh cuma berani sampai Pasar Rebo. Selebihnya cuma menyusuri Jalan Pasar Minggu Raya, Jalan Lenteng Agung, hingga UI setiap hari sampai mabok. Sampai-sampai, saking hafalnya, kadang kalo lagi error, suka nggak sadar tiba-tiba udah sampe Mampang lagi aja.

Tapi siang kemarin berbeda.

Aku justru menyasarkan diri sampai ke Jatinegara tanpa sekali pun melihat Maps. Sepulang DS di Tanah Tinggi, aku mencoba-coba jalan pulang hanya mengandalkan papan petunjuk arah dan rambu-rambu lalu lintas. Yang seharusnya di Salemba aku belok kanan, aku ketinggalan belokan sehingga akhirnya memutuskan lurus. Sampai Kampung Melayu, aku belum juga berani mengambil belokan. Akhirnya sampailah aku di Jatinegara. Hampir saja aku lurus terus sampai ke Bekasi seandainya aku tidak melihat motor sebelumku putar balik ke arah Pusat Batu Akik. Intinya aku mencari jalan menuju Cawang. Karena kalau sudah sampai Cawang, aku sudah tahu jalan tanpa harus melihat papan petunjuk arah.

Nggak murni nyasar juga sebenarnya. Nyasar di Jakarta tuh masih gampang nyari jalan balik. Banyak papan petunjuk arah yang cukup bisa memandu pengendara sampai ke tujuan asal tahu nama daerah sedikit-sedikit. Seenggaknya aku jadi tahu di mana itu riilnya Stasiun Jatinegara. Selama ini cuma tahu dari peta rute KRL. Jadi tahu juga bahwa jalan di sisi Inner Ring Road dari Cawang sampai Pancoran itu macetnya luar biasa sama mobil-mobil besar maupun kecil. Jadi tahu tembusan jalan lewat Pengadegan dari Cawang sampai ke stasiun Kalibata.

Intinya, nyasar kali ini disponsori oleh Cita-cita yang tertunda. Yah, walaupun belum bisa merepresentasi #ExploreJakarta yang kucita-citakan, alhamdulillah bisa nambah rute sedikiiiit sekali daerah Jakarta Timur. Next time, mau banget nyasar di daerah Jakarta Utara. Tapi katanya serem karena banyak truk besar ya? 

Jadi, kamu mau #ExploreJakarta dan nyasar bareng aku? Aku tunggu >.<
Mampang Prapatan, Senin, H-61 Ramadhan 1438 H, 11.55 WIB

Wednesday, March 22, 2017

Tamu Bapak (3)

Aku memutuskan beranjak dari ruangan kajian saat sesi tanya jawab. Rasanya semua yang disampaikan pemateri di depan tidak ada yang tertinggal di kepalaku. Tidak, aku tidak mungkin pergi dari tempat ini sekarang. Setelah ini masih harus ada evaluasi pelaksanaan. Aku hanya pergi ke kamar mandi untuk membasuh sedikit wajah yang mulai penat ini.

"Bapak tahu kamu tahu siapa yang datang tadi." kalimat itulah yang meluncur pertama kali dari mulut Bapak malam itu, saat aku sudah duduk bergabung bersama Ibu dan Bapak. Malam ketika aku harus menunggu beberapa puluh menit di pos kamling yang tidak terlalu ramai itu.

"Iya, Pak. Tadi Adek lihat motornya dan lihat ketika beliau keluar dari rumah. Bapak kenal beliau?" jawabku sambil mencoba menata ekspresi dan intonasi.

"Ya, Bapak kenal. Sejak tadi maghrib." jawab Bapak singkat.

Tapi ternyata kalimat Bapak belum selesai, "Orangnya seperti apa menurut kamu?"

Aku diam sebentar, "Beliau orang yang baik, Pak. Seorang yang kalau sudah berazzam, azzamnya itu akan ia perjuangkan dengan sungguh-sungguh. Hanya itu yang Adek tahu, Pak."

Selanjutnya pembicaraan antara aku, Bapak, dan Ibu hanyalah seputar rencanaku ke depan. Kuliahku, aktivitasku, dan beberapa rencana lain di luar kedua hal itu. Obrolan biasa saja yang sudah sering kami bicarakan juga bertiga.

"Dek, jangan telat nanti pulangnya." Begitu pesan Mas Rodhi sebelum aku berangkat tadi pagi.

Setelah berwudhu dan shalat dua rakaat, aku tidak kembali ke tempat kajian.

"Rahmi, lagi puasa nggak?" Syayma tiba-tiba datang dan duduk di sampingku yang masih dalam posisi seperti duduk tasyahud akhir. Aku cuma menggeleng.

"Hayuk beli puding coklat dingin di depan!" Tiba-tiba ia berseru dan menarik tanganku dengan semangat.

"Jadi kamu disuruh pulang cepat? Yaudah, nanti habis eval kamu pulang aja. Biar nanti tahsin aku yang sampaikan izin ke Ustazah." kata Syayma setelah kami membeli puding dan memakannya di teras masjid.

"Sebenarnya bukan itu sih masalahnya. Tapi aku justru jadi nggak mau pulang."

"Kenapa?"

"Nggak tahu. Ada perasaan nggak enak, takut, dan ada dugaan-dugaan yang muncul di benak aku tapi aku nggak mau menduga-duga."

"Kamu udah lama nih nggak cerita sama aku. Pasti udah banyak cerita yang aku lewatkan."

"Iya, sih, Ma..." aku berhenti, menimbang akan melanjutkan kalimat atau tidak. "Tapi aku kayaknya belum bisa cerita sekarang."

Syayma tertawa. Geli sekali. Aku bahkan tidak tahu letak lucunya di mana.

"Kamu kayak bukan sama Syayma aja. Nggak usah kaku gitu lah. Nih lihat jidat kamu berkerut. Muka kamu tegang. Lemesin, lemesin. Jelek tau." ah, Syayma selalu tahu bagaimana harus memperlakukan aku.

Selanjutnya, pagi tanggung menjelang siang itu, kami hanya duduk di teras dalam diam. Berkutat dengan puding coklat dan pikiran masing-masing, menunggu azan zuhur.

"Mi..."

"Hm..."

"Kamu kalo ada yang ngelamar, kabarin aku ya." Aku hanya menjawabnya dengan tawa tanpa minat. Setidaknya, sekarang aku lebih siap pulang ke rumah meskipun aku tidak menceritakan apapun ke Syayma.
Mampang Prapatan, Rabu, 22 Maret 2017, 13.17 WIB

Thursday, March 16, 2017

Tamu Bapak (2)

Bapak | Gambar diambil dari sini
"Dek, besok kamu pergi?" Setelah makan malam, tiba-tiba Bapak bertanya padaku tidak biasanya. Karena defaultnya, apapun kegiatannya, setiap hari aku pasti pergi pagi kecuali hari Ahad. Ah, akhir-akhir terlalu  banyak sikap Bapak yang tidak seperti biasanya.

Pulang

Gemintang | gambar diambil dari sini
Hai gemintang
Bantu aku mencari jalan pulang
Tempat seharusnya aku berada dulu dan sekarang
Tempat yang maknanya tidak akan lekang

Tiada aku pernah menyesal
Pernah memilih untuk tidak tinggal
Meski harus kukembali karena aral
Sudah saatnya kuingat dari mana berasal

Kita lupakan saja kemarin lalu
Tentang semua perjalananku semu
Tentang dua garis hidup yang ternyata tiada temu
Tentang aku dan egoku yang akhirnya bisu

Wahai ambang batas
Kokoh berdirimu bahkan tak beriku waktu berkemas
Dingin dan kekejamanmu sebab kumenyerah lepas
Kuputuskan buang semua lampias tidak puas

Mundur adalah satu-satunya pilihan
Lebih baik daripada meratapi kebuntuan
Apalagi berdiam di hujung hantaran
Memeluk lutut bergantung pada harapan

Gemintang, lekas antar aku kembali
Supaya ia tidak terlalu lama menanti

Mampang Prapatan, Kamis, 16 Maret 2017, 00.24 WIB
Sesaat setelah sadar, bahwa dinding di hadapan terlalu kokoh untuk diluruhkan. Maka meniti jalan kembali adalah satu-satunya kemungkinan. Semoga berkenan.

Tuesday, March 14, 2017

Tenang

"Jadilah tenang. Karena menjadi lupa sudah tidak mungkin rasanya.
Jadilah tenang. Karena hati yang terlanjur mengenal tidak bisa dengan mudah kembali dari nol."
3 Januari 2017, 22.33 WIB
Saat badai menyurut. Tapi kini harus menghadapi badai yang lebih ganas menggilas semua tanggul ketenangan

Sunday, March 12, 2017

Diam

Dia bilang diam saja. Aku penasaran bagaimana caranya melampiaskan kekesalannya, kemarahannya. Aku tahu kami sama-sama marah. Tapi mengapa ia dapat dengan tenang mengatakan, "Diam saja. Sudah, diam saja."

Saturday, March 11, 2017

Kau dan Malam Ini

Malam ini panjang sekali rasanya. Rupa-rupa emosi seperti teraduk-aduk dalam diri ini. Tersakiti dan merasa menyakiti. Ada ego yang meninggi, ada harga diri yang terjerembab.

Malam ini sulit sekali rasanya. Berjalan tertatih. Melihat mengerjap kabur kabur. Bernafas sesak satu satu. Terpejam pun tak kuasa dipaksa. Duduk maupun berdiri semua rasanya salah.

Malam ini rasanya seperti ada yang mau tumpah. Rindu rindu meruah. Terbayang wajah-wajah lelah mungkin juga memendam amarah. Entah pada siapa. Salah satunya pasti padaku.

Malam ini rasanya seperti aku bodoh sekali. Menjadi orang yang paling tidak peka lagi bergengsi tinggi. Hati mengeras tanpa sedikit pun mencoba peduli. Mata terpejam tanpa usaha melihat realita hidup ini.

Tiba-tiba rindu. Pada wajah-wajah itu. Ingin memeluk saat ini juga dalam temu temu haru. Membisik kata-kata indah. Membisik maaf maaf. Membisik ucapan terima kasih. Ah harusnya kuteriakkan saja semuanya.

Tapi aku ini tidak pandai menunjukkan afeksi. Aku pula tidak bisa bertutur lembut. Menghibur menguatkan mendukung membesarkan hati. Aku ini tidak pandai membaca rasa. Tapi seringnya ingin dimengerti. Ah, betapa jahil.

Malam ini seharusnya aku mengerti banyak hal. Seharusnya bisa mengungkapkan banyak hal. Merendahkan hati, meninggikan diri. Bukan sebaliknya.

Maafkan diri yang lemah ini

Rumah, Sabtu, 11 Maret 2017, 23.31 WIB
Tak kan lagi ada rasa bosan, kupastikan, kuyakinkan. Untukmu. Hanya untukmu. Seandainya mampu kutulis namamu di sini...

Tarian Renjana

Aku menari bersama hujan
Gerimis deras apa peduliku
Memeluk diri memejam erat
Tertawa tersenyum seperti gila

Seketika menjelma balerina
Berdansa bersama riuh tirta
Yang turun dari kelabu mendung
Berputar tanpa takut limbung

Mengayun mengikuti alun
Denting yang berdentang
Aku hanyut aku lebur
Bersatu dengan renjana yang kian kabur

Sebelum cita menjelma samsara
Kupatri semua kuhirup kuresap
Masih bersama hujan yang setia
Masih bersama dentingmu semasa

Mari berbasah bersama

Mampang Prapatan, Sabtu, 11 Maret 2017
Bersama hujan

Friday, March 10, 2017

Tenggelam

Lautmu begitu luas

Dan aku tersesat
Di atas hamparan tanpa tepi

Lautmu begitu dalam
Dan aku tenggelam
Di dalam penyelaman tanpa dasar

Gelap
Sesak

Tapi kau
Teganya
Telah berlari ke gunung
Setinggi-tinggi
Aku tenggelam

10 Maret 2017
Only You can pull me up

Thursday, March 9, 2017

Di Atas Sampan Kayu

Di Atas Sampan Kayu

Di tengah laut lepas
Terombang-ambing
Kembali sudah jauh
Tujuan belum terlihat

Ilusi kanan-kiri
Menggoda
Melambai-lambai
Didekati hilang lenyap

Di atas sampan kayu
Yang kurakit sendiri
Kubolongi sendiri, bocor
Kutambal sendiri, tak sempurna

Merapal doa-doa
Sekali dua memejam erat-erat
Supaya godaan tak terlihat
Tapi juga karena takut

Itukah?
Atau itu juga ilusi?
Di situ kah?
Harap sudah kutenggelamkan
Mungkin sudah sampai dasar

Tapi muncul lagi ke permukaan
Hilang-timbul
Ditelan-dimuntahkan ombak
Kugenggam saja, kupeluk

Di atas sampan kayu
Sendiri aku
Ketakutan, kebingungan
Masih terombang-ambing

Mampang Prapatan, Kamis, 9 Maret 2017, 22.15 WIB

Tuesday, March 7, 2017

Aa'

Nenek terobsesi sama Aa'
Adek terobsesi sama Aa'
Sedikit-sedikit, "Aa' nya mana?"
Girang dikit, "Cie, Aa' ya?"
Lain waktu, "Dijemput Aa' ya?"

Atuhlah cuma gara-gara ngomong "Atuh", "mah", sama "punten" aja awalnya. Padahal sesering ngomong "monggo" sama "ndak" juga.

Atuhlah ke mana-mana juga enakan motoran sendiri. Keuntungannya, naik motor tuh nggak macet. Keuntungannya, bawa sendiri tuh nggak pegel dan masuk angin. Pengalaman dibonceng orang, sampe tujuan malah masuk angin.

Lagian...

Siapa pulak Aa' tu...

Dah lah, capek hamba dengarnya




A' dicari nenek tu.

Mampang Prapatan, Selasa, 7 Maret 2017, 21.48 WIB
Dengan penuh gregetan

Monday, March 6, 2017

Mutasi

Kata yang dulu mainstream dibicarakan setiap sudah menetap beberapa tahun di suatu kota. Dari Palu, pindah ke Pekalongan, lalu pindah ke Banjarmasin. Begitulah Abi harus memenuhi tugasnya di Ditjen Perbendaharaan. Otomatis, kami sekeluarga harus ikut Abi pindah.

Abi pertama kali ditempatkan di Palu, Sulawesi Tengah. Aku belum lahir. Tapi karena aku anak pertama sekaligus cucu pertama, Ummi memutuskan untuk melahirkan di Jakarta, kampung halamannya. Sejak bayi sampai TK, aku hidup di Palu. Meskipun nggak banyak yang kuingat.

Mutasi pertama Abi jatuh pada sebuah kota (sedikit) besar di sisi Utara Pulau Jawa, Pekalongan. Dan kota ini, selalu jadi kota yang paling berkesan bagi kami, terutama aku sendiri. 6 masa kanak-kanak kuhabiskan di sini. Pertama mengenal banyak hal, salah satunya persahabatan.

Menjadi keluarga nomaden bukanlah hal yang mudah. Setiap pindah, harus menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, tidak boleh punya rencana menetap, harus siap kapan saja harus kembali pindah. Harus siap kapan saja harus berpisah dengan teman-teman.

Pertengahan tahun 2006, pertama kalinya aku mengetahui kata mutasi. Dan pertama kalinya harus merasakan beratnya bersiap berpisah dengan teman-teman, guru-guru, dan tetangga. Abi pindah duluan ke Banjarmasin. Aku, Ummi, tiga adikku, dan satu bayi di perut Ummi, masih menetap di Pekalongan sampai semester berakhir. Awal tahun 2007, setelah adik terakhir lahir, semua pindah ke Banjarmasin. Kecuali aku.

Aku ikut Nenek dan Kakek di Jakarta, melanjutkan semester terakhir SD, sampai menyelesaikan MTs. Meskipun biasa, mutasi tetap bukanlah hal yang mudah bagi kami.

Sampai akhirnya Abi melihat peluang supaya tidak lagi dimutasi. Pindah jobdesc. Apalah istilahnya, aku nggak terlalu paham istilah kementerian. Jadi semacam jurnalis yang membuat Abi harus menetap di kantor pusat Direktorat Jenderal Perbendaharaan. Kami akhirnya sama-sama menetap di Jakarta sampai sekarang.

Aku lupa tahun berapa, Abi kembali mencoba kesempatan yang lebih baik untuk pekerjaannya. Widyaiswara BPPK menjadi salah satu tujuannya menyelesaikan S2. Sebab, salah satu kantor BPPK ada yang bertempat di Magelang, kampung halaman Abi. Kami mulai menyusun timeline. Nanti, kalau Abi sudah punya posisi yang lebih meyakinkan (setelah lulus S3), kami akan pindah ke Magelang sebagai tujuan akhir kami.

Abi sudah bisa membeli mobil. Sudah mulai mencicil tanah di Magelang. Dan dalam waktu dekat akan mulai mencicil bangunan rumah. Kami sangat yakin, lima tahun ke depan, kira-kira semua akan selesai dan kami bisa pindah ke Magelang. Paling tidak, aku sudah selesai S1 juga. Kami sudah mulai membiasakan diri tentang fakta bahwa Jakarta-Magelang bukanlah jarak yang sangat jauh untuk ditempuh bolak-balik. Bersyukur juga sekarang sudah ada Tol Cipali yang disambung Tol Brebes sehingga kami sering memanfaatkannya untuk pergi ke Magelang saat weekend, dan kembali ke Jakarta di weekend yang sama.

Kami akan punya rumah sendiri. Milik keluarga kami sendiri. Kami akan punya kehidupan yang lebih mapan dan menetap. Kami sudah bersepakat.  Lagipula, kami rasa juga masih cukup lama. Lima tahun lagi. Mungkin aku sudah menikah terlebih dahulu. Mungkin aku nantinya menetap di Ibukota dan menjadikan Magelang sebagai tujuan pulang kampungku. Mungkin.

Tapi tiba-tiba, isu itu datang berhembus sayup. Isu yang terakhir kudengar sekitar 11 tahun yang lalu. Mutasi. Jauh lebih cepat dari estimasi waktu kami. Rumah belum dibangun. Mobil dan tanah belum lunas. Apalagi aku belum lulus S1. Apalagi lagi, aku masih sangat nyaman berada di Ibukota, meskipun dengan semua dinamikanya.

Mutasi. Kata yang bukannya traumatik bagi kami. Hanya saja kata itu sedikit mengganggu kemapanan kami. Tetangga, sahabat-sahabat, keluarga. Meskipun kami sudah bersepakat tidak akan selamanya menetap di Jakarta, tetap saja mutasi menjadi hal yang merusak timeline kami. Mengganggu rencana kami. Dan mungkin juga rencanaku.

Kami  bahkan belum tahu Abi akan dimutasi ke mana kali ini. Meskipun Abi sangat yakin akan ditempatkan di Magelang. Dan meskipun masih isu, Abi yakin akan segera terealisasi. Kami, terutama aku dan adik-adikku, masih belum bisa sepenuhnya menerima isu itu. Pura-pura tidak pernah mendengar. Bersikap seolah kita masih akan ada di sini, sampai datang betul masanya di timeline yang telah kami susun.

Kami, terutama aku, masih belum siap menerima perubahan tatanan hidup kami. Aku sepertinya belum siap kehilangan zona nyaman di sini. Dan harus bersusah payah membuat zona nyaman baru di tempat baru nanti.

Atau bolehkah ada pengecualian untuk aku sehingga aku bisa menetap di sini lebih lama? Aku harap iya.

Mampang Prapatan, Senin, 6 Maret 2017, 12.31 WIB

Sunday, March 5, 2017

Lucu

Kau tahu apa yang lucu dari kita?
Saling menemukan
Saling merasa yakin
Tapi akhirnya menjalani hidup terpisah

Lalu apa yang lebih lucu?
Bahwa kita pernah berjanji
Tidak akan berpisah
Tapi akhirnya saling mengingkari

Dan apa yang paling lucu dari kita?
Bahwa sebenarnya tidak ada yang mengingkari janji
Kita, tanpa pernah bersepakat, telah melupakan janji itu sendiri
Lalu hidup sendiri-sendiri

Takdir, atau apalah itu namanya
Akan menganulir semua kesepakatan yang tidak sejalan
Mengembalikan semua proses kembali ke nol

Takdir, atau apalah itu namanya
Kelak akan membuat kita ikhlas dan pulih
Dengan sendirinya

Kukusan Teknik, Ahad, 5 Maret 2017, 15.25 WIB

Saturday, March 4, 2017

Jarak Aman

Aku bertanya padamu, "Apakah ini terjadi dua arah?"

Dengan yakin kau mengatakan, "Tidak."

Lalu lain waktu kutanyakan lagi, "Apakah ada sikapnya yang berubah kepadamu?"

Dengan cepat kau mengatakan, "Tidak tahu, dan tidak mau tahu."

Ah, aku tahu itu hanya topengmu. Dibalik wajahmu yang mengeras, ekspresimu yang menegas, kau punya seribu titik lemah yang dapat meluruhkan semua tanggul air matamu. Tapi kau tak membiarkan siapapun mendekati tanggul itu. Kau bisa tega kepada siapa saja yang mendekat, tanpa peduli perasaannya.

Dan di sinilah aku, berdiri dalam jarak aman.

Mampang Prapatan, Sabtu, 4 Maret 2017, 11.32 WIB