Sunday, July 16, 2017

Yang Hilang dari Ghirah Kita

Karena lintasan ide seorang kawan di grup tentang lagu untuk suatu acara dan setelah memikirkan kata-kata untuk teks penguatan ke peserta dauroh, randomly tengah malam ini tiba-tiba terlintas di kepalaku sebaris lirik nasyid lawas, "Barisan mujahid melangkah ke depan, tanpa rasa takut menghalau rintangan."

Karena nggak terlalu yakin dengan keseluruhan liriknya, kuketiklah di google, sebaris lirik itu dan muncullah hasil penelusurannya. Ternyata judulnya Cahaya Abadi yang dinyanyikan oleh Izzatul Islam. Salah satu hasil pencariannya adalah dari youtube yang akhirnya kubuka. Lepas satu video, naturally, aku memilih video lain yang direkomendasikan oleh sang mesin penelusur video tersebut.

Bermunculanlah video-video nasyid lainnya yang sebagian besarnya adalah video lirik karena zaman dulu jarang ada nasyid haraki yang punya video klip. Tapi ada satu video yang sukses menarikku bernostalgia ke masa belasan tahun silam. Saat nasyid haraki sedang panas-panasnya membakar ghirah aktivis-aktivis dakwah masa itu, bahkan sampai ke anak-anak mereka yang salah satunya adalah aku. Video itu menampilkan slide foto-foto dokumentasi salah satu munashoroh di suatu daerah. Tentu saja aku jadi ikut hanyut ke dalam nostalgia.

Ia masuk ke sekolah-sekolah IT. Menjadi genderang penyemangat di jambore-jambore dan aktivitas kepanduan SIT (sekarang Pramuka SIT). Ia diperdengarkan di munashoroh-munashoroh Palestina dan aksi-aksi lainnya. Ia diperdengarkan di agenda-agenda syiar dakwah dari tingkat nasional sampai ke Rohis-rohis sekolah. Ia menjadi penghidup dan pengikat semangat.

Semangat dan ghirah yang mengalir sampai ke ubun-ubun ketika mendengar nasyid-nasyid itulah yang membuat aku, teman-temanku, dan mungkin anak-anak ikhwah lainnya pada masa itu mematri cita-cita yang bahkan belum sepenuhnya mereka pahami: "Aku akan jadi seperti Abi dan Ummi ketika besar nanti."

Padahal mereka (termasuk aku juga di dalamnya) mungkin belum tahu. Apa sesungguhnya yang dilakukan oleh Ummi-Abi mereka di dalam ta'lim-ta'lim pekanan. Yang mereka tahu, mereka akan bertemu dan bermain dengan teman-teman sebaya mereka ketika ikut orang tuanya ke majelis tersebut.

Padahal mereka tidak tahu. Untuk apa sesungguhnya munashoroh yang dilakukan orang tua mereka di jalanan. Yang mereka tahu, mereka akan bersama-sama mengibarkan atribut bendera Palestina kecil-kecil dan berlarian dengan teman-teman mereka. Dan mereka akan ikut-ikutan berteriak tabir sekencang-kencangnya.
Tapi dengan yakinnya, dalam hati mereka berkata : "Saat besar nanti, aku yang akan membawa bendera besar itu." Sambil berloncatan mengikuti irama nasyid haraki yang sedang dikumandangkan.

Waktu berjalan, belasan tahun berlalu. Entah apakah ini juga dirasakan oleh anak-anak ikhwah sepertiku di luar sana, atau aku saja. Nasyid-nasyid haraki semakin jarang diperdengarkan. Terlebih karena tidak banyak nasyid baru yang diproduksi beberapa tahun ke belakang. Tidak terlihat secara signifikan pula regenerasi tim nasyid-tim nasyid haraki. Posisinya perlahan digantikan nasyid-nasyid mellow yang belakangan mulai lebih sering ngomongin soal "jodoh". Oh, tentu saja aku tidak menyalahkan keberadaan nasyid melow. Aku juga suka mendengarkan edcoustic dan beberapa tim nasyid lain yang lebih kontemporer (walaupun sekarang tetap saja sudah terhitung jadul).

Munashoroh sekarang menjadi barang langka. Kumpul besar-besaran pun terakhir sudah beberapa tahun yang lalu. Paling-paling yang tersisa tinggal kampanye-kampanye politik (aku juga tidak mengambinghitamkan ini).

Acara-acara kampus sudah dikemas menjadi acara yang lebih ramah. Nasyid-nasyid yang diperdengarkan juga tentunya harus menyesuaikan. Maher Zain dan nasyid lain dari luar mulai menghiasi acara-acara lembaga dakwah. Dan sudah pasti lagi-lagi aku tidak boleh menyalahkan kondisi ini. Dalam berdakwah, kita harus mengikuti perkembangan zaman dan memahami bahasa kaum, bukan?

Tapi sayang, dauroh kampus (yang pesertanya lebih spesifik) pun ikut-ikutan mengeliminasi nasyid-nasyid haraki. Takut terlalu keras bagi peserta katanya. Takut dicap pengurus partai juga. Takut dianggap radikal. Dan macam-macam ketakutan lainnya. Lalu di mana kita bisa menemukan situasi yang tepat untuk membakar lagi semangat dakwah. Ketika di dauroh anggota intinya saja sudah jarang terdengar nasyid-nasyid tersebut.

Aku selalu menghibur diri dengan, "Ah, dakwah kita bukan tentang simbol semata. Tanpa nasyid-nasyid itu, esensi dakwah kita tetap berjalan. Kita dapat menggali lagi semangat dari buku-buku." Tapi siapa pula yang tidak rindu?
Kadang, yang membuat tambah sedih adalah ketika mendapati reaksi kawan sesama anggota inti di kampus ketika mendengar nasyid haraki, tetapi reaksinya negatif. "Ngapain sih lagu begituan mulu yang disetel." Ada lho, yang begitu. Sedih sekali mendengarnya.

Maka ketika menemukan teman yang punya minat yang sama terhadap nasyid haraki, senangnya luar biasa. Seolah menemukan titik cerah dalam ruang gulita (ah, lebay). Sekarang, tidak lagi mudah menemukan orang yang bisa diajak bersenandung bersama. Berangkulan, sambil loncat-loncatan, tangan mengepal dan meninju-ninju udara, sambil mengikuti nasyid haraki yang sedang diputar. Alhamdulillah, tetap ada. Tapi tidak banyak.

Kini, impian masa kecilku masih ada. Tetapi aku khawatir ia meredup. Ditutupi oleh ketakutan dan ketidakpercayadirian akan identitas diri. Takut dibilang ini, takut dicap itu. Impian masa kecil yang coba diperbarui sejak ikut terluka dan trauma dari tahun 2012. Impian itu masih ada. Tapi ada pemantik yang hilang. Hilang dari agenda-agenda penguatan kita. Hilang dari reminder-reminder kita.

Mungkinkah ia juga harus menjadi yang tersingkir karena pergeseran zaman? Mungkinkah ia harus digantikan oleh cara yang lebih efektif dan kekinian dalam menyalakan kembali ghirah para aktivis? Aku tidak tahu. Yang aku tahu, aku rindu.

Rumah, Ahad, 16 Juli 2017, dini hari
Sore nanti akan ada agenda konsolidasi

NB: di luar sana, mungkin masih banyak yang menyetelkan nasyid haraki di dalam agenda dauroh kampusnya. Jadi meskipun bahasanya seperti men-generalisasi, aku justru berharap kenyataannya tidak generalisasi dari fenomena yang kutangkap.

No comments:

Post a Comment