Pada detik pertama saya membaca kalimat ini, saya terkesiap.
Sampai menahan nafas saking sakit tamparan itu terasa. Benar, memang pantaslah
seharusnya saya yang paling sakit merasakannya. Memang pantaslah jika
seandainya nasihat general itu sebenarnya hanya ditujukan untuk saya seorang.
Seseorang pernah berkata, “Iya, kamu memang diam. Tapi
diammu membunuh!”
Saya bukan orang yang pendiam, tapi jika menemukan suatu
kondisi yang sangat membuat tidak nyaman, saya akan diam. Antara tidak tahu
harus bersikap seperti apa, atau memang ingin dipahami, bahwa sebenarnya saya
tidak nyaman dan ingin semua orang berhenti melakukan hal yang membuat saya
tidak nyaman. Somehow, tidak baik memang. Alasan bagaimana pun. At the end,
biasanya saya akan mencoba berlapang hati, melupakan ketidaknyamanan itu dengan
terlebih dahulu melupakan penyebabnya. Kadang mudah, tapi tidak jarang juga
butuh waktu yang lama.
Tapi bagaimana pun, saya bukanlah pemendam yang baik. Pada
kasus yang berlarut, yang saya gagal untuk melapangkan hati, yang saya gagal
untuk bertahan berdiam diri, faktor ke-ekstrovert-an sayalah yang akhirnya
membuat saya tidak akan sanggup berlama-lama berdiam sendiri. Paling tidak saya
akan ajak teman lain untuk ikut dalam aksi ‘diam’ saya. Caranya bukan dengan
ikutan diam. Tapi dengan ia mendengarkan sebab mengapa saya begini.
Orang bilang saya ekspresif. Tapi banyak sekali bundel
ekspresi yang gagal saya ekspresikan ke luar. Berharap ada yang mampu memahami,
tetapi mustahil. Saya tahu, itu tidak mungkin. Orang bilang saya ekspresif,
tapi saya gagal mengungkapkan banyak dari rasa hati yang mendekam. Entah karena
gengsi, atau karena tidak tahu bagaimana harus mengungkapkan. Jadi seandainya
saya mampu, ekspresi yang keluar dari diri saya pasti akan jauh lebih variatif
daripada saya yang saat ini dikenal oleh orang-orang di sekitar saya. Ah, saya
terlalu banyak meminta untuk dimengerti.
"Kalo bercanda kagak usah dimasukkin hati. Kalo memang
tersinggung langsung bilang"
Sesaat setelah membaca kalimat ini, pikiran saya langsung
melanglang buana. Bertanya-tanya, apakah pertanyaan general ini dari seseorang
yang sesungguhnya ditujukan untuk saya. Meskipun tetap tidak menemukan jawaban,
dan keyakinan saya pun tidak mencapai 50% juga, saya jadi me-rewind banyak hal.
Banyak percakapan. Banyak kesepakatan.
Saya telah bercerita banyak. Saya telah menjelaskan banyak. Sejauh
yang saya sanggup untuk jelaskan. Perihal keadaan-keadaan tertentu yang mungkin
saja membuat saya tersinggung. Perihal masa lalu yang membuat saya berjuang
menghadapi tanggapan orang. Perihal diri saya yang by time, akhirnya jadi over
cuek sama segala sesuatu untuk menghindari terlalu banyak memikirkan apa kata
orang. Jangan-jangan saya terlalu banyak bercerita sampai tidak ada satupun
yang sempat ia cerna atau ingat.
Saya bukanlah seorang yang bisa marah berlama-lama, tapi
saya pernah punya riwayat menjadi seorang pendendam yang kejam. Yang bahkan
penyebab kemarahannya sudah saya lupakan, tetapi saya bertahan membenci. Kondisi
itu yang membuat saya merasakan sakit di dalam diri saya. Bukan sakit fisik. Tapi
sakit yang jauh lebih sakit. Sakit yang tidak terlihat.
Saya kira saya telah bertemu dengan seseorang yang mampu
mengerti saya. Saya kira saya telah bertemu dengan seseorang dengan penilaian
netral. Saya kira ia sudah cukup dewasa pemikirannya. Tapi nyatanya, saya
terlalu memercayai. Sehingga akhirnya saya harus menelan kecewa.
Pada akhirnya, saya tetap tidak tahu siapakah produsen
kutipan itu. Dan ditujukan untuk konsumen yang manakah ia. Tetapi saya
berterima kasih pada siapa pun orangnya. Termasuk apabila ternyata orang yang
saya maksud adalah orang yang sama dengan dia yang seharusnya membaca ini. Karenanya,
saya jadi mengerti bahwa bukan sesiapa yang salah. Seharusnya sayalah yang
disalahkan. Sudah seharusnya sayalah yang menerima hukuman ketidaknyamanan ini.
Meskipun menyiksa.
Tetapi di luar itu semua, ada lebih banyak diam yang saya
tekan. Ada faktor-faktor lain yang akhirnya membuat saya memilih diam. Maka ketahuilah,
memendam diam bagi seorang ekstrovert bukanlah hal yang mudah. Menyimpan rahasia
diri sendiri bagi seorang talkative bukanlah hal yang simpel. Berbeda dengan
mereka di luar sana yang memang lebih tertarik berdialog dengan dirinya
sendiri. Tapi itu bukan saya.
Saya butuh teman cerita saya kembali, tetapi kalau ending
dari semua ini adalah saya harus mencari pengganti, bukankah saya harus rela
menerimanya sebagai sebuah hukuman yang pantas?
Rumah, di tengah-tengah keluarga yang berlalu-lalang,
rasanya ingin menangis, tapi pasti tidak bisa, kan? 21.12
Saya harus rela mem-pause pekerjaan penting malam ini. Karena
ketidaknyamanan bertemu dengan papan tik. Boom! Here I am
No comments:
Post a Comment