Sunday, July 30, 2017

Diam

"Kalo bercanda kagak usah dimasukkin hati. Kalo memang tersinggung langsung bilang"

Pada detik pertama saya membaca kalimat ini, saya terkesiap. Sampai menahan nafas saking sakit tamparan itu terasa. Benar, memang pantaslah seharusnya saya yang paling sakit merasakannya. Memang pantaslah jika seandainya nasihat general itu sebenarnya hanya ditujukan untuk saya seorang.

Seseorang pernah berkata, “Iya, kamu memang diam. Tapi diammu membunuh!”

Saya bukan orang yang pendiam, tapi jika menemukan suatu kondisi yang sangat membuat tidak nyaman, saya akan diam. Antara tidak tahu harus bersikap seperti apa, atau memang ingin dipahami, bahwa sebenarnya saya tidak nyaman dan ingin semua orang berhenti melakukan hal yang membuat saya tidak nyaman. Somehow, tidak baik memang. Alasan bagaimana pun. At the end, biasanya saya akan mencoba berlapang hati, melupakan ketidaknyamanan itu dengan terlebih dahulu melupakan penyebabnya. Kadang mudah, tapi tidak jarang juga butuh waktu yang lama.

Tapi bagaimana pun, saya bukanlah pemendam yang baik. Pada kasus yang berlarut, yang saya gagal untuk melapangkan hati, yang saya gagal untuk bertahan berdiam diri, faktor ke-ekstrovert-an sayalah yang akhirnya membuat saya tidak akan sanggup berlama-lama berdiam sendiri. Paling tidak saya akan ajak teman lain untuk ikut dalam aksi ‘diam’ saya. Caranya bukan dengan ikutan diam. Tapi dengan ia mendengarkan sebab mengapa saya begini.

Orang bilang saya ekspresif. Tapi banyak sekali bundel ekspresi yang gagal saya ekspresikan ke luar. Berharap ada yang mampu memahami, tetapi mustahil. Saya tahu, itu tidak mungkin. Orang bilang saya ekspresif, tapi saya gagal mengungkapkan banyak dari rasa hati yang mendekam. Entah karena gengsi, atau karena tidak tahu bagaimana harus mengungkapkan. Jadi seandainya saya mampu, ekspresi yang keluar dari diri saya pasti akan jauh lebih variatif daripada saya yang saat ini dikenal oleh orang-orang di sekitar saya. Ah, saya terlalu banyak meminta untuk dimengerti.

"Kalo bercanda kagak usah dimasukkin hati. Kalo memang tersinggung langsung bilang"

Sesaat setelah membaca kalimat ini, pikiran saya langsung melanglang buana. Bertanya-tanya, apakah pertanyaan general ini dari seseorang yang sesungguhnya ditujukan untuk saya. Meskipun tetap tidak menemukan jawaban, dan keyakinan saya pun tidak mencapai 50% juga, saya jadi me-rewind banyak hal. Banyak percakapan. Banyak kesepakatan.

Saya telah bercerita banyak. Saya telah menjelaskan banyak. Sejauh yang saya sanggup untuk jelaskan. Perihal keadaan-keadaan tertentu yang mungkin saja membuat saya tersinggung. Perihal masa lalu yang membuat saya berjuang menghadapi tanggapan orang. Perihal diri saya yang by time, akhirnya jadi over cuek sama segala sesuatu untuk menghindari terlalu banyak memikirkan apa kata orang. Jangan-jangan saya terlalu banyak bercerita sampai tidak ada satupun yang sempat ia cerna atau ingat.

Saya bukanlah seorang yang bisa marah berlama-lama, tapi saya pernah punya riwayat menjadi seorang pendendam yang kejam. Yang bahkan penyebab kemarahannya sudah saya lupakan, tetapi saya bertahan membenci. Kondisi itu yang membuat saya merasakan sakit di dalam diri saya. Bukan sakit fisik. Tapi sakit yang jauh lebih sakit. Sakit yang tidak terlihat.

Saya kira saya telah bertemu dengan seseorang yang mampu mengerti saya. Saya kira saya telah bertemu dengan seseorang dengan penilaian netral. Saya kira ia sudah cukup dewasa pemikirannya. Tapi nyatanya, saya terlalu memercayai. Sehingga akhirnya saya harus menelan kecewa.
Pada akhirnya, saya tetap tidak tahu siapakah produsen kutipan itu. Dan ditujukan untuk konsumen yang manakah ia. Tetapi saya berterima kasih pada siapa pun orangnya. Termasuk apabila ternyata orang yang saya maksud adalah orang yang sama dengan dia yang seharusnya membaca ini. Karenanya, saya jadi mengerti bahwa bukan sesiapa yang salah. Seharusnya sayalah yang disalahkan. Sudah seharusnya sayalah yang menerima hukuman ketidaknyamanan ini. Meskipun menyiksa.

Tetapi di luar itu semua, ada lebih banyak diam yang saya tekan. Ada faktor-faktor lain yang akhirnya membuat saya memilih diam. Maka ketahuilah, memendam diam bagi seorang ekstrovert bukanlah hal yang mudah. Menyimpan rahasia diri sendiri bagi seorang talkative bukanlah hal yang simpel. Berbeda dengan mereka di luar sana yang memang lebih tertarik berdialog dengan dirinya sendiri. Tapi itu bukan saya.

Saya butuh teman cerita saya kembali, tetapi kalau ending dari semua ini adalah saya harus mencari pengganti, bukankah saya harus rela menerimanya sebagai sebuah hukuman yang pantas?

Rumah, di tengah-tengah keluarga yang berlalu-lalang, rasanya ingin menangis, tapi pasti tidak bisa, kan? 21.12

Saya harus rela mem-pause pekerjaan penting malam ini. Karena ketidaknyamanan bertemu dengan papan tik. Boom! Here I am

No comments:

Post a Comment