Kamu duduk di sana, tepat di hadapanku. Matamu tertutup kain, dan aku yang mendengarkan semua ceritamu. Pagi itu kita berada di ruang dengan pencahayaan sangat rendah. Dan kamu mulai... menangis.
Ah, aku bahkan sudah menahan campur aduk emosi itu sejak kata pertama keluar. Sejak pertanyaan pertama kulontarkan padamu. Kamu pasti menyadari tekanan suara yang keluar dariku lantaran menahan isak yang begitu menyesak. Kamu tidak menangis sendirian.
Di mana aku, saat kamu kebingungan sendirian. Di mana aku saat kutinggalkan sisa-sisa tanggung jawabku yang harus kamu selesaikan. Di mana aku saat pelik membelitmu sampai bertanya pun kamu tidak mampu. Di mana aku yang mengaku akan selalu ada.
Kita menangis. Saling berbisik di telinga. Masing-masing menyalahkan diri sendiri. Meskipun lebih banyak harusnya aku yang disalahkan. Kita menangis lalu kemudian menutup lembar yang telah berlalu.
Pagi itu, sampai ketika ia melambai-lambaikan tangannya tanda waktu kita usai, aku masih menata janji. Dan kita bersama menata diri. Ke depan, kita akan lalui kembali perjuangan yang tidak mungkin dilalui seorang diri.
Berlarilah padaku, saat aku menjauh darimu. Berteriaklah padaku apabila aku lupakan janji kita. Dan aku akan ada di belakang sini, di belakangmu. Mengawasi punggungmu seandainya ia limbung tak tegak. Mengawasi lututmu seandainya ia mulai goyah.
Jadilah kuat. Jadilah kuat bersamaku. Dan bersama orang-orang di kanan-kirimu.
Rumah, 7 Agustus 2017, 23.33
Lakon utama telah digantikan, tetapi masih banyak pekerjaan yang ditinggalkan.
Lakon utama telah digantikan, tetapi masih banyak pekerjaan yang ditinggalkan.
Mengenang perbincangan kita di salah satu pagi buta di Bulan Juli
No comments:
Post a Comment