Aku bertemu denganmu di usia yang begitu muda.
Seperti yang selalu kau ulang-ulang. Walaupun pada konteks yang berbeda. Aku
masih muda.
Kau bertanya banyak hal. Aku merasa kau sedang
mengetesku. Kau memberitahukan banyak hal. Aku merasa kau sedang
menginternalisasikan sesuatu. Dan aku masih terlalu muda--mungkin--untuk
memahami, menanggapi, apalagi menolak pendapatmu, argumentasimu, pikiran-pikiranmu.
Atau pikiranku yang masih terlalu muda--juga mungkin.
Aku membagi banyak hal. Aku mengutarakan sesuatu,
pikiranku, mencoba menangkap reaksimu, tanggapanmu. Aku menyuarakan isi
pikiranku yang selama ini berkemelut. Menjelaskan bahwa aku menolak sesuatu.
Menjelaskan pendapatku tentang sesuatu, dan banyak lagi.
Aku sering terdiam dan enggan menanggapi ketika
kau mulai lagi berfilsafat. Karena aku tidak bisa berpikir sespontan itu. Tidak
seperti kau yang sudah membaca jutaan baris dalam buku-buku tebal itu. Tidak
seperti kau yang sudah mengarungi ribuan are lautan perenungan yang kau sebut
'bengong' itu. Karena kau bilang, saat bengonglah kau sempat berpikir. Karena
Ibrahim menemukan Tuhannya saat bengong. Karena Muhammad juga temukan Tuhannya
saat bengong.
Kau beri aku buku. Kau beri aku bacaan. Kau beri
aku banyak hal baru di waktu yang masih kurasa singkat mengenalmu. Belum lama,
sejak pertama kali kita bertemu. Saat itu gelap karena petang telah menjelang.
Aku tidak bisa menangkap kesan pertama tentangmu waktu itu. Aku tidak bisa
melihat dalamnya pandanganmu terhadap sesuatu. Aku tidak bisa melihat jauhnya
penerawanganmu ketika kau sedang termenung.
Kau bilang aku terlalu serius. Ah, aku tidak
pernah serius. Apalagi ketika mendalami sesuatu. Ketika memikirkan hakikat
sesuatu. Tidak seperti kau yang loncatan pikirannya begitu wild. Tidak
seperti kau yang kata-katanya selalu aku tanggapi dengan, "gue nggak
ngerti". Karena aku memang tidak mengerti. Ah, aku terlalu malas untuk
mengerti. Kau bilang aku malas berpikir. Aku juga bilang begitu. Padahal
"aku berpikir, maka aku ada". Manusia ada karena berpikir. Lalu kau
bilang aku bukan manusia. Di lain waktu kau bilang aku ini orang, bukan
manusia. Walaupun kau berdalih itu hanya sesat pikir kau dan teman-temanmu, aku
merasa penjelasanmu masuk akal. Karena manusia berbudi, orang tidak.
Suatu hari nanti, aku ingin. Aku ingin membaca
jutaan baris buku yang berbeda. Supaya kita bisa saling berbagi. Atau bahkan
menolak pikiran-pikiranmu itu. Suatu hari nanti, aku ingin. Aku ingin mendalami
sesuatu. Sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang tak pernah terlintas dalam
pikiranmu. Supaya aku bisa membagi sesuatu. Tidak hanya kau. Supaya kau tahu,
bahwa aku juga bisa berpikir.
Suatu hari nanti, ketika aku bertemu denganmu
kembali, apabila aku menjadi seseorang yang berbeda, yang bertolak belakang
dari yang aku ucapkan padamu sekarang, aku tidak ingin dianggap munafik. Aku
tidak ingin dianggap pembohong. Karena aku masih mencari. Aku masih belajar
berpikir. Karena aku baru saja memulai.
Kau ingat, tentang pembicaraan kita tentang rasa
menyesal karena mengenal sesorang, mungkin suatu hari nanti aku akan menemukan
rasa itu. Seperti yang kau bilang bahwa ruang lingkup kehidupanku masih sempit.
Tapi untuk saat ini, sungguh, aku tidak pernah menyesal telah mengenalmu. Tuhan
banyak menyadarkanku lewat dirimu. Tuhan banyak mengingatkan aku melalui sosok
yang sama sekali tidak pernah terbayang di benakku sebelumnya tentanf seseorang
yang akan menyadarkanku.
Banyak hal yang sebenarnya aku tolak. Banyak hal
yang sebenarnya aku tidak sependapat. Aku hanya tidak mengerti bagaimana
menyampaikannya, karena aku tidak banyak membaca. Karena itu, suatu hari nanti,
temui aku lagi. Ah, kau bilang, apa kau masih hidup?
Tapi saat ini, aku masih ingin mengais
banyak hal darimu. Karena saat ini aku masih terlalu muda. Atau kehidupanku
yang masih muda.
No comments:
Post a Comment