Malam hari aku terbangun. Haus. Aku malas
berperang dengan pasukan kakiempat yang sedang merajai dapur. Aku malas angkat
senjata untuk mengusir mereka supaya aku dapat mengusir hausku.
Sambil mengenakan jaket rapat-rapat, kubuka kunci
gerbang perlahan. Sementara aku membuka pintu, terdengar deru dua buah motor.
Habis bersenang-senang mereka. Entah mereka dari mana. Biasa, beberapa remaja
laki-laki menghabiskan malam panjang mereka di bangku depan counter pulsa
sambil meneguk bergelas-gelas kopi dan menghisap berbatang-batang rokok. Tak
kurang alunan musik yang kadang menyentak garang, kadang mengalun melankolis.
Mereka melihatku keluar rumah. Aku kenal mereka, mereka kenal aku.
Dengan agak ragu aku melangkahkan kaki menuju
jalan raya. Misiku satu. Mencari penjual minum yang ada dalam radius sependek
mungkin. Gentar sedikit. Dengar cerita orang malam di Jakarta yang keras. Tapi
aku baik-baik saja sampai di rumah. Sementara manusia-manusia muda di
belakangku berbisik-bisik membicarakanku. Heran mungkin. Atau bisa jadi
khawatir. Apa yang kulakukan selarut ini.
Jalan Buncit Raya sepi. Sesekali melintas
motor-motor berkecepatan tinggi. Mungkin pekerja lembur yang ingin segera
sampai rumah. Atau perantau-perantau yang baru pulang libur lebaran dan besok
sudah mulai beraktivitas. Aku merapatkan jaket pada tubuhku yang diterpa angin
akibat kecepatan motor yang melintas.
Di kanan jalan, gedung-gedung kantor sudah sepi.
Tutup. Gelap. Tinggal satpam-satpam dalam pos yang mungkin sedang tertidur pula
karena terbawa suasana malam yang sepi. Di trotoarnya berserak sampah botol dan
plastik. Mungkin sisa-sisa pesta penghuni pinggir jalan. Atau mungkin sisa
pelepas lelah para pekerja kasar. Semua tinggal sisanya saja.
Tapi ada pula yang masih bekerja selarut ini.
Mereka menarik gerobak yang kini mulai penuh muatan. Isinya kardus, plastik,
dan benda kering yang tak terpakai. Mereka mengais sisa-sisa yang ditinggalkan
parapetugas kebersihan yang mengambil kantung-kantung sampah pukul 10.30 tadi.
Yang mungkin memang sengaja mereka tinggalkan. Berbagi rezeki istilahnya.
Sesekali mereka berhenti di pelataran gedung yang tak berpagar. Beristirahat.
Mungkin mereka mengharapkan tidur nyenyak di kasur yang nyaman. Atau mungkin
mereka bahkan tak pernah membayangkannya.
Akhirnya aku menemukan sebuah warug minuman.
Penjualnya seorang ibu-ibu yang menjawab pertanyaanku dengan tidak bersemangat.
Terlihat sekali kantung matanya pertanda lelah. Mungkin ia sudah biasa
berjualan sampai selarut ini. Tapi lelah itu pasti terlihat. Mungkin ia juga
bosan. Mungkin juga iri pada orang-orang yang kini terlelap.
Mampang dini hari. Tak banyak yang kutemui.
Sisi-sisi glamor dan ramai mungkin sudah habis di kemang, di menteng, atau di
daerah gemerlap lain. Sepi di sini. Yang terlihat sisi-sisi lain Jakarta.
Pekerja (entah kantor mana yang tetap bekerja di hari libur ini) yang sedang
ngaso di warung untuk minum kopi. Menghilangkan kantuk sebentar karena mereka
mungkin harus memacu kuda besinya lebih jauh lagi. Sampai Depok, Bekasi, atau
Bogor.
Atau para penjual makanan yang mendorong gerobak
mereka dari pasar. Mungkin hari ini mereka sedang kurang laku. Karena orang
sedang ramai menyate hasil sembelihan pagi tadi. Atau anak kos sengaja merapel
makan mereka sampai besok pagi. Karena malas beranjak dari kamar, mumpung
libur. Atau memang sengaja mengirit pengeluaran.
Mampang dini hari, sepi sampai aku kembali masuk
ke dalam gang rumah. Langsung kembali terlihat gerombolan yang tadi berbisik
tentang aku. Yang menyelenggarakan hiruk-pikuk ala mereka. Biarkan saja mereka
habiskan masa senggang dan muda mereka dengan sia. Sampai saatnya mereka
menyesal bahwa mereka tak banyak lakukan perubahan. Selama mereka tidak membawa
perempuan jalanan ke situ, selama mereka tidak mengganggu tidur nyenyak para
warga, biarkan saja.
Sebelum aku masuk rumah salah seorangnynya
memanggilku. "habis beli apa fah?" aku hanya menunjukkan botol
minuman yang kusembunyikan dalam lengan jaket yang besar. Kemudian segera
masuk. Sementaa mereka kembali melanjutkan keramaian mereka sendiri. Sementara
mulai radius lima meter dari mereka semua sudah sepi. Tinggal pasukan kakiempat
yang sesekali melintas. bergerilya mencati sisa makanan yang lupa dibuang oleh
pemilik sebelumnya.
Mampang, dini hari, sepi pengunjung. Dan empat
setengah jam dari sekarang, jalanan yang kosong itu akan berubah menjadi lautan
kendaraan yang berebut tempat di pusat kota sana. Beruntung aku bukan bagian
dari mereka. Aku akan menghindar sejauh mungkin dari chaos itu. Menuju arah
asal kebanyakan dari mereka. Depok.
Mungkin lain waktu aku akan menyempatkan kembali
keluar selarut ini untuk memotret jalanan sepi pengunjung ini.
No comments:
Post a Comment