Buat apa mencari "cinta"? Cinta tak pergi ke mana-mana. Karena cinta tak berlari. Karena cinta tak bersembunyi. Sebenarnya cinta itu sudah ada pada tempatnya masing-masing. Kau tau? Bahwa cinta akan berlabuh pada pelabuhannya? Bahwa cinta akan mendarat di bandaranya?
Dan setiap perjalanan akan menemui hambatan. Mungkin, cintamu kini sedang mengalaminua. Bersabarlah, itu takdir, kawan!
Terkadang rasanya pengen
BERHENTI!
07:10
@library
- 6/11/12
(dari seorang teman yang ia tuliskan di buku catatanku, tanpa perubahan)
Dan biarkan gumam itu tertahan diujung lidah, tak terucapkan. Tapi jangan biarkan gumam itu tertahan di ujung jari, tak tertuliskan.
Monday, December 16, 2013
Tuesday, December 10, 2013
Aku dan Analogi
Kau tahu mengapa waktu itu aku sering membawa buku itu? Buku yang kau pernah tanyakan walau hanya sekilas. Semoga kau ingat. Waktu itu aku membawa dua buku sejenis itu. Kau tahu mengapa?
Karena aku waktu itu begitu ingin menyaingimu dalam kata-kata. Mencoba mengumpulkan larik-larik itu dan mempelajarinya. Mencoba membuat milikku sendiri.
Tapi, sekeras apa pun aku mencoba, sebanyak apa pun buku jenis itu yang kubaca, aku tidak akan pernah bisa menyaingimu. Aku tidak akan mampu.
Maka biarkan aku beranalogi saja. Aku sedang senang beranalogi.
Karena aku waktu itu begitu ingin menyaingimu dalam kata-kata. Mencoba mengumpulkan larik-larik itu dan mempelajarinya. Mencoba membuat milikku sendiri.
Tapi, sekeras apa pun aku mencoba, sebanyak apa pun buku jenis itu yang kubaca, aku tidak akan pernah bisa menyaingimu. Aku tidak akan mampu.
Maka biarkan aku beranalogi saja. Aku sedang senang beranalogi.
Sepotong Kue dan Tentang Rasa Cemburu
Ketika kamu kehilangan momen yang sebenarnya bisa
kamu dapatkan, kemudian orang lain mendapatkannya, adalah hal yang paling
menyakitkan.
Mudahnya begini. Kamu suka sekali makan cake
misalnya. Teman kamu juga sukaaa banget. Kemudian ada orang baik hati menawarkan
cake itu. Kalau kalian berdua sama-sama mau, kalian bisa berbagi, masing-masing
setengah. Tapi kamu lagi kenyang. Kenyang sekali. Sementara orang yang
menawarkan cake itu hanya menawarkan untuk saat itu. Tidak untuk disimpan.
Dengan berat, kamu harus merelakan temanmu memakan seluruhnya.
Segalanya akan jauh lebih mudah kalau temanmu itu
tidak menceritakan rasa cake itu dengan maksud untuk memanas-manasimu, bukan?
Tapi dia terlalu tega untuk sengaja berbuat demikian. Ia katakan di dalam cake
itu ada selai strawberry yang sangat kamu suka. Rasa manisnya tidak menyengat
dan tidak akan membuat mual jika dimakan sebanyak apapun. Teksturnya lembut dan
tidak pernah ada cake seenak itu. Dan kamu telah kehilangan kesempatan yang
entah kapan akan datang lagi. Bahkan mungkin tidak akan datang lagi.
Bisa membayangkan bagaimana rasa sakitnya?
Begitulah.
Kamu ingin sekali membencinya. Tapi temanmu itu
biasanya baik. Kamu sudah sangat sayang padanya. Semuanya jadi serba tidak enak
di kamu bukan?
Nikmati saja rasa sakit itu.
Berharaplah orang yang menawarkan cake itu
mengerti rasa sakitmu, kemudian dia mendatangimu. Seorang diri. Dan hanya ada
kamu. Kemudian dia memberikan cake yang jauh lebih enak, jauh lebih besar. Maka
berharaplah
Monday, December 9, 2013
Malam-Malam Kami
Malam kami gelap
Dalam penghibaan
Dalam penantian
Malam kami malam yang panjang
Dengan selarik sajak tak berujung
Dengan selarik sajak tak berujung
Malam kami pilu
Dengan rasa sayat-sayat
Bak operasi tanpa anestesi
Dengan rasa sayat-sayat
Bak operasi tanpa anestesi
Malam-malam kami
Nantian jawaban
Yang senantiasa kami tunggu
Di malam-malam kami
Nantian jawaban
Yang senantiasa kami tunggu
Di malam-malam kami
*Gunung Bunder, 8 November 2013, sekitar 23.00 wib*
Sunday, December 8, 2013
Sejenak, Hanya Sejenak
Bangku di sebelah situ kosong
Tak bisakah kita duduk bersama sejenak
Tak perlulah kau berkata sepatah pun
Dan aku juga tak ingin berkata apa pun
Tiga menit bagiku pun cukup
Satu untuk melekatkan namamu
Satu untuk merekam wajahmu
Satu untuk kembali menata hatiku
Kemudian bersiap pergi
Tak perlu ada kata
Karena sejak awal memang tak ada
Tak perlu ada 'kehilangan'
Karena sejak awal tidak ada 'memiliki'
AKU yang naif
tapi,
tak bisakah kita duduk bersama sejenak?
Tak bisakah kita duduk bersama sejenak
Tak perlulah kau berkata sepatah pun
Dan aku juga tak ingin berkata apa pun
Tiga menit bagiku pun cukup
Satu untuk melekatkan namamu
Satu untuk merekam wajahmu
Satu untuk kembali menata hatiku
Kemudian bersiap pergi
Tak perlu ada kata
Karena sejak awal memang tak ada
Tak perlu ada 'kehilangan'
Karena sejak awal tidak ada 'memiliki'
AKU yang naif
tapi,
tak bisakah kita duduk bersama sejenak?
Analogi
Pernah dalam kondisi kayak gini nggak?
Habis olahraga super berat, haus banget, terus di kasih minum. Yang namanya orang kehausan kan nggak cukup ya, seteguk-dua teguk. Lagi nikmat-nikmatnya ngilangin dahaga, tahu-tahu yang ngasih minum ngerebut tempat minum yang lagi kamu tenggak. Kira-kira gimana rasanya?
Itu analoginya. Kamu ngerti nggak?
(Saya sih belum pernah ngerasain ini. Tapi mungkin saya tahu gimana rasanya. Dan berdasarkan kemungkinan itu, saya mengambil situasi ini sebagai analogi)
Lelah Menghijau
Daun-daun itu berguguran satu-satu
Bukan karena sekarang autumn
Bukan pula karena pohon itu akan mati
Tapi karena ia lelah menghijau
Dan tak seorangpun berteduh
Akan ia simpan hijaunya itu
Untuk seseorang yang mendekat padanya
Bukan karena ingin berteduh
Tapi karena ingin melihatnya menghijau kembali
Saturday, December 7, 2013
Sunday, November 24, 2013
Kau
Dan setiap kata yang kaurangkai
Kucerna satu-satu
Tertatih kulajur makna
Sesekali terjatuh tak mengerti
Kucerna satu-satu
Tertatih kulajur makna
Sesekali terjatuh tak mengerti
Dan setiap bait yang kaucipta
Kubaca lamat-lamat
Kuulang sekali lagi setelahnya
Lalu berulang kali berikutnya
Kubaca lamat-lamat
Kuulang sekali lagi setelahnya
Lalu berulang kali berikutnya
Semuanya
Kuhimpun
Kusimpan
Kusampul
Kujaga
Kuhimpun
Kusimpan
Kusampul
Kujaga
Karena kau adalah
Buku favoritku
Antara Lusi, Orang Gila, dan Jilbab
Aku punya sahabat. Namanya Lusi. Kami berteman
sejak kelas 1 SD. Sampai sekarang kami sudah SMP pun kami masih bersahabat.
Kami memiliki banyak sekali kesamaan. Tetapi ada satu hal yang aku sayangkan.
Dia belum memakai jilbab dengan konsisten. Ketika sekolah, ia hanya memakai
jilbab ketika hari Jumat. Itupun siangnya langsung dilepas lagi. Untunglah dia
juga ikut mengaji di masjid. Minimal dia jadi lebih sering memakai jilbab.
“Lus, kamu kapan mau pakai jilbab sih?”
pertanyaan yang sudah terlalu seringaku lontarkan padanya. Yang selalu
dianggapnya sebagai angin lalu saja yang masuk dari kuping kanan, mentok,
keluar lagi dari kuping kanan juga. Ckckck.
“Kapan-kapan aja deh, Mel.” Hampir selalu begitu
jawabannya. Atau kalau lagi nggak mood, bisa-bisa dia malah marah.
Aku semakin bingung saja bagaimana caranya
mengajak dia supaya mau memakai jilbab. Aku sendiri sudah sejak kecil memakai
jilbab. Tapi terkadang, dia malu juga kalau lagi jalan-jalan sama aku, akhirnya
dia ikut memakai jilbab, walaupun jilbab yang dia pakai, sepertinya, meminjam
dari keponakannya yang berusia 5 tahun.
Walaupun begitu, Lusi bukanlah orang yang
menentang jilbab. Dia bukanlah orang yang suka menghina orang-orang yang
memakai jilbab. Karena walau bagaimanapun, dia adalah seorang muslimah.
Orangtuanya adalah orang yang mengerti agama. Bahkan, bundanya sendiri memakai
jilbab yang cukup lebar. Aku bingung kenapa Lusi nggak dibiasakan saja memakai
jilbab sejak kecil. Aku sendiri sudah sejak kecil memakai jilbab. Jilbab bagiku
sudah seperti nafas.
***
“Mel, kamu kenapa sih niat amat ngajak aku pakai
jilbab?” tanya Lusi suatu hari saat ia sedang main ke rumahku.
“Lus, pakai jilbab itu kewajiban setiap muslimah.
Ada hukum yang jelas atas itu.” Jelasku tanpa menurunkan majalah yang sedang
aku baca. “Coba kamu lihat lagi surat an-Nuur ayat 31 tau surat al-Ahzab ayat
59.”
“Tapi kenapa para feminis itu tidak mengenakan
jilbab. Dan bukankah mereka mengatakan bahwa laki-laki dan perempuan itu sama?
Jadi, mengapa harus dibedakan antara kepala laki-laki dan kepala perempuan?”
cecar Lusi.
“Itu mah alasan-alasan nggak logis mereka aja
supaya mereka dengan leluasa tidak menjalankan syariat islam yang sebenarnya.”
Jawabku. “Coba deh kamu pikirin, ada enaknya juga lho pakai jilbab, kalau
dilihat dari segi selain agama. Kamu ingat, kan, berita akhir-akhir ini tentang
pemanasan global dan efek rumah kaca. Tentang ozon di atas kepala kita yang
sudah berkurang kualitasnya. Sekarang sudah banyak kasus kanker kulit yang
menyerang karena sinar matahari sudah tidak lagi disaring dengan baik. Coba
kalau orang-orang itu memakai hijab. Paling tidak kulit mereka tertutup dan
tidak terkena langsung sinar matahari yang berbahaya itu, kan? Mereka masih
mempunyai pelindung.”
“Ah, tapi kan kalau lagi terik malah panas.”
Sanggah Lusi.
“Panas mana ama neraka?” cetusku. “Malah
melindungi rambut kita dari bahaya kekeringan.”
“Masak sih? Ah, ntar rambutnya malah ketombean.”
Lusi masih menyanggah.
“Itu sih pinter-pinternya orang yang makainya
aja.” Kilahku.
“Aku masih mau ntar-ntaran aja ah. Masih ada hari
esok ini. Ntar kalau aku udah pakai jilbab aku kan jadi nggak bisa pamer
bando-bando lucu, pamer rambut yang habis di rebonding. Apa lagi kalau nanti
keluar model rambut terbaru, kan jadi nggak seru kalau rambutnya di tutup.”
Pendapatnya.
“Siapa yang berani jamin kalau masih ada hari
esok? Gimana kalau ntar malem nyawa kamu udah melayang.” Balasku.
“Ih, kamu kok doainnya gitu sih?” serunya
pura-pura marah.
“Bagian mana sih dari kata-kataku yang
menunjukkan aku ngedoain kamu?” kilahku. “kita kan nggak ada yang tahu kapan
nyawa kita di cabut oleh malaikat Izrail lepas dari jasad kita.”
“Ah, terserah kamu lah.” Kata Lusi akhirnya,
kemudian ia memasang headset yang tersambung ke komputerku. Aku cuma
geleng-geleng kepala. Ah, Lus, Lus, semoga kamu segera sadar betapa pentingnya
berjilbab.
***
Aku sedang menyirami “gelombang cinta”nya bunda
ketika Lusi menggedor-gedor gerbang rumahku.
“Mel, Mel, bukain dong. Tolong aku. Cepetan.
Menyangkut hidup dan mati nih. Please.” Lusi memohon-mohon. Aku memandangnya
keheranan sambil buru-buru menuruti permintaannya.
Setelah ia duduk dengan tenang, di dalam rumah,
aku masuk ke dapur untuk mengambilkannya segelas air putih dan sebatang cokelat
(kata orang coklat bisa menenangkan pikiran).
“Minum dulu, Lus. Nih ada cokelat oleh-oleh ayah
dari Jerman. Kata orang cokelat bisa menenangkan pikiran, lho.” kemudian dia
mengambil gelas yang aku sodorkan. Seteguk, dua teguk, tiga teguk. Ia menaruh
gelasnya dan mulai kembali tenang.
“Kenapa sih, Lus, datang-datang ke rumahku
lari-larian kayak dikejar orang gila aja. Mana pake teriak-teriak segala lagi?”
tanyaku meminta kejelasan.
“Emang aku dikejar orang gila. Mana orang gilanya
serem banget lagi. Aduh, Lus, aku minta diajarin pake jilbab dong.” belum habis
keherananku menerima kedatangan Lusi yang tiba-tiba, ia sudah membuatku tambah
terbengong-bengong karena permintaannya yang terakhir itu.
“Ih, serius Mel. Kenapa sih ngeliatinnya gitu
amat. Ntar keburu aku berubah pikiran nih.” semburnya ketika melihat aku masih
saja terbengong-bengong.
“Habisnya kamu datang-datang minta tolong, belum
habis aku heran, kamu udah minta diajarin pake jilbab. Padahal baru kemaren
kamu menentang habis-habisan tentang jilbab. Ya aku jelas boleh dong, heran.”
jelasku.
“Ih, orang temennya mau jadi baik dia malah
heran. Kemaren-kemaren kamu gencar banget nyeramahin aku.” sengitnya.
“Iya-iya. Tapi ceritain dulu penyebabnya kenapa
kamu bisa tiba-tiba berubah drastis kaya gini.” kataku.
“Tapi janji ya nggak ngetawain aku,” katanya
sangsi.
“Iya-iya aku janji.” jawabku.
Mengalirlah cerita dari mulutnya.
“Aku lagi jalan-jalan di dekat taman bundar situ.
Terus pas aku lagi mau beli milkshake, ada orang gila lewat. Tukang
milkshakenya udah ngingetin aku buat nutupin kepalaku pakai kapuchon. Tapi kamu
tau sendiri, kan kalau aku benci banget pakai kapuchon yang itu. Bikin
gatel-gatel. Eh, tau-tau orang gila itu jalan ke arahku. Ditangannya ada karet
rambut yang udah kotor banget. Gak tau tuh karet udah kemana aja.trus dia
bilang gini : “aduh anakku, kamu kemana aja nak? Mama nyariin kamu dari tadi.
Sini mama iketin rambutnya biar rapi dan cantik.” Huaaa!! Mimpi apa aku semalem
sampe dianggep anak sama orang gila. Aduh. Nggak lagi-lagi deh. Ampun. Aku
langsung aja lari ke tempat aman terdekat. Trus aku inget kalau rumah kamu
deket. Aku lari aja ke rumahmu sambil berdoa : “Ya Allah, kalau aku berhasil
selamat dari kejaran orang gila itu, aku janji mau belajar pakai jilbab sama
Amel.” Jadi sekarang kamu harus bantuin aku belajar pakai jilbab secara
konsisten.”
Aku menutup mulut menahan tawa.
Lusi melotot. “katanya tadi janji nggak bakal
ketawa.”
“iya-iya deh maaf. Lagian kamu ada-ada aja. Pake
jilbab nunggu di kejar orang gila dulu.”
***
Sejak saat itu, kemana pun Lusi pergi, ia selalu
memakai jilbab. Memang awalnya karena takut dikejar-kejar lagi oleh orang gila
taman bundar. Tapi lama-kelamaan, ia semakin nyaman dengan jilbabnya.
Alhamdulillah.
Kini, bertambah lagi kesamaan kami. Senangnya.
Saturday, November 23, 2013
Apa Yang
Apa yang kau lihat?
Sebuah cermin hampa
Yang tak kau temukan
Wajahmu di sana?
Apa yang kau baca?
Sebuah buku kosong
Berwarna tak terdefinisi
Berisi kekosongan?
Sebuah buku kosong
Berwarna tak terdefinisi
Berisi kekosongan?
Apa yang kau dengar?
Musik tanpa suara
Lagu tanpa irama
Atau kicau burung bisu
Di langit malam minggu?
Musik tanpa suara
Lagu tanpa irama
Atau kicau burung bisu
Di langit malam minggu?
Apa yang kau cari?
Kehampaan,
Kesunyian,
Ketiadaan?
Kehampaan,
Kesunyian,
Ketiadaan?
Dan kau tetap mengingat
Setiap kerat retak
Di cermin itu
Setiap kerat retak
Di cermin itu
Setiap noda dan lipatan
Dalam buku itu
Setiap resonansi
Di lagu itu
Setiap kehampaan
Setiap kesunyian
Setiap ketiadaan
Mengapa masih kau bawa-bawa
saja itu semua?
saja itu semua?
Sunday, November 3, 2013
Cerita Aku-sentris
Waktu itu aku kelas 3 SD. Waktu itu aku kelas 6 SD. Waktu itu aku kelas 2 SMP. Waktu itu aku kelas 3 SMP. Waktu itu aku kelas 2 SMA
dan semua cerita itu, berlalu dalam kenangan
dan selalu tersimpan, dalam album-album tak tercetak
dan waktu itu baru saja
12 Oktober 2013, ah, atau mungkin 11 Oktober 2013
cerita yang baru, baru saja dimulai
bergulir layaknya hidup yang terus berjalan. berjalan dengan misteri besar terpampang di depan. ya, masa depan
dan dipilihkan sang waktu akhir ceritanya, bukan aku yang memilihnya
dalam sebuah cerita yang aku-sentris, ada kamu di sana
dalam sebuah cerita yang baru saja tercipta
dalam sebuah cerita yang hanya ada dua tokoh di dalamnya
aku, sang tokoh utama
dan kamu, sang tokoh figuran
mungkin suatu saat kau akan naik pangkat
menjadi tokoh utama kedua
atau waktu memilih untuk mendepakmu
dan cerita berakhir dalam album itu
tersimpan selamanya
sesederhana cerita pengantar tidur anak
tapi tak semudah itu untuk selesaikan
kuingatkan, cerita ini
aku-sentris
bukan
kita-sentris
dan semua cerita itu, berlalu dalam kenangan
dan selalu tersimpan, dalam album-album tak tercetak
dan waktu itu baru saja
12 Oktober 2013, ah, atau mungkin 11 Oktober 2013
cerita yang baru, baru saja dimulai
bergulir layaknya hidup yang terus berjalan. berjalan dengan misteri besar terpampang di depan. ya, masa depan
dan dipilihkan sang waktu akhir ceritanya, bukan aku yang memilihnya
dalam sebuah cerita yang aku-sentris, ada kamu di sana
dalam sebuah cerita yang baru saja tercipta
dalam sebuah cerita yang hanya ada dua tokoh di dalamnya
aku, sang tokoh utama
dan kamu, sang tokoh figuran
mungkin suatu saat kau akan naik pangkat
menjadi tokoh utama kedua
atau waktu memilih untuk mendepakmu
dan cerita berakhir dalam album itu
tersimpan selamanya
sesederhana cerita pengantar tidur anak
tapi tak semudah itu untuk selesaikan
kuingatkan, cerita ini
aku-sentris
bukan
kita-sentris
Thursday, October 31, 2013
Ketika Aku Bertemu Denganmu
Aku bertemu denganmu di usia yang begitu muda.
Seperti yang selalu kau ulang-ulang. Walaupun pada konteks yang berbeda. Aku
masih muda.
Kau bertanya banyak hal. Aku merasa kau sedang
mengetesku. Kau memberitahukan banyak hal. Aku merasa kau sedang
menginternalisasikan sesuatu. Dan aku masih terlalu muda--mungkin--untuk
memahami, menanggapi, apalagi menolak pendapatmu, argumentasimu, pikiran-pikiranmu.
Atau pikiranku yang masih terlalu muda--juga mungkin.
Aku membagi banyak hal. Aku mengutarakan sesuatu,
pikiranku, mencoba menangkap reaksimu, tanggapanmu. Aku menyuarakan isi
pikiranku yang selama ini berkemelut. Menjelaskan bahwa aku menolak sesuatu.
Menjelaskan pendapatku tentang sesuatu, dan banyak lagi.
Aku sering terdiam dan enggan menanggapi ketika
kau mulai lagi berfilsafat. Karena aku tidak bisa berpikir sespontan itu. Tidak
seperti kau yang sudah membaca jutaan baris dalam buku-buku tebal itu. Tidak
seperti kau yang sudah mengarungi ribuan are lautan perenungan yang kau sebut
'bengong' itu. Karena kau bilang, saat bengonglah kau sempat berpikir. Karena
Ibrahim menemukan Tuhannya saat bengong. Karena Muhammad juga temukan Tuhannya
saat bengong.
Kau beri aku buku. Kau beri aku bacaan. Kau beri
aku banyak hal baru di waktu yang masih kurasa singkat mengenalmu. Belum lama,
sejak pertama kali kita bertemu. Saat itu gelap karena petang telah menjelang.
Aku tidak bisa menangkap kesan pertama tentangmu waktu itu. Aku tidak bisa
melihat dalamnya pandanganmu terhadap sesuatu. Aku tidak bisa melihat jauhnya
penerawanganmu ketika kau sedang termenung.
Kau bilang aku terlalu serius. Ah, aku tidak
pernah serius. Apalagi ketika mendalami sesuatu. Ketika memikirkan hakikat
sesuatu. Tidak seperti kau yang loncatan pikirannya begitu wild. Tidak
seperti kau yang kata-katanya selalu aku tanggapi dengan, "gue nggak
ngerti". Karena aku memang tidak mengerti. Ah, aku terlalu malas untuk
mengerti. Kau bilang aku malas berpikir. Aku juga bilang begitu. Padahal
"aku berpikir, maka aku ada". Manusia ada karena berpikir. Lalu kau
bilang aku bukan manusia. Di lain waktu kau bilang aku ini orang, bukan
manusia. Walaupun kau berdalih itu hanya sesat pikir kau dan teman-temanmu, aku
merasa penjelasanmu masuk akal. Karena manusia berbudi, orang tidak.
Suatu hari nanti, aku ingin. Aku ingin membaca
jutaan baris buku yang berbeda. Supaya kita bisa saling berbagi. Atau bahkan
menolak pikiran-pikiranmu itu. Suatu hari nanti, aku ingin. Aku ingin mendalami
sesuatu. Sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang tak pernah terlintas dalam
pikiranmu. Supaya aku bisa membagi sesuatu. Tidak hanya kau. Supaya kau tahu,
bahwa aku juga bisa berpikir.
Suatu hari nanti, ketika aku bertemu denganmu
kembali, apabila aku menjadi seseorang yang berbeda, yang bertolak belakang
dari yang aku ucapkan padamu sekarang, aku tidak ingin dianggap munafik. Aku
tidak ingin dianggap pembohong. Karena aku masih mencari. Aku masih belajar
berpikir. Karena aku baru saja memulai.
Kau ingat, tentang pembicaraan kita tentang rasa
menyesal karena mengenal sesorang, mungkin suatu hari nanti aku akan menemukan
rasa itu. Seperti yang kau bilang bahwa ruang lingkup kehidupanku masih sempit.
Tapi untuk saat ini, sungguh, aku tidak pernah menyesal telah mengenalmu. Tuhan
banyak menyadarkanku lewat dirimu. Tuhan banyak mengingatkan aku melalui sosok
yang sama sekali tidak pernah terbayang di benakku sebelumnya tentanf seseorang
yang akan menyadarkanku.
Banyak hal yang sebenarnya aku tolak. Banyak hal
yang sebenarnya aku tidak sependapat. Aku hanya tidak mengerti bagaimana
menyampaikannya, karena aku tidak banyak membaca. Karena itu, suatu hari nanti,
temui aku lagi. Ah, kau bilang, apa kau masih hidup?
Tapi saat ini, aku masih ingin mengais
banyak hal darimu. Karena saat ini aku masih terlalu muda. Atau kehidupanku
yang masih muda.
Monday, October 28, 2013
Lepas di Pintu 63
Kotak besi itu bertuliskan angka 63
Di mana mereka berdiri di pintunya
Menantang angin yang menghajar tubuh mereka
Aku duduk di depan
Dekat kaca
Sambil sesekali memerhatikan melaluinya,
mereka yang tampak menikmati
Belaian angin di wajah mereka, di rambut mereka
Petang itu
Kotak itu bertuliskan 63 di depannya
Membelah dari Pusat ke Selatan
Dengan mereka di pintunya
Mungkin berbagi kisah hari itu
Mungkin berbagi kisah yang lainnya
Dan mereka terlihat lepas
Dan mereka terlihat ceria
Dua manusia menarik duniaku
Sementara aku memerhatikan
Dari kaca sepotong
Yang juga memantulkan sepotong
Aku hanya ingin larut, dalam bahagia itu
Di mana mereka berdiri di pintunya
Menantang angin yang menghajar tubuh mereka
Aku duduk di depan
Dekat kaca
Sambil sesekali memerhatikan melaluinya,
mereka yang tampak menikmati
Belaian angin di wajah mereka, di rambut mereka
Petang itu
Kotak itu bertuliskan 63 di depannya
Membelah dari Pusat ke Selatan
Dengan mereka di pintunya
Mungkin berbagi kisah hari itu
Mungkin berbagi kisah yang lainnya
Dan mereka terlihat lepas
Dan mereka terlihat ceria
Dua manusia menarik duniaku
Sementara aku memerhatikan
Dari kaca sepotong
Yang juga memantulkan sepotong
Aku hanya ingin larut, dalam bahagia itu
Sunday, October 20, 2013
Karena Ia Tidak Mengerti
Malam itu, kendaraan roda dua itu melaju dalam keheningan. Yang disela sekali-dua oleh tanya dan jawab selewat. Hatiku ditemani suara deru mesin dan hembusan angin malam. Dengan diam, kutelusuri hatiku. Ada sesak di sana. Yang tak bisa hilang dengan sekali-dua hela nafas panjang. Pun ada perih di situ.
Sementara orang di depanku, yang duduk terpisah tas hitam-merah itu tidak mengerti. Apa yang bergolak di dalam sini. Apa yang bertikai di dalam sini. Berharap ini tak segera berakhir. Berharap roda itu tak berhenti berputar sampai habis malam. Berharap ia mengerti mengerti bahwa aku tak ingin segera turun. Dan mencoba meresapi setiap detik di sana yang kuharap melambat.
Tetapi aku memang harus turun. Ketika roda itu berhenti berputar di ujung jalan. Berat. Dengan parau ucapan terima kasih yang mungkin tak sempat tertangkap inderanya. Yang mungkin segera berlalu tertiup angin tanpa sempat terdengar. Aku menatap wajahnya sekilas yang disembunyikan gelap. Menelusuri setangkap siluet wajahnya. Seperti sebelumnya di tempat yang berbeda kemarin dulu. Karena aku tidak pernah sanggup lebih lama dari itu.
Dan kemudian aku berlalu. Dengan setetes air bergulir turun perlahan. Lalu setetes lagi. Dan lagi. Dalam isak yang kutekan. Dalam hening yang tak terdengar. Lalu berharap ia mengerti.
Tapi mungkin ia memang tidak mengerti
Sementara orang di depanku, yang duduk terpisah tas hitam-merah itu tidak mengerti. Apa yang bergolak di dalam sini. Apa yang bertikai di dalam sini. Berharap ini tak segera berakhir. Berharap roda itu tak berhenti berputar sampai habis malam. Berharap ia mengerti mengerti bahwa aku tak ingin segera turun. Dan mencoba meresapi setiap detik di sana yang kuharap melambat.
Tetapi aku memang harus turun. Ketika roda itu berhenti berputar di ujung jalan. Berat. Dengan parau ucapan terima kasih yang mungkin tak sempat tertangkap inderanya. Yang mungkin segera berlalu tertiup angin tanpa sempat terdengar. Aku menatap wajahnya sekilas yang disembunyikan gelap. Menelusuri setangkap siluet wajahnya. Seperti sebelumnya di tempat yang berbeda kemarin dulu. Karena aku tidak pernah sanggup lebih lama dari itu.
Dan kemudian aku berlalu. Dengan setetes air bergulir turun perlahan. Lalu setetes lagi. Dan lagi. Dalam isak yang kutekan. Dalam hening yang tak terdengar. Lalu berharap ia mengerti.
Tapi mungkin ia memang tidak mengerti
Ketika Aku Bertanya Soal...
Semalam aku bertanya pada guru ngajiku. Teh Nurul
namanya.
"Bagaimana komentar teteh soal suka sama
lawan jenis?"
Sudah tiga orang aku tanyai soal ini. Dengan
redaksi, konteks dan situasi berbeda. Teteh satu ini menjawab :
Itu wajar. Tapi biasanya di usia sekarang, ketika
suka sama seseorang itu biasanya karena kagum. Lalu ketika menemukan kekurangan
orang itu, akan ilfil seketika.
Aku berpikir tentang sesuatu. Apakah hukum itu
berlaku padaku? Kira-kira apa yang akan terjadi padaku? Bukankah biasanya
justru orang-orang itu terbutakan ketika melihat kekurangan orang yang sisukai?
Tapi aku tidak berkomentar apa-apa sementara si teteh melanjutkan kembali
penjelasannya.
Jika diibaratkan hati adalah ruangan, ada sebuah
ruangan yang kosong. Yang tak pernah tersentuh siapapun. Yang senantiasa
terkunci. Ruang itu harus terjaga tetap kosong. Sampai suatu saat nanti tiba
masa yang tepat. Di situasi yang tepat. Akan datang seseorang yang tepat yang
membawa kunci tersebut.
Tapi yang namanya perasaan itu tidak boleh
ditekan. Karena semakin ditekan akan semakin membuncah. Maka jalan terbaik
adalah menyalurkan energi itu ke jalan yang benar. Ke kegiatan yang bermanfaat.
Jangan sampai energi itu tersalurkan ke hal-hal yang merugikan sendiri. Jangan
sampai perasaan-perasaan semacam ini membuat hidup kita jadi tidak nyaman.
Nikmati saja yang ada. Tapi jangan terlena karena setruman-setruman itu. Karena
itu syahwati. Datangnya dari syaitan.
Diskusi malam tadi lama-lama menyambung ke soal
masa depan dan pernikahan karena pertanyaan teman-teman lain di dalam lingkaran
kami. Dan diskusi ditutup dengan pertanyaan : "Memangnya Iffah sedang ada
perasaan semacam itu?". Aku hanya menjawab dengan senyum.
Meski sebentar, aku senang tanggapan dia tidak
menghakimi. Tidak menjawab dengan jawaban "jangan berlebihan", atau
langsung menembak "hati-hati itu dari setan", atau ekstrim menyuruh
segera berhenti.
Dua orang lainnya yang aku tanyai menjawab dengan
jawaban yang menenangkan. Minimal mereka tidak menertawakan aku. Maksimal
mereka memberikan solusi.
Nikmati, jalani, banyak berzikir.
Subscribe to:
Posts (Atom)